Darmin Hasirun
Negara Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi yang menempatkan kedaulatan atau kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dengan berpedoman pada nilai-nilai Pancasila yang luhur dan mulia. Oleh karena demokrasi dianggap sebagai pintu kemerdekaan rakyat dalam berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan pendapatnya demi kepentingan publik, maka cara inilah yang diharapkan dapat menjaga marwah keadilan dan persamaan hak di depan hukum baik bagi Pemerintah maupun masyarakat sipil agar tercipta keseimbangan dalam bernegara, di mana pemerintah mudah dikontrol oleh rakyatnya agar ada pola pembatasan kekuasaan para pejabat yang tidak mengarah pada sistem otoritarian, dan rakyat juga dapat diatur dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Pengaturan rakyat dalam kebijakan pemerintah melalui undang-undang adalah salah satu jalan yang ditempuh sebagai manifestasi negara hukum (rechstaat) tetapi cara mengatur tidak boleh terkesan menunjukan arogansi kekuasaan Pemerintah (otoriter) melainkan pengaturan tersebut agar demokrasi yang dijalankan lebih memberikan ruang dan kesempatan bagi rakyat dalam berekspresi, pengeluarkan pendapat, gagasan, kreativitas, dan berbagai aktivitas lain dalam bingkai kebaikan bangsa, negara dan agama.
Setelah disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna DPR RI pada hari Selasa tanggal 6 Desember 2022 menimbulkan banyak reaksi dari berbagai kalangan yang menilai isi dari KUHP terbaru banyak membungkam suara rakyat dengan dalil ketertiban dan keamanan, salah satunya pasal 273 berbunyi “Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.
Menurut penjelasan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej atau biasa dipanggil Prof. Edi sebagai Wamenkumham RI dalam channel youtube CNN Indonesia, Political Show bertajuk “Selangkah Lagi RKUHP Disahkan? yang diupload sejak tanggal 10 Desember 2022, beliau menyatakan bahwa pasal 273 mengatur tentang Ketertiban Umum yang tidak bisa ditafsirkan secara sepenggal saja tetapi harus diartikan secara kumulatif yaitu pidana dijatuhkan apabila tidak ada memberitahuan kepada aparat keamanan, dan terjadi keonaran sebaliknya jika ada pemberitahuan dan terjadi keonaran tidak akan dipidana.
Baik bunyi pasal 273 maupun penjelasan dari Prof. Edi diduga sebagai strategi membungkam suara rakyat karena bertentangan dengan bunyi UUD 1945 pasal 28E ayat 3 berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Hal ini sesuai dengan Tap MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Bab Kemerdekaan pasal 14 berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani”. Dengan dikeluarkannya kebijakan ini, maka Negara mengakui bahwa kebebasan berpendapat adalah bagian dari hak asasi manusia.
Begitu pula dengan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 1 ayat 6 berbunyi “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Begitupula pada pasal 25 menyebutkan “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Prof. Edi pun membangun kasus jika kebebasan berpendapat seperti demontrasi tanpa surat pemberitahuan ternyata menimbulkan keonaran, huru hara dan mengganggu ketertiban umum bahkan memakan korban jiwa akan dipidanakan karena para pendemo membuat kemacetan jalan, misalnya ada seorang ibu yang harus secepatnya dilarikan ke rumah sakit, apabila akibat demontrasi dapat menghilangkan nyawa ibu tersebut, maka dapat dipidana.
Setelah saya menelaah lebih lanjut terkait konstruksi berpikir Prof. Edi dalam memberlakukan pasal 273 ternyata masih belum menyentuh subtansi permasalahan di lapangan karena Pertama, demontrasi dan keonaran adalah dua hal yang berbeda. Demontrasi adalah bagian dari perjuangan mendapatkan keadilan sebagai implementasi Pancasila sila kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab” sebaliknya tindakan keonaran atau huru hara melanggar nilai keadaban. Demontrasi adalah hak yang dijamin oleh undang-undang, sedangkan keonaran adalah pelanggaran hukum, artinya harus dipisahkan antara kegiatan demontrasi dengan keonaran yang mungkin dilakukan orang-orang bukan pendemo alias penyusup atau bukan bagian dari massa pendemo, maka bisa jadi orang-orang yang melakukan demontrasi hanya dijadikan kambing hitam agar dipersekusi, dikriminalisasi bahkan sengaja dibungkam suaranya. Kedua, hampir setiap kegiatan demontrasi menggangu ketertiban umum bahkan menimbulkan kemacetan, maka hal ini hanya perlu dilakukan penertiban para pendemo dan pengendara tanpa harus pidanakan. Ketiga, surat pemberitahuan aksi adalah perihal syarat administratif yang jika tidak terpenuhi cukuplah dibubarkan saja, Keempat, jika dalam kegiatan unjuk rasa, atau demontrasi sudah melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian tetapi masih menimbulkan keonaran, dan huru hara, maka wajib dibubarkan demi keamanan dan siapapun penanggungjawab aksi perlu ditahan, dimintai keterangan serta dibuatkan surat pernyataan agar tidak lagi mengganggu ketertiban umum. Kelima, jika didalam demontrasi atau unjuk rasa menimbulkan korban jiwa atau kerusakan fasilitas umum, hal inilah yang wajib dipidanakan.
Oleh karena itu, pasal 273 patut diduga sebagai bagian dari pembungkaman suara rakyat, maka perlu dicabut karena telah bertentangan dari peraturan UUD 1945, melanggar HAM, bahkan bisa menjadi “pasal karet” dan tameng para aparat keamanan untuk mengkriminalisasi para pendemo yang hendak menyuarakan kepentingan rakyat atas penzaliman para penguasa dari berbagai kebijakan yang merugikan rakyat tersebut.
Komentar
Posting Komentar