Darmin Hasirun, S.Sos., M.Si.
Ketua Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)
Universitas
Muslim Buton
Sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, maka
dimulailah momentum baru penguatan masyarakat desa, dengan mengusung
keberpihakan pemerintah pusat terhadap masyarakat desa, terutama masalah
dana desa yang dulunya belum ada perhatian penuh dan solusi jitu
terhadap kondisi ketertinggalan desa mulai dari aspek infrastruktur,
pengelolaan potensi desa sampai pemberdayaan masyarakat desa. Kebijakan
pemerintah yang belum berpihak kepada masyarakat desa inilah
mengakibatkan banyaknya urbanisasi besar-besaran masyarakat desa menuju
wilayah
perkotaan yang belum tentu memberikan kepastian hidup lebih layak dan
memadai. Alhasil desanya / kampungnya semakin sepi karena sebagian warga
sudah
berpindah/bermukim ke kota, kondisi desa yang tertinggal semakin
tertinggal
pula, pasar-pasar desa tidak lagi efektif untuk memperjualbelikan hasil
panen
masyarakat, sedangkan daerah perkotaan semakin ramai dengan perputaran
ekonomi
yang sangat pesat, maka terjadilah tumpang tindih pembangunan perkotaan
dan
wilayah pedesaan.
Stigma bahwa orang desa adalah orang
kampungan, ketinggalan zaman, wong deso, dan berbagai nama lain yang mendiskreditkan
masyarakat desa, meletakan masyarakat desa sebagai stereotipe dan marjinalisasi
suatu daerah. Anak-anak muda pedesaan tidak mau dicap sebagai generasi Gagap
Teknologi (GAPTEK) dan miskin tidak betah lagi tinggal berlama-lama di
kampungnya sendiri, mau tidak mau harus berhijrah ke kota agar terhindar dari
cemoohan tersebut dan mendapatkan pendapatan yang lebih banyak daripada hanya
duduk bersantai-santai di desanya. Anda pasti pernah mendengarkan ucapan “untuk
apa kamu berlama-lama tinggal di kampung, otak jadi beku, nganggur, bahkan
dianggap semakin bodoh”. Mereka menganggap tinggal di pedesaan adalah nasib buruk
karena tidak dapat menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat seperti penghasilan
banyak yang mempermudah seseorang menjadi kaya raya.
Sekian banyak nama-nama miring (negatif) di atas telah dilekatkan kepada
masyarakat desa, hal ini dikarenakan perhatian pemerintah terhadap masyarakat
desa yang masih sebatas pemanis lidah saja, artinya nanti dekat pemilihan
kepala daerah, pemilihan anggota legislatif ataupun pemilihan presiden, baru
keluar kata-kata manis “keberpihakan pada masyarakat miskin”. Padahal faktanya
banyak janji-janji kepada masyarakat desa yang terkesan belum terealisasi
bahkan ada jurang pemisah yang mengangah lebar antara kondisi masyarakat kota
dan desa. Semangat membangun desa bukan lagi senjata ampuh untuk mengeluarkan
masyarakat dari lingkaran setan atau lingkaran kemiskinan. Padahal kalau anda yang
berpikir sehat dengan menggunakan akal sehat pastinya tidak akan pernah
melabeli desa dengan nama-nama buruk. Pemerataan dan keadilan pembangunan dari
Sabang sampai Marauke, dari desa ke kota masih menjadi wacara politik atau
rencana pembangunan yang belum sampai pada tahapan realitas dari kehidupan
masyarakat.
