Penelusuran kami terhadap kondisi Benteng Kota yang menyimpan banyak misteri terhadap jejak sejarah Kesultanan Buton dahulu dan terbentuknya Desa Lampanairi sekarang terus digali dengan mengumpulkan berbagai informasi terkait eksistensi benteng tersebut. Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Lampanairi, La Ode Syarifudin mengatakan bahwa “disebut Benteng Kota karena dahulu orang tua kami atau leluhur kami, menyebut orang dari Kesultanan Buton sebagai orang kota, sementara itu benteng ini dijadikan tempat peristrahatan mereka menuju ke Sampolawa, makanya di wilayah itu disebut kampung kota”. (30/12/2021).
Begitu juga dengan Kaur Perencanaan Desa Lampanairi Hariono mengatakan “rombongan kerajaan dari Wolio selalunya naik singgah dulu disini baru lanjut ke Sampolawa kalau malam, begitu juga baliknya, singgah dulu disini baru ke Wolio”. (30/12/2021)
Berdasarkan informasi tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi Benteng Kota merupakan tempat persinggahan orang-orang dari Kesultanan Buton yang hendak melakukan perjalanan ke Sampolawa karena sering dijadikan sebagai persinggahan orang-orang Wolio yang notabene identik sebagai orang kota ataupun tempat peristrahatan rombongan dari Kesultanan Buton, maka disebutlah sebagai wilayah kampung kota.
Konon di wilayah Desa Lampanairi dahulu dibagi menjadi beberapa kampung diantaranya Kampung Lampanairi, Kampung Lacingko, dan Kampung Kota, sedangkan Benteng Kota berada di dalam kampung kota. Disamping itu, menurut informasi dari Jaharudin, warga Desa Lampanairi bahwa “Benteng Kota ternyata mempunyai kemiripan dengan Benteng Keraton Wolio yaitu diameter dari benteng ini sekitar 1,8 meter, serta adanya pemukinan warga di dalam benteng”. (30/12/2021)
Sekarang ini benteng kota sudah menjadi hutan belantara yang tidak terurus lagi, kita hanya bisa menikmati sisa-sisa reruntuhan benteng, dan susunan batu dibagian pembatas benteng yang tidak lagi utuh, bahkan sebagian sudah rata dengan tanah.
Benteng kota dahulu dijadikan sebagai tempat orang-orang melakukan transit sekaligus dijadikan pemukiman warga. Benteng ini berfungsi sebagai benteng pelindungan sementara bagi setiap orang yang melakukan perjalanan panjang di wilayah daratan Kesultanan Buton, di wilayah inilah mereka beristrahat sementara untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
Kepala Desa Lampanairi mengungkapkan "Sultan ataupun Raja diharuskan berjalan kaki atau harus dari tandu atau kudanya itu ketika mau melewati perkampungan lama Lampanairi karena konon katanya Kampung Lampanairi tersebut dianggap Sakral dan orang-orang yang menghuni Kampung Lama Lampanairi tersebut dianggap bijak dan disegani karena mungkin salah satunya adalah orang-orangnya bersifat santun memiliki sedikit tingkatan keilmuan dan kampung lama Lampanairi tersebut tidak pernah dihuni lebih dari 10 buah rumah, dan masih ada cerita legenda yang membuat Kampung Lampanairi tersebut menyimpan beberapa cerita yang menarik untuk digali". tuturnya.
Banyak anggapan orang bahwa benteng sering dijadikan sebagai tempat pertahanan dari serangan musuh, tetapi beda halnya dengan di Benteng Kota, ternyata benteng ini tidak berfungsi sebagai pusat pertahanan tetapi hanya dijadikan sebagai tempat pelintasan, persinggahan dan perlindungan bagi setiap orang yang melakukan perjalanan jauh di wilayah daratan Kesultanan Buton.
Adanya dugaan kebijakan Resettlement masyarakat kampung di seluruh wilayah Buton yang berlaku sekitar tahun 1967-1977 menjadi penyebab warga yang tinggal di kampung kota harus pindah ke daerah pantai yang sekarang didiami warga Desa Lampanairi. Program Resettlement desa merupakan program yang bertujuan memidahkan warga kampung yang berada di pegunungan ke dataran rendah karena perkampungan warga dianggap sulit / susah dijangkau oleh Pemerintah sehingga mengakibatkan pemerintah menginisiasi untuk memindahkan warga kampung yang berada daerah pegunungan ke pesisir pantai. Berpindahnya penduduk tersebut berdampak pada kondisi kampung lama yang terbengkalai dan tidak terurus lagi.
Pada tahun 2021 oleh Pemerintah Desa Lampanairi di bawah kepemimpinan La Ode Syarifudin menginisiasikan untuk menumbuhkan kembali sisa-sisa kebudayaan lama yang dianggap penting dalam mendongkrak pariwisata desa di masa depan sekaligus melestarikan sejarah kebudayaan lokal yang telah lama diabaikan.
Di Desa Lampanairi memang menyimpan berbagai kekayaan budaya yang perlu dikembangkan, beberapa spot wisata budaya harus diperbaiki bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, harus membutuhkan keseriusan dan perhatian semua pihak utamanya Pemerintah Daerah Kabupaten Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara maupun Pemerintah Pusat untuk menumbuhkan kembali budaya-budaya leluhur yang pernah berjaya di masa dahulu kala. Disamping itu dibutuhkan proses yang panjang untuk merangkai kembali puing-puing sejarah yang telah berserahkan karena selama ini dianggap tidak berharga dan tidak memberikan manfaat.
Kepala Desa Lampanairi mengakui ada beberapa potensi desa yang dijadikan aset desa pada aspek wisata budaya salah satunya adalah cagar budaya desa dari dulu sampai sekarang tidak pernah diperhatikan yang seharusnya mendapatkan atensi besar sebagai peninggalan leluhur orang Buton.
Komentar
Posting Komentar