Sebelum saya lebih tajam mengkritisi kebijakan Makan Bergizi Gratis disingkat MBG, terlebih dahulu mengucapkan terima kasih kepada pemerintah dan pihak penyedia makanan MBG yang telah berusaha mengadakan program ini di sekolah-sekolah seluruh Indonesia.
Program yang sebenarnya sangat baik bagi tumbuh kembang anak dengan harapan dapat membantu ekonomi keluarga dalam menyiapkan makanan bergizi bagi anak-anaknya, program ini sejalan dengan ungkapan oleh James Heckman (peraih nobel ekonomi dunia 2000) yang menekankan bahwa “nutrisi yang baik adalah fondasi utama dari perkembangan kognitif dan fisik anak. Seorang anak yang kekurangan giri tidak akan mampu menyerap pendidikan dengan baik, sehingga investasi di bidang pendidikan tanpa didukung gizi akan menjadi kurang optimal”.
Semangat dan filosofi program MBG ini tidaklah sejalan dengan fakta di lapangan yang masih menyisahkan berbagai permasalahan mulai dari alergi, menu yang tidak sesuai selera anak, kualitas makanan yang belum terjamin kesehatannya, over capasity pihak caktring yang melayani banyak sekolah, sampai pada urusan keracunan, bahkan kadang makanan tiba di sekolah jam 9 pagi setelah anak-anak sarapan pagi, bahkan yang cukup aneh adalah tradisi di pesantren yang sudah puluhan tahun menyediakan makanan dan minuman bagi anak santrinya, harus menerima makanan dari pihak cantring di luar pesantren.
Aneh bin ajaib program ini yang jauh dari harapan, bahkan didapatkan pula menu Burger-Spageti menjadi sajian makanan yang tidak ada seluk beluk sejarah, sosiologis dan ketertarikan anak pada makanan orang barat ini, harusnya makanan yang disajikan lebih mengangkat makanan-makanan lokal yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu sudah terbukti mempunyai cita rasa yang sudah turun temurun dikonsumsi oleh warga Indonesia setiap daerahnya.
Saya perlu memberikan catatan penting kepada Pemerintah Republik Indonesia agar melakukan revisi terhadap kebijakan yang belum menyentuh pada urusan subtansial yaitu menyediakan gizi yang baik dan seimbang bagi anak-anak.
Pertama bagi pihak perusahaan penyedia makanan agar dievaluasi lagi bahkan dihentikan kepada perusahaan yang terbukti mendapatkan pengaduan dari anak sekolah, orang tua siswa, atau pihak sekolah, sedangkan bagi yang sudah menyediakan makanan secara professional dan memadai kepada para siswa dapat dipertahankan.
Kedua, sebenarnya anggaran itu bisa dilimpahkan kepada kedua orang tuanya untuk dibebani penyediaan makanan kepada anak-anaknya, alasan ini cukup rasional karena dapat dipastikan orang tua tidak akan mungkin menyediakan makanan basi, lebih-lebih beracun kepada anak-anaknya sebaliknya dengan membagikan kepada orang tuanya uang untuk makan bergizi akan menjadi tanggungjawab orang tua masing-masing tanpa kerepotan oleh berbagai aktivitas yang mengganggu tugas dari guru-guru kelas. Bahkan guru kelas diwajibkan melakukan pengawasan terhadap anak-anak yang membawa makanan pagi atau siang bergizi di sekolah masing-masing.
Ketiga, boleh pula diserahkan kepada pihak sekolah untuk mengurus dapur MBG masing-masing dan cara ini sudah dipraktekan dalam pondok pesantren, dimana setiap pondok mempunyai dapurnya masing-masing yang sudah setiap hari menyediakan makan dan minum para santri.
Keempat, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap anggaran yang terserap karena jika makan bergizi gratis lebih dipandang sebagai “proyek” semata, dapat dipastikan anggaran yang sangat besar ini hanya dinikmati oleh para pengusaha-pengusaha besar, sehingga MBG bukan menjadi program yang bermanfaat bagi kebutuhan gizi anak tetapi ajang menjadi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dibalik program MBG.
Komentar
Posting Komentar