Langsung ke konten utama

PASUKAN PANTANG MENYERAH

 

Ada momen yang tak akan pernah saya lupakan dari perjuangan mahasiswa kali ini. Di tengah perjalanan panjang menuju garis finis, saya melihat beberapa mahasiswa mulai kelelahan, langkah tertatih, wajah pucat, dan keringat bercucuran. Namun mereka terus melangkah. Bahkan satu mahasiswa yang sempat dibawa ke tim medis untuk pertolongan pertama, di luar dugaan, kembali berdiri dan bergabung lagi dalam barisan.

Ada pula dua mahasiswa lain di barisan belakang yang saya tegur berkali-kali. Langkah mereka goyah, tubuhnya tampak tak sanggup lagi melawan jarak. Saya memintanya beristirahat, memisahkan diri demi keselamatan dan kondisi mereka yang sudah tidak prima. Namun jawaban yang keluar, lirih tapi tegas: “Kami masih kuat, Pak…” Ah… dada ini seakan diremas. Haru, sedih, dan bangga bercampur jadi satu. Di tengah rasa khawatir, saya melihat ketegaran yang begitu tulus, tekad yang lebih kuat dari rasa sakit itu sendiri.

Sempat juga ada yang meminta plaster luka karena kulit kakinya mulai luka karena sudah lebih 8 jam berjalan dan berdiri ditengah jalan yang sangat panas, demi melanjutkan sampai ke garis finish.

Saya dan tim pendamping selalu dihantui kekhawatiran, jangan sampai ada yang tumbang di tengah perjalanan. Karena itu, apa pun kami upayakan demi mereka: makanan, minuman, dan semua yang bisa membantu mereka bertahan, kami berikan tanpa ragu.

Untuk tim pendamping mahasiswa, Kak Rahman Daud, Arini selaku Ketua Presma UMU Buton, Surya, dan teman-teman dosen lainnya, saya ucapkan HEBAT!. Kalian tidak hanya setia mendampingi, tetapi juga setia melayani, menjaga setiap langkah mereka hingga ke garis finis.

Bayangkan, teman-teman… kita memulai perjalanan ini pukul 09.00 pagi dan baru tiba di garis akhir pukul 21.00 malam. Dua belas jam penuh kalian bertempur di bawah teriknya matahari siang, menembus debu yang mengaburkan pandangan, bertahan dalam antrian panjang, melawan lelah, dan mengatasi perasaan yang bercampur aduk di dalam hati.

Namun kalian tetap berdiri. Tetap melangkah. Tetap menjadi pasukan yang pantang menyerah.

 


PELATIH YANG LETIH DAN HARU DI BALIK BARISAN

Bertahun-tahun saya berdiri di pinggir lapangan, memberi aba-aba, mengatur kegiatan, dan memotivasi peserta di berbagai event pertandingan. Namun kali ini, rasanya berbeda. Haru yang menggenang di dada saya bukan karena seragam mereka yang rapi, bukan karena barisan yang lurus sempurna, apalagi mimpi meraih juara. Yang membuat hati saya bergetar adalah semangat mereka… semangat untuk melawan lelah yang mencabik-cabik, penat yang menggerogoti, dan tubuh yang hampir runtuh di bawah terik matahari yang membakar, dalam perjalanan panjang yang seakan tak berujung.Tahun ini adalah tahun terberat sepanjang sejarah baris berbaris di Kota Baubau sejak berdirinya pada 2001. Hari itu, Selasa, 12 Agustus 2025, menjadi hari yang akan membekas di ingatan saya selamanya. Sejak pagi hingga sore mereka berdiri dan melangkah, lalu menembus malam hingga pukul 21.00 WITA. Panas siang mengiris kulit, betis mulai bergetar tak sanggup menopang tubuh, napas tersengal-sengal, dan tenaga seakan tersedot habis oleh langkah-langkah yang tak mengenal belas kasihan.

Satu per satu rombongan dari organisasi lain mulai tumbang. Ada yang pingsan, ada yang kejang-kejang, ada pula yang jatuh terduduk di atas aspal, memegangi dada atau kakinya sambil menahan nyeri.