Cobalah anda membuka mata kepala dan hati bahwa Tuhan telah memberikan
segala macam potensi desa yang jarang bahkan tidak dimiliki oleh suatu kota,
misalnya alam yang terbentang luas dan asri dengan dedaunan nan hijau yang
menyelimuti wilayah desa, lautan yang masih steril (jauh dari kontaminasi
sampah industri), melimpahnya hasil laut setiap tahunnya, masyarakatnya yang
suka bergotong royong, sungai-sungai yang terbentang indah, luas dan panjang,
hewan-hewan ternak yang terawat dengan baik, potensi budaya yang masih sangat
terjaga nilai-nilai luhurnya, kekayaan alam untuk dijadikan sebagai obyek
wisata sangatlah menjanjikan dan berbagai anugerah yang tidak akan bisa
dihitung satu persatu. Maka “Nikmat Tuhan Manakah yang Kamu Dustakan?”
Masuknya dana desa dari Pemerintah Pusat telah membuka gerbang menuju
masyarakat sejahtera, membuka cakrawala berpikir masyarakat menuju masyarakat
yang lebih kreatif dan berinovasi menyongsong masa depan yang lebih gemilang,
tidak sedikit anggaran dikucurkan oleh Pemerintah Pusat kepada masyarakat desa,
berdasarkan informasi dari Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) Bonivacius
Prasetya Ichtiarto dalam Forum Tematik Badan Koordinasi Hubungan Kemasyaratan
(Bakohumas) menyampaikan jumlah penyaluran Dana Desa tahun 2015-2017 sebesar
Rp122,09 triliun sedangkan hingga tahun 2018 pada tahap 2 sebesar Rp149,31
triliun. Semua anggaran tersebut ditujukan agar bisa memanfaatkan
semua potensi dana desa demi mendorong masyarakat berpikir kreatif, dan mempercepat
pemberdayaan masyarakat yang lebih produktif, dengan modal yang besar itu pula
seharusnya masyarakat diajak untuk berwirausaha bukan menjadikan dana desa
sebagai barang konsumsi yang pada akhirnya anggaran tersebut kurang memberikan
efek positif dan signifikan bagi kemandirian masyarakat desa.
Dana desa bukanlah dana bagi hasil lalu lenyap, tetapi dana bagi
keuntungan (sharing profit) secara
berkelanjutan dan berkesinambungan. Negara memberikan dana tersebut kepada
masyarakat desa agar dapat dinikmati sebesar-besarnya demi kemakmuran
rakyatnya. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana mewujudkan bagi keuntungan dan terhindari
dari sifat konsumsi? Yaitu dengan cara Wirausaha.

Sedangkan jikalau kita menggunakan
dana desa semata-mata 100% untuk dihabiskan pembangunan infrastruktur, ternyata
setelah beberapa hari atau beberapa bulan saja bangunan yang didirikan tersebut
hancur, keropos, bahkan tak berfungsi maksimal sebagaimana yang diharapkan pada
rencana awal dan laporan pertanggungjawaban dana desa pun bisa disulap dengan
laporan telah selesai, telah terealisasi atau kata-kata indah lainnya, dana
untuk bahan-bahan bangunannya pun tidak lari dengan daerah perkotaan karena
besi, paku, semen, dan lain-lain kebanyakan dibeli dari daerah kota. Alhasil
masyarakat desa hanya menikmati bangunan yang tidak produktif alias mati suri dan
uang desa tidak sebesar-besarnya digunakan demi kemakmuran warga desa, Kalaupun
pembangunan infrastruktur tersebut produktif, tidak serta merta dinikmati oleh
masyarakat desa karena butuh proses yang cukup lama agar dampaknya langsung
dinikmati oleh masyarakat, proses pengerjaan bangunan yang memakan waktu
bulanan bahkan tahunan, belum lagi masyarakat haru menunggu kegiatan peresmian
dan pelaporan pembangunan yang tuntas. Masyarakat harus bersabar menunggu
bangunan tersebut digunakan, masih bagus kalau bangunan tersebut tahan lama dan
produktif tetapi bagaimana jikalau bangunan itu hanya sekedar jadi? Pasti sedih
juga kan?.
