Darmin Hasirun
Sering kita mendengarkan ungkapan orang awam bahwa “Pemilu tanpa uang seperti sayur tanpa penyedap rasa”, begitulah permainan politik praktis dalam dunia demokrasi yang identik dengan money politic, “tanpa uang mustahil akan menang” ungkap orang-orang dewasa yang sedang asyik nongkrong membahas fenomena politik di daerah dan nasional, makanya siapapun yang terjun dalam dunia politik praktis dianjurkan menyiapkan uang dalam jumlah ratusan, miliaran sampai triliunan untuk membayar berbagai pihak agar lebih mudah dalam penyelesaian segala urusan perebutan jabatan. Praktek politik semacam ini hanya menciptakan pseudo demokrasi yang jauh dari subtansi dan harapan ideal negara sejahtera yang diidam-idamkan oleh para pendiri negara dan rakyat secara keseluruhan.
Permainan money politic dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan menjadikan arena pemilihan umum seperti judi yang bisa dimainkan oleh para pemilik uang, sedangkan orang-orang kere hanya bisa menjadi penonton bahkan korban isu-isu politik murahan. Para calon pemimpin negeri sibuk berlomba-lomba mencari popularitas di kalangan masyarakat luas tetapi mereka tidak bisa berjalan mulus tanpa bekingan para pemegang uang entah pengusaha, bankir, kontraktor ataupun nama sejenisnya, mereka inilah disebut “Bohir” yang seakan menjadi sutradara dalam permainan wayang politik, bahkan tersebar mitos “tanpa bohir tidak akan berpotensi menang dalam Pemilu”.
Kata Bohir pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yaitu Bouwheer artinya kontraktor, pemilik modal atau biasanya juga disebut owner. Para bohir juga dijuluki sebagai rentenir politik karena merekalah yang meminjamkan modal (uang) kepada para calon yang akan bertarung dalam kanca politik, setelah menang para rentenir ini kembali menagih janji yang sudah disepakati sebelumnya, biasanya mereka akan meminta proyek miliaran rupiah, fasilitas mewah, keamanan bisnis dan lain-lain. Pada akhirnya para pemimpin di negeri ini hanya terperangkap dalam jeratan para bohir, mau tidak mau pemimpin daerah / negara yang sudah masuk jebakan bisnis politik harus mencari untung materi dari setiap kebijakan yang dikeluarkannya baik berupa mencuri uang rakyat, mengeksploitasi besar-besaran sumber daya alam, hasil hutan dan tambang yang menjanjikan utang-utangnya bisa dilunasi. Alhasil karena terbiasa dengan gaya hidup curang akhirnya dijadikanlah tradisi yang susah disembuhkan dan rakyat menjadi korban dari kolusi yang dibuat oleh para bohir dan para pejabat.
Di dalam politik "tidak ada makan gratis" artinya setiap orang yang mendapatkan dukungan pasti akan meminta imbalan yang setimpal begitu pula dengan para bohir yang selalu berpikir bisnis dalam segala tindakannya bahkan politik dijadikan sebagai ajang bisnis untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya jika jagoannya menang dalam pemilihan, setiap calon yang mendapatkan sokongan dana dari bohir tentunya sudah ada deal-deal politik untuk melahirkan win-win solution diantara kedua belah pihak yaitu calon kandidat harus menang dan bohir harus dapat proyek atau imbalan sejenisnya. Kesepakatan yang dicetuskan merupakan bagian dari kolusi jika ada niatan jahat merugikan rakyat dan menguntungkan mereka yang berkuasa.
Eksistensi para bohir dalam dunia politik praktis berpeluang besar menciptakan kaum oligarki yang memegang kartu AS dalam Pemilu alias merekalah yang menentukan siapa saja yang akan memenangi pertarungan politik, melalui permainan uang yang cantik dan rapi hingga membayar elit politik, para tokoh masyarakat, ataupun masyarakat umum, hanya saja permainan seperti ini susah dideteksi dari mana aliran dana dan kemana sasarannya, para bohir akan semakin gencar bermanuver di balik layar dengan memainkan uang yang jumlahnya tidaklah sedikit dan terus dilancarkan menjelang hari pencoblosan, seperti inilah skenario para pecundang politik yang mengindahkan etika dan budaya politik bersih serta bermartabat.
Komentar
Posting Komentar