Beberapa
hari ini kita menyaksikan fenomena menjelang Pilkada yang memilukan dan
memalukan di Kabupaten Buton, kejadian yang mengingatkan kita pada Pilkada 4
tahun lalu, dimana ada satu pasangan calon tidak lolos berkas hanya karena
tidak memenuhi ambang batas parlemen. Kejadian ini mengisyaratkan bahwa daerah
Kabupaten Buton belum bisa move on
pada upaya menciptakan pemilihan kepala daerah yang bersih, damai dan berwibawa,
hal ini ditandai pecahnya kesabaran masyarakat yang berujung pada amukan massa
yang tidak terbendung hanya karena satu dan lain hal.
Kamis,
tanggal 29 September 2016 adalah momentum yang tidak akan dilupakan dalam benak
masyarakat Kabupaten Buton, dimana kita sedang diperdengarkan dan
dipertontonkan situasi turbulensi sosial yang tidak puas dengan lembaga KPUD.
Lembaga yang dikenal independen terhadap segala kepentingan politik daerah,
merekalah yang seharusnya menjadi wasit dalam gelanggang pertandingan memperebutkan
hati rakyat di daerah.
Kekesalan
massa Kubu Pasangan Hamin dan Farid kepada anggota KPUD yang tidak segera diputuskan,
apakah pasangan tersebut diterima atau ditolak untuk maju di Pilkada Kabupaten
Buton. Massa yang kesal kemudian melempari kantor KPUD Kabupaten Buton. Melihat
massa yang mulai berusaha merangsek, segera mengeluarkan beberapa kali tembakan
peringatan. Pada saat yang sama petugas juga mengevaluasi lima anggota KPUD
keluar kantor tanpa mengambil keputusan apapun. “Kalau mau aman, anggota KPU
harus segera memutuskan apakah H.Hamin diterima atau ditolak. H Hamin diterima,
KPU aman, “teriak beberapa pendukung pasangan Hamin/Farid”. (Republika.Co.Id,
Sabtu 1 Oktober 2016).
Berdasarkan
kejadian di atas, ada beberapa hal penting yang menjadi pelajaran buat anggota
KPUD diantaranya terlihat manajemen komunikasi KPUD masih lemah dalam
memberikan pemahaman kepada publik, padahal mereka harusnya punya dasarnya
pertimbangan kuat, apakah diputuskan sekarang atau hari tertentu sesuai dengan
mekanisme yang berlaku, nampaknya tekanan massa yang datang mengawal pasangan Hamin/Farid
menjadikan anggota KPUD kehilangan kemampuannya dalam memberikan penjelasan kepada
massa. KPUD sebagai lembaga yang independen tidak boleh memutuskan sesuatu dibawah
tekanan, intimidasi, pesanan pihak tertentu, dan pengaruh kekuasaan penguasa.
Roh KPUD yang bersifat independen ternyata hilang ditelan massa sehingga mereka
tidak berani bahkan tidak mampu meredam emosi massa yang datang pada saat itu. Kejadian
tersebut mengakibatkan penundaan keputusan sampai pada waktu yang tidak
ditentukan.
Keanehan
dan keganjilan yang dirasakan oleh para pendukung Hamin/Farid menjadikan
isu-isu negatif berkembang pesat dan menyerang lembaga pelaksana Pilkada ini,
mulai dari penerima suap dari pihak tertentu, mendapatkan pesanan, masuk angin,
adanya intervensi, bahkan sudah menjalin kerjasama (kolusi) dengan pihak
tertentu guna mewujudkan calon tunggal pada Pilkada 2017 dan berbagai isu
negatif lain yang tentunya belum terbukti kebenarannya. Tingkah laku
mencurigakan dari anggota KPUD mengingatkan saya pada kasus Kopi Vietnam rasa Sianida
yang menjerat Jessica sebagai terduga yang meracuni Mirna tetapi pembuktian
hukumnya belum kuat, disisi lain masyarakat sudah menaruh kecurigaan yang kuat
bahwa Jessica-lah yang membunuh Mirna karena tingkat lakunya yang aneh,
begitupula dengan anggota KPUD tersebut.
Kesimpangsiuran
informasi yang beredar telah menjadikan publik bingung dan marah dengan
penetapan pasangan calon tunggal di Kabupaten Buton, bagaimana tidak. Beberapa
hari sebelumnya, TV swasta Nasional seperti Metro TV, TV One dan beberapa TV
swasta lainnya ternyata sudah terlanjur melempar informasi kepada masyarakat
khususnya di Kabupaten Buton bahwa hanya ada satu pasangan calon yang akan mengikuti
pemilihan kepala daerah.
Informasi
di atas dipublikasikan berdasarkan berita yang dikutip dari laman
infopilkada.kpu.go.id per 27 September 2016, dicatat bahwa 7 daerah berpotensi
hanya memiliki pasangan calon tunggal. Ketujuh daerah tersebut adalah Kabupaten
Tulang Bawang Barat (Lampung), Kabupaten Pati (Jawa Barat), Kabupaten Pati
(Jawa Tengah), serta, Kota Landak (Kalimantan Barat). Selain keempat daerah
tersebut, tiga daerah lain yaitu Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara), Kota
Tebing Tinggi (Jambi), dan Kabupaten Kulon Progo (Yogyakarta) juga tercatat
hanya memiliki pasangan calon kepala daerah tunggal.
