Beberapa hari lalu, saya membaca percakapan antara guru dan orang tua siswa di Whatsup Group yang mewajibkan vaksin bagi anak sekolah SD di Kota Baubau agar bisa melakukan belajar mengajar tatap muka, sedangkan bagi anak yang belum divaksin harus melakukan belajar online (daring).
Aturan ini saya anggap aneh bin ajaib karena disatu sisi tempat-tempat ibadah sudah normal orang-orang melaksanakan beribadah dengan merapatkan barisan para jamaah dan berdiri bershaf-shaf, pasar-pasar ramai pengunjung, tempat-tempat olahraga dipadati banyak orang, diselenggarakannya acara festival budaya, dibukanya berbagai perlombaan yang melibatkan orang banyak bahkan tidak ada satupun data yang menguatkan bahwa anak-anak di Kota Baubau mengalami kematian akibat Covid-19, sejak awal masuknya Covid-19 di Indonesia tahun 2020 tidak ada satupun data valid yang mencatat bahwa anak-anak berpotensi besar terhadap kefatalan dari infeksi Covid-19.
Anehnya dari pesan Whatsup Group di atas, pada point kedua bagi anak yang mendaftarkan diri di SMP wajib divaksin, jika tidak divaksin tidak diterima, pertanyaannya adalah apa hubungan antara mendaftarkan diri di SMP dengan vaksin ? jika syarat mendaftar di SMP adalah nilai rapor, nilai ujian, kelakuan/sikap, dan kartu keluarga masuk akal tetapi syarat vaksin tidaklah relevan dan anak yang divaksin tidak terjamin terbebas dari virus, dan bakteri yang menyebabkan penyakit pada anak.
Kebijakan pihak sekolah yang ambigu ini tidaklah sesuai dengan kondisi di tempat lain yang sudah dinyatakan kembali normal meskipun masih banyak yang memakai masker, dan di dalam aturan yang dibuat oleh pihak sekolah tidak mencantumkan dasar hukum diberlakukannya kewajiban vaksin agar bisa belajar tatap muka, dan anak yang belum divaksin harus mengikuti belajar online, bahkan diduga tidak ada musyawarah antara pihak sekolah dan orang tua siswa terkait rencana pemberlakuan aturan yang dianggap diskriminatif bagi anak sehingga pemberlakuan aturan hanya diputuskan secara sepihak oleh pihak sekolah.
Seharusnya tidak ada pemaksaan terhadap program vaksinasi Covid-19 terhadap anak karena jika hal ini diberlakukan, maka akan memperburuk suasana belajar mengajar di lingkungan sekolah dan tentunya psikologi anak akan terganggu pula karena regulasi yang tebang pilih, dimana mereka sudah dibeda-bedakan antara anak yang sudah vaksin yang mendapatkan fasilitas belajar yang baik dan belum vaksin hanya bisa menatap gurunya melalui laptop atau HP milik orang tuanya.
Berdasarkan pengalaman
belajar mengajar tahun 2020 dan 2021 didapatkan anak-anak merasakan dampak
negatif dari belajar online yaitu banyaknya anak didik yang tidak bisa menyerap
mata pelajaran dengan baik, banyak siswa yang bermalas-malasan mengerjakan tugas
yang diberikan oleh guru, biaya kuota internet yang cukup tinggi sehingga tidak
semua siswa mengikuti pelajaran, sinyal internet yang sering terganggu akibatnya
anak-anak susah mengikuti materi yang dijelaskan oleh guru dan berbagai deretan
permasalahan lainnya.
Disisi lain, saya
melihat banyak desa terpencil di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara yang
notabene tidak mempunyai sinyal internet mau tidak mau, anak-anak tetap
mengikuti pelajaran sekolah dengan tatap muka mulai diumumkannya Covid-19
sebagai pandemi tahun 2020 sampai sekarang tidak ada satupun laporan bahwa ada
kasus kejadian luar biasa yang menimpah penduduk di desa-desa terpencil tersebut.
Kesan pemaksaan vaksin kepada anak sebagai bentuk diskriminasi dalam dunia pendidikan dan tentunya tidak boleh dipraktekan karena akan memperburuk sistem pendidikan dan kualitas sumber daya anak yang seharusnya mereka mendapatkan hak-hak pendidikan secara penuh dan berkeadilan.
Keyakinan masyarakat terhadap sistem kekebalan tubuh anak jauh lebih baik dalam menghadapi Covid-19, hal ini sesuai dengan hasil riset dari ahli Imunologi dan genetika di Icahn School of Medicine, Mount Sinai, New York City, Dusan Bogunovic mengatakan, anak-anak dinilai jauh lebih baik dalam menghadapi dan mengendalikan infeksi virus Corona (sumber,kompas.com.18/09/2021).
Pemberlakuan aturan bahwa anak-anak yang belum divaksin harus belajar online tidaklah tepat sasaran karena anak-anak tetap berinteraksi di luar sekolah secara langsung kepada orang lain baik di pasar, tempat wisata, angkutan umum, rumah ibadah, jalanan, ruang-ruang publik lainnya, alhasil aturan ini akan menimbulkan kebingungan masyarakat yang terkesan pihak sekolah mendiskriminasi anak-anak dalam proses belajar mengajar.
Aturan tersebut dianggap berpotensi akan menciptakan stigma negatif bagi anak-anak yang belum divaksin karena terkesan mengistimewakan anak yang sudah divaksin dan mendiskriminasi anak yang belum divaksin, memilah antara anak yang penyakitan dan bukan penyakitan, atau anak yang menyebarkan virus dan bukan menyebarkan virus, anak yang kebal virus dan tidak kebal virus. Stigma seperti ini tentunya akan merugikan anak-anak dalam mendapatkan hak pendidikannya.
Penulis, Darmin Hasirun
Komentar
Posting Komentar