Menjelang magrib, saya masih ingat seorang mahasiswa—namanya bahkan tak sempat saya ingat—menarik napas berat lalu berbisik lirih, “Pak… asam lambung saya kumat…” Tubuhnya lemas, wajahnya pucat pasi, hingga akhirnya ia dibawa ke tim medis di depan kantor BNI Cabang Baubau.

Tak lama, dua peserta lain menyusul melapor. Asam lambung mereka pun naik, meski sebelumnya sudah makan, minum, bahkan menelan obat maag yang diberikan oleh Arini, Presiden Mahasiswa UMU Buton. Mereka akhirnya diamankan di sebuah warung terdekat, duduk lunglai, meneguk air hangat dengan tangan bergetar. Ada pula seorang peserta yang benar-benar tak berdaya—setiap makanan yang masuk kembali dimuntahkan. Tubuhnya menolak bertahan, namun matanya menolak menyerah.

Di tengah barisan, seorang peserta merintih, memegangi kakinya yang sakit tak tertahankan. “Pak… sepatunya bisa saya lepas? Sudah tak kuat lagi…” pintanya lirih. Saya hanya mengangguk, memintanya berjalan sambil menggenggam sepatu di tangan.

Namun pemandangan yang paling menusuk hati saya adalah ketika seorang peserta terbaring di tengah jalan, di sekitar Pelabuhan Murhum. Aspal hitam yang panas menjadi alas tidur sementara bagi tubuhnya yang kelelahan. Ia memejamkan mata, mencoba meredam letih yang memuncak, sementara semua ototnya seakan berteriak minta berhenti. Berkali-kali saya memintanya keluar dari barisan demi keselamatan, namun ia menatap saya dengan tatapan teguh—seolah berkata, “Tidak, Pak… saya harus sampai finis.”

Saya meminta Kak Rahman Daud, salah satu pendamping, untuk terus mengawasi seorang peserta perempuan yang wajahnya pucat pasi, langkahnya goyah, seperti kapan saja bisa tumbang. Kami bergegas mencari makanan dan minuman, berharap bisa memberi sedikit tenaga agar mereka tak jatuh sebelum garis akhir. Malam itu, nasi kuning menjadi santap darurat—satu porsi dibagi untuk dua orang, di tengah barisan yang tetap bergerak.

Para pendamping sejak dari Jembatan Gantung mulai berdatangan, menyaksikan dan melayani kebutuhan peserta yang telah berjalan selama tujuh jam penuh. Surya, salah satu pendamping, sejak pagi hingga malam tak pernah melepas tas berisi air mineral. Meski lelah, ia tetap tersenyum, memberi semangat kepada teman-temannya yang bertahan di barisan. Pendamping lain sibuk mencari apa saja yang bisa dimakan—roti, biskuit, gula-gula, gorengan pisang, onde-onde—semua diburu demi memastikan pasukan tak kehabisan tenaga.

Rahman Daud, dengan seragam kampusnya yang basah oleh keringat, terus berjalan di sisi peserta. Sesekali, leluconnya membuat kami tertawa di tengah rasa sakit, seolah ia ingin menghapus letih dengan sedikit tawa.

Malam kian larut. Barisan lain mulai kosong karena banyak yang tumbang. Namun pasukan UMU Buton tetap bertahan. Langkah mereka memang tak lagi gagah, tapi mata mereka masih menyala. Tenaga telah habis, rasa sakit menjalar dari kaki hingga seluruh tubuh, namun semangat mereka… tak pernah padam.

Malam itu, di antara keringat yang membasahi wajah, air mata yang jatuh tanpa suara, dan tubuh yang gemetar menahan lelah, saya memahami satu hal: juara sejati bukanlah mereka yang berdiri di podium sambil mengangkat piala, melainkan mereka yang memilih bertahan hingga langkah terakhir—meski tubuhnya hampir roboh.

Dan di balik semua itu… ada seorang pelatih yang menahan letih, sedih, dan bangga dalam satu waktu, menyaksikan adik-adik mahasiswanya berjuang sampai titik akhir.

