Penulis teringat dengan definisi politik dari pakar politik ternama Harold Dwight Lasswell, menyatakan bahwa politics is who get what, when, and how (politik adalah siapa dapat apa, kapan dan bagaimana). Definisi ini masih umum dan sangat simpel dipahami oleh masyarakat awam. Konsep yang banyak digunakan oleh para elit politik praktis untuk membuat kesepakatan atau deal-deal politik kepada pihak tertentu.
“Janji dalam politik ibarat cinta dan harapan”, merupakan ungkapan untuk orang-orang yang telah jatuh cinta dengan calon kepala daerah. Mustahil orang-orang yang jatuh cinta tanpa janji, baik janji gombal, janji manis maupun janji suci, yang biasanya dikatakan oleh pria kepada wanita yang dicintainya untuk meyakinkan wanita tersebut hingga hatinya jatuh dipelukan sang pria.
Sama halnya dengan konteks politik Pilkada, memberi janji sering dilakukan oleh calon kepala daerah kepada masyarakat (pemilih), memang tidak ada yang memberikan jaminan 100% bahwa janji yang diberikan selama proses sosialisasi atau kampanye akan dilanggar atau ditepati oleh si pemberi janji (calon kepala daerah), tetapi harapan untuk menatap masa depan yang cemerlang patutlah dilakukan agar masyarakat termotivasi dan terbuka cakrawalanya menatap ke arah kemajuan daerah.
Banyak juga calon kepala daerah atau legislatif yang mengatakan “saya tidak ingin menjanjikan apa-apa kepada kalian”, saya hanya ingin bekerja untuk kalian, ini sama dengan cinta tanpa harapan. Band Armada katakan dalam salah satu lirik lagunya “Mau dibawa kemana bubungan kita”. Setiap cinta harus ditahu arahnya, makanya dibutuhkan janji dan cita-cita bersama.
Janji kepada masyarakat adalah strategi mutlak yang harus dilakukan oleh calon kepala daerah, oleh karena itu visi misi sampai program kerja perlu disusun dan disosialisasi kepada publik untuk mengetahui arah tujuan calon tersebut saat menjadi kepala daerah.
Setiap pembangunan perlulah konsep rencana yang dituangkan dalam program kerja, uraian terobosan untuk menjadikan daerah otonom dapat berdiri di atas kaki sendiri secara mandiri dan berdaya saing. Begitupula dengan penataan pemerintahan dan pelayanan yang berbasis kerakyatan, tentu harus butuh rencana tindakan yang kreatif dan profesional demi meyakinkan rakyat bahwa kehadirannya akan membawa perubahan ke arah yang diimpikan bersama.
Banyaknya calon yang mengumbar janji kepada masyarakat tetapi setelah mereka menjadi kepala daerah banyak pula yang ingkar janji, akibatnya masyarakat jadi bingung bahkan tidak percaya lagi dengan rayuan gombal para pemberi janji tersebut.
Sebagian rakyat yang tidak percaya dengan si pemberi janji memilih menanyakan “ada uangnya atau tidak?” ada uang saya pilih dan tidak ada uang maka tidak akan dipilih. Masyarakat lebih melihat dan mempertimbangkan seberapa “tebal duit” yang dimiliki oleh pemberi janji. Pandangan ini hanya dimiliki oleh mereka yang kecewa dengan janji manis para pengumbar janji yang saraf dengan kepentingan jabatan dan adapula sekelompok masyarakat yang hanya cari gampangnya saja bahwa saya tidak butuh janjimu tetapi butuh uangmu. Bagi masyarakat yang terlanjur mempercayai dan memilih calon tersebut, maka mereka dengan semangat menagih janji yang sudah dikatakannya saat mengkampanyekan dirinya, perasaan mereka antara kecewa jika janjinya seperti pepesan kosong dan pasrah dengan kondisi yang ada.
Menurut penulis, janji dalam politik adalah mutlak dilakukan dengan syarat harus dibuat tanpa ada tendensi kepentingan hanya ingin mendapatkan kedudukan, jabatan, harta, fasilitas atau uang tetapi tulus untuk kepentingan rakyat daerah bahkan negara. Memang mencari tipe pemimpin yang menepati janjinya masih jarang didapatkan, disaat masyarakat mudah percaya dengan janji hampa, tipuan dan trik ala “munafik”.
Sering terdengar dari perkatan masyarakat bahwa “Rakyat tidak butuh janji tetapi kenyataan”, pernyataan ini tidaklah semuanya benar karena setiap realisasi tindakan kepala daerah harus butuh rencana yang matang, seperti halnya ungkapan dalam manajemen “gagal merencanakan sama halnya merencanakan kegagalan”. Hanya hoki yang menjadikannya berhasil, sementara dalam urusan manajemen pembangunan daerah bukan hanya hoki yang diharapkan tetapi rencana yang tersusun secara sistematis dan operasional untuk mencapai kesuksesan pembangunan.
Sebagai manusia kiranya “menepati janji adalah kewajiban mutlak, dan tidak boleh bergantung pada janji yang dibuat oleh manusia pemberi janji” karena hanya Janji Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu ditepati, sedangkan manusia selalu khilaf, lupa, bahkan sengaja lupa hanya karena kurangnya komitmen dari si pemberi janji sehingga kepentingan pribadi dan golongannya yang selalu diingat, sedangkan masyarakat selalu diabaikan.
Berharap penuh dengan janji tidaklah baik bagi kesehatan jiwa si penagih janji, setiap hari bahkan setiap saat selalu diingatnya, akhirnya menjadi beban hidup. Begitupula dengan orang yang menerima janji akan mendapatkan kedudukan tinggi dari si pemberi janji, saat janjinya tidak terealisasi maka reaksinya akan marah, dendam, stress, depresi bahkan jantungan.
Pembaca yang budiman,
semoga kita tergolongan orang-orang yang menepati janji dan tidak bergantung
pada manusia karena hanya Tuhanlah tempat bergantungnya harapan dan cita-cita
untuk masa depan daerah dan anak cucu kita. Trim’s.
Komentar
Posting Komentar