Alkisah, diceritakan ada kapal kecil yang berencana melakukan penyeberangan menuju ke Pulau Batuatas dengan memuat barang-barang 30 sak semen, 1 buah Molen Pengaduk, puluhan atap seng, dan penumpang sebanyak 20 orang ditambah ABK (Anak Buah Kapal) 5 orang.
Masyarakat setempat mengenal musim angin kencang dan gelombang tinggi sekitar bulan Januari-Februari serta bulan Juli-Agustus setiap tahunnya. Puncak ombak yang paling keras biasanya pada bulan Juli. Bulan inilah pemerintah daerah melalui Dinas Perhubungan selalu mewanti-wanti keberangkatan kapal saat cuaca buruk atau muatan penumpang dan barang yang melebihi kapasitas. Pada bulan ini pula kapal kecil tersebut melakukan penyeberangan menuju ke Pulau Batuatas.
Bagi anda yang berada di Kota Baubau dan sekitarnya, indikator gelombang tinggi ditandai dengan masuknya ombak tinggi di sepanjang kawasan Pantai Kota Baubau. Tanda ini menunjukan bahwa ketinggian gelombang laut di Laut Flores dan sekitarnya belum bersahabat dengan kapal-kapal penyeberangan, maka kapal penumpang ataupun barang tidak boleh melakukan penyeberangan menuju tempat tujuan khususnya daerah Batuatas.
Faktanya, ternyata kapal kecil dari Desa Wambongi berani melakukan penyeberangan keluar teluk tengah malam dalam kondisi ombak yang sangat keras dengan alasan bahan-bahan proyek harus dibawa tepat waktu sesuai jadwal yang telah ditentukan sebelumnya, tetapi anehnya kapal-kapal berukuran besar tidak berani melanjutkan perjalanannya dan memilih berlabuh di Kecamatan Batauga.
Anda bisa bayangkan saat berada di Kota Baubau saja sudah dihadang oleh ombak besar, lebih-lebih saat keluar teluk (lautan lepas) pasti akan lebih keras lagi. Saat kapal berada di perairan Pulau Siompu, ombak keraspun menghantam bertubi-tubi kapal kecil tersebut. Sempat ABK ingin mengubah haluan kapal tetapi karena kerasnya ombak akibatnya mereka tidak bisa berbalik ke belakang. Kapal yang telah sarat dengan barang-barang dan penumpang itu mau tidak mau harus menerobos ganasnya ombak di lautan luas.
Biasanya penumpang merasa takut dengan mengucapkan “Astagfirullah”, “Astaga” atau semacamnya. Lantaran tingginya gelombang pada saat itu hingga penumpang yang mayoritas pelajar hanya dapat berteriak tidak menentu imannya. Aaah, aaah, aaah“ teriak mereka.
Kondisi itu terus dirasakan mulai dari lautan Pulau Siompu sampai Pulau Batuatas sekitar 3-4 jam. Selama itulah mereka berjuang menembus segala rintangan, halangan dan maut yang setiap saat merenggut nyawa para penumpang dan ABK. Kapal yang semula berjalan di atas ombak kini berubah berjalan di bawah ombak “persis seperti Kapal Selam”.
Semua pintu kapal di bagian depan dan samping ditutup rapat, para penumpangpun harus merelakan diri basah kuyup karena hempasan ombak yang telah masuk dalam kamar penumpang, begitupula penumpang dan ABK yang berada di bagian atas kapal harus mandi dengan air laut.
Waktu yang sangat menegangkan dan adrenalin memicu sangat kencang. Para ABK tidak tinggal diam, mereka harus bergerak menahan beberapa bagian kapal agar tidak rusak oleh hantaman ombak seperti pintu bagian depan dan jendela bagian samping, sambil sesering mungkin berlari mengecek kondisi mesin yang sebagian sudah digenangi oleh air laut karena percikan ombak yang telah masuk di dalam kamar mesin.
Jantung memompa sangat kencang, suasana semakin menegangkan antara harapan dan nyawa menghantui mereka, dalam kondisi seperti ini akhirnya kapal tidak langsung mengarah ke Pulau Batuatas karena kapal tidak bisa melawan langsung ombak yang sangat keras di depannya, harus “serong” menyamping sedikit agar bisa mengikuti irama hentakan ombak di lautan laus. Lautan yang tadinya biru berubah menjadi putih seperti “Butiran Pasir yang mengapung di lautan” karena ombak yang pecah di tengah lautan.
Selama 4 jam, mereka tetap mempertahankan posisi kapalnya, nanti setelah 2 jam perjalanan berlalu, yang tadinya kapal sudah dekat dengan pulau Batuatas, malah semakin menjauh dengan pulau tersebut karena posisi kapal yang tidak bisa mengarah langsung ke pulau tujuan.
Melihat situasi seperti ini, pemegang kemudi mulai kewalahan, akhirnya kemudi diambilalih oleh ABK lainnya, dan mencoba sedikit demi sedikit mengarahkan haluan kapal kembali ke posisi awal yaitu menuju pulau Batuatas. Selama 1 jam masih berjibaku dengan putaran angin dan tumbukan ombak. Syukur Alhamdulilah, setelah kapal mendekati pulau, ombak semakin berkurang dan sampailah mereka ke Pulau Batuatas. Pulau Kecil nan Indah.
Kisah di atas merupakan setitik cerita diantara ribuan cerita rakyat yang telah lama dialami oleh masyarakat di pulau ini. Ratusan tahun lamanya mereka telah terbiasa dengan cerita ombak besar dan kerasnya angin di lautan lepas. Terkesan cerita seperti ini sudah tidak asing lagi di telinga mereka.
Anda bisa membayangkan kapal dengan mesin yang sudah cukup canggih masih selalu berhadapan dengan kerasnya alam yang mengitari dan membayang-bayangi hidup mereka, dan lebih menegangkan lagi kapal-kapal dahulu yang hanya mengandalkan layar saja selama melakukan perjalanan, butuh berhari-hari untuk tiba di tempat tujuan. Pulau Batuatas merupakan pulau indah bagi para pelancong dan tamannya ikan-ikan yang akan tetap abadi di hati masyarakat setempat.
Pembaca yang budiman,
semoga cerita ini bisa menjadi pelajaran buat kita semua bahwa “KERASNYA OMBAK
JANGANLAH MELEMAHKAN SEMANGAT KITA SAMPAI PADA CITA-CITA YANG DIHARAPKAN.
SEMAKIN KERAS ALAM MAKA SEMAKIN KERAS PULA TEKAD UNTUK MENUJU TUJUAN YANG
CAPAI”.
Sumber Cerita: La Badi
(warga Desa Wambongi)
Penulis: Darmin Hasirun.
Komentar
Posting Komentar