Kita tidak alergi dengan pembangunan infrastruktur, tetapi harusnya ada
keberimbangan antara pembangunan infrastruktur dengan pemberdayaan ekonomi
produktif masyarakat desa, anda bisa membayangkan sejak tahun 2014 sampai 2017,
anggaran dana desa masih lebih banyak berpihak pada pembangunan infrastruktur,
bahkan ada beberapa desa yang mengalokasikan dana desanya 100% pada pembangunan
infrastruktur, sedangkan ekonomi masyarakat miskin masih menjerit, secara makro
ekonomi boleh jadi ada peningkatan pembangunan dari segi infrastruktur tetapi
dari segi mikro ekonomi salah satunya UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah)
masih mengalami tekanan sehingga perputaran uang di pasar-pasar tradisional
mengalami kelesuhan. Begitu juga dengan kebijakan pemerintah desa yang berpihak
kepada pembangunan infrastruktur yang tidak dikontrol dan dipertanggungjawabkan
dengan baik dapat menimbulkan peluang pada penyalagunaan dana desa.
Banyak yang berkata “saya takut/ragu memakai dana desa 70% sampai 100%
untuk kegiatan wirausaha masyarakat desa, nanti laporan pertanggungjawabannya
gimana? kalau bangun infrastruktur laporannya lebih konkrit karena ada nota
pembelian barang. Ada pula yang informasi berkembang bahwa “pembangunan
infrastruktur 70% dan ekonomi produktif 30%” Pemikiran seperti inilah yang harus
disingkirkan di permukaan bumi pertiwi Indonesia, karena program kerja
mewirausahakan masyarakat desa dapatlah dipertanggungjawabkan dengan
bukti-bukti serah terima dana, dokumentasi dan progress perkembangan kelompok
masyarakat yang diberikan bantuan pengembangan usahanya, adapun kegiatan baik
fisik maupun non fisik, kegiatan ekonomi produktif atau infrastruktur, semuanya
dapat dibuatkan laporan pertanggungjawabannya tidak ada satupun aturan yang
membatasi sampai 70% atau 30%, negara memberikan kebebasan sebesar-besarnya
kepada pemerintah desa dan masyarakatnya agar membuat perencanaan sesuai dengan
kebutuhan skala prioritas yang dianggap penting dan mendesak, masalahnya bukan
pada kegiatannya tetapi pada manfaat kegiatan tersebut”. Tidak perlu takut KPK,
takut kepolisian, takut kejaksaan, takut LSM dan pihak-pihak yang menurut anda
akan melaporkan atas dugaan penyalahgunaan keuangan. Selama engkau berbuat
baik, tidak mengambil hak warga, tidak memanipulasi laporan, maka lakukanlah. Takutlah
kepada Tuhan Yang Maha Melihat semua aktivitas kita. Lagipula tidak ada satu
aturan manapun yang dilanggar apabila dana desa diperuntukan sebesar-besarnya
untuk meningkatkan minat wirausaha masyarakat desa. Bukankah dana desa
bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan? Hanya caranya saja yang berbeda-beda
dalam mengeluarkan masyarakat desa dari kungkungan rantai kemiskinan, salah
satunya adalah memanfaatkan dana desa digunakan demi mewirausahakan masyarakat
desa. Dengan wirausaha desa wajah desa dapat berubah yang dulunya tidak
produktif, tidak bergairah (lesuh, lemah dan letoi), serta tidak punya tenaga,
akan dapat membangkitkan semangat menggali dan memproduksi potensi, bukan hanya
sekedar menjual bahan mentah tetapi harus menjualnya dengan barang jadi/siap
pakai yang mempunyai nilai jual 2 sampai 3 kali lipat di pasaran.
Mulailah dari sekarang, manfaatkan dana desa untuk merangsang minat
wirausaha masyarakat desa agar tercipta desa mandiri yaitu desa yang semakin
mampu memanfaatkan potensi desa tanpa mengharapkan sepenuhnya bantuan dari dana
pusat. Kita semua pasti bisa mewujudkannya. SAYA YAKIN..!
Komentar
Posting Komentar