Usai meninggalkan barisan, para peserta akhirnya berkumpul di rumah Bu Tika sekitar pukul 21.20 WITA. Di sana, mereka menyantap coto, nasi hangat, pisang masak, dan berbagai hidangan lain—bukan sekadar untuk mengisi perut, tetapi sebagai penutup dari sebuah perjuangan yang tak akan pernah mereka lupakan.

 


Catatan Harian Darmin Hasirun, pukul 16.16 Wita, 13 Agustus 2025.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFIL DARMIN HASIRUN

  CURRICULUM VITAE     CURRICULUM VITAE   Nama Lengkap   Darmin Hasirun, S.Sos., M.Si . Tempat Tanggal Lahir   Bone-Bone, 10 Juli 1985 Jenis Kelamin   Laki-Laki (L) Pekerjaan   Dosen Agama   Islam Alamat   Lorong Hatibi, Kelurahan Tanganapada, Kecamatan Murhum Kota Baubau , Provinsi Sulawesi Tenggara . Hobi   Membaca, Meneliti, Menulis, Mengajar, Traveling dan dan Diskusi Alamat Email (Pribadi)           darmin.hasirun@gmail.com Kontak Person   0852 1370 8268   Riwayat Pendidikan dan Karya Ilmiah Jenjang Pendidikan Nama Institusi / Program Studi Tahu...

HANYA HITUNGAN JAM KAWASAN ELIT LOS ANGELES RATA DENGAN TANAH

Berita mengejutkan datang dari negeri Paman Sam Amerika Serikat tepatnya di kawasan elit Los Angeles Distrik Pacific Palisades, Negara Bagian California dilanda kebakaran sangat besar dan sulit dipadamkan (Selasa pagi, 7 Januari 2025). Angin Santa Ana yang sangat kuat dengan kecepatan hingga 129 km/jam terus menggila mendorong api melahap setiap bangunan dan sarana yang dilewatinya, ditambah kekeringan yang berkepanjangan serta rumah-rumah elit yang sebagian besar terbuat dari bahan kayu yang mudah terbakar menjadikan kebakaran kian menyebar dengan sangat cepat, bahkan para petugas kebakaran tidak mampu mengatasinya. Kebakaran hebat ini mengakibatkan Los Angeles rata dengan tanah, lebih dari 10.000 bangunan perumahan, fasilitas bisnis dan sarana lainnya bah hilang ditelan bumi. Dilansir di website Kompas.com dengan judul berita “Kebakaran Los Angeles Jadi Bencana Termahal di AS, Kerugian Sudah Mencapai Rp.2.121 Triliun” (11/01/2025), bahkan pada situs berita Sindonews.com menulis tajuk...

FIPH MENYELENGGARAKAN TALKSHOW “PEMBATASAN DISTRIBUSI BBM BERSUBSIDI, SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?”

  Maraknya aksi penimbunan BBM, monopoli pembeliannya, permainan harga BBM bersubsidi, antrian panjang hingga berdampak pada konsumsi BBM bersubsidi tidak tepat sasaran. Kondisi seperti ini menimbulkan banyak keluhan masyarakat terhadap manajemen pendistribusian BBM bersubsidi. Disisi lain BBM bersubsidi yang seharusnya dirasakan langsung masyarakat miskin dengan   harga yang terjangkau tetapi fakta di lapangan menunjukan sebaliknya yaitu BBM bersubsidi malah dimonopoli oleh para pengecer dengan menggunakan kendaraan yang telah dimodifikasi agar dapat menampung BBM dalam jumlah besar. Para pengecer ini yang notabene tidak mempunyai izin usaha resmi terkait penjualan BBM bersubsidi terkesan kurang diawasi oleh pihak Pertamina maupun Kepolisian. Hal ini diduga ada permainan antara pihak SPBU dan para pengecer yang ingin meraih keuntungan sebesar-besarnya tanpa memikirkan kebutuhan masyarakat lain. Alhasil banyak Pertalite dalam bentuk botolan dijual bebas sepanjang jalan den...