Melihat
informasi di atas maka KPUD Kabupaten Buton memutuskan memperpanjang masa
pendaftaran pasangan bakal calon selama tiga hari, 27-29 September 2016.
Keputusan ini diambil karena pihak KPUD melihat masih ada peluang munculnya
satu pasangan calon lain. Alhasil, tanggal 29 September 2016 pasangan Hamin dan
Farid melakukan pendaftaran yang dipadati oleh ratusan bahkan ribuan masyarakat
baik sebagai simpatisan, relawan ataupun hanya sekedar datang menyaksikan
saat-saat bersejarah di Kabupaten Buton.
Pembentukan
opini publik lewat media ternyata menaruh curiga dari massa pihak pasangan
Hamin dan Farid bahwa ada rencana terselubung yang akan dimainkan oleh anggota
KPUD Kabupaten Buton, dan isu itu terjawab setelah pasangan ini dinyatakan
bahwa berkas yang dibawah di kantor KPUD maladministrasi (cacat administrasi)
karena salah satu rekomendasi dukungan partai politik PKPI ditandatangani Ketua
Umum dan Wakil Sekjen. Menurut Tim Sukses Hamin/Farid, rekomendasi PKPI
ditandatangani Ketua Umum dan Wakil Sekjen karena Sekjen PKPI sudah dipecat
dari kepengurusan partai, oleh karena itu mereka lampirkan bukti administrasi
bahwa Wakil Sekjenlah yang menggantikan Sekjen secara kelembagaan.
Ternyata,
pihak KPUD mempunyai alasan tersendiri yang menyebabkan berkas yang dibawah
pasangan Hamin/Farid masih belum memenuhi syarat ketentuan yang berlaku,
seperti yang termuat dalam Surat Kemenkumham RI Nomor AHU.4.AH.11.01.84.
Perihal Penegasan Susunan Personalia DPN PKPI tanggal 20 September 2016 yang
menegaskan bahwa Ketua Umum Isran Noor dan Sekretaris Jenderal Semuel Samson.
Bunyi
surat di atas telah memberikan referensi bagi anggota KPUD untuk memutuskan
bahwa diluar dari surat Kemenkumham tidak bisa diterima seperti yang termuat
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota pada pasal 40A ayat 2, 3, 4 dan 5 yang berbunyi sebagai berikut:
(2)
Dalam
hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan
pasangan calon merupakan kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang sudah
memperoleh putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain dan didaftarkan serta
ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(3)
Jika
masih terdapat perselisihan atas putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat
mendaftarkan pasangan calon merupakan kepengurusan yang sudah memperoleh
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan didaftarkan
serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(4)
Putusan
Mahkamah Partai atau sebutan lain atau putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (3) wajib
didaftarkan ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak terbentuknya kepengurusan yang baru dan wajib ditetapkan dengan keputusan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya
persyaratan.
(5)
Dalam
hal pendaftaran dan penetapan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) belum selesai, sementara batas waktu pendaftaran pasangan calon
di KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota akan berakhir, kepengurusan Partai
Politik yang berhak mendaftarkan pasangan calon adalah kepengurusan Partai
Politik yang tercantum dalam keputusan terakhir menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.”
Menurut
saya ini bukan masalah hukum yang bisa diinterpretasikan berdasarkan keputusan
KPU RI maupun Kemenkumham, tetapi ini masalah manajemen komunikasi anggota KPUD
karena KPUD hanya bisa melaksanakan tugasnya jikalau ada perintah dari
peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilihan kepala daerah, jadi
argumentasi dari pihak Hamin/Farid secara aturan kelembagaan partai politik
benar tetapi menurut Undang-Undang dan keputusan Kemenkumham belum tentu benar karena
wakil Sekjen yang mengganti Sekjen harus melalui keputusan Mahkamah Partai dan
disahkan oleh Kemenkumham, disamping itu KPUD tidak bisa dan tidak boleh
mengurus masalah partai, yang harus diurus mereka adalah masalah peraturan
perundang-undangan.
Jadi,
saya melihat kejadian di atas, anggota KPUD masih lemah mengartikulasikan
peraturan yang ada sehingga ada mispersepsi yang dibangun oleh kubu Hamin/Farid
dan pihak KPUD. Ditambah lagi manajemen tim KPUD masih bercerai berai, bisa
jadi isu-isu yang berkembang bahwa mereka menerima sesuatu itu benar dan bisa
pula tidak benar, bagi saya benar atau tidak isu tersebut harusnya masuk pada
pembuktian di ranah hukum bukan opini, dan seharusnya pihak KPUD lebih jeli
mempersiapkan diri, lebih-lebih menghadapi tekanan massa yang ingin jagoannya
masuk sebagai calon kepala daerah tahun 2017 nanti.
Dilemanya
anggota KPUD terhadap tugasnya, menyisahkan pertanyaan publik “ada apa dengan
KPUD Kabupaten Buton?” Oleh karena itu ketegasan dan kejelian pihak KPUD
memutuskan Hamin/Farid lolos atau tidak harus dilakukan dengan sadar dan tidak berada
dibawah pengaruh siapapun, yang tentunya segala konsekuensi keputusan tersebut
menjadi tanggungjawab anggota KPUD secara moral maupun hukum.
Selamat
bekerja, semoga keputusannya adalah yang terbaik untuk daerah..!
Komentar
Posting Komentar