Setelah
proses pendaftaran para calon kepala daerah selesai, maka tahapan berikutnya
melakukan pemeriksaaan kesehatan, setiap harinya mereka jalani tahapan demi
tahapan sampai pada hari pengumuman lolos tidaknya sebagai pasangan calon
kepala daerah tahun 2017. Babak baru telah dimulai, para calon tidak berdiam
diri menunggu hari pengumuman tersebut karena dalam benak mereka pasti akan
lolos menjadi kandidat.
“Sambil
berenung minum air”, inilah ungkapan untuk menggambarkan kegiatan para calon
yang terus menerus melakukan sosialisasi memperkenalkan diri mereka kepada
masyarakat sambil menunggu detik-detik pengumuman, tidak terlihat wajah pesimis
pada raut mukanya, optimis tetap dipegang sebagai prinsip kemenangan.
Wajah-wajah para calon mengingatkan saya pada pemain bulu tangkis ganda yang
selalu yakin dengan kekuatan tim untuk mengalahkan lawannya.
Jikalau
kita melihat pertandingan bulu tangkis, akan terbayang situasi dimana mereka saling
berhadapan di tempat yang sama, saling berlawanan, dan berusaha mendapatkan
poin tertinggi untuk menjadi yang terbaik dalam pertandingan. Tidak ada dendam dalam
diri mereka meskipun bersaing ketat, head
to head saling bertarung memperebutkan juara karena dalam benaknya berkata
bahwa orang yang akan dihadapi adalah lawan yang harus dikalahkan bukan musuh
yang harus benci.
Inilah
yang melatar belakangi tulisan ini disusun, untuk memberikan pendidikan politik
bahwa konteks Pilkada merupakan pertarungan memperebutkan dukungan rakyat,
siapa yang paling banyak mendapatkan simpati dari rakyat maka dialah
pemenangannya. Sama halnya dengan para pemain bulu tangkis ganda yang saling
bekerjasama menyusun strategi dan kerjasama tim sebagai kekuatan agar bisa
mengalahkan lawannya. Begitupula dengan para pasangan calon kepala daerah
harusnya bisa mengambil contoh pada pertandingan bulu tangkis yang berjalan
secara sportif dan menyenangkan sehingga tidak perlu menciderai lawannya dengan
melakukan pelanggaran aturan atau mencaci maki lawannya karena perilaku ini
tidak relevan dengan prinsip sportifitas dalam setiap pertandingan.
Silahkan
melakukan sosialisasi dan kampanye kepada masyarakat dengan berbagai strategi
pemasaran politik, entah menggunakan media eletronik seperti televisi, radio, internet
(media sosial dan youtube) atau sejenisnya, media cetak seperti koran, buletin,
spanduk, stiker dan lain-lain. Kampanyepun bisa dilakukan doar to doar (dari rumah ke rumah) untuk membuktikan bahwa mereka
dekat dengan rakyat dan mendengarkan aspirasinya.
Cara
yang sehat dan bermartabat dalam pertandingan akan menciptakan persaingan yang
terhormat artinya para peserta saling berlawanan dengan menjunjung tinggi aturan
main yang sudah berlaku. Oleh karena itu anggaplah kubu lain sebagai lawan yang
harus dikalahkan bukan musuh yang dibenci. Lawan adalah hal normal dalam setiap
kontes sedangkan musuh selalu dianggap bahwa kubu lain sebagai ancaman
berbahaya bagi dirinya atau golongannya sehingga memunculkan perilaku fitnah,
black campaign, tidak terpuji dan tidak manusiawi.
Sebagai
petarung sejati dan publik figur, tentunya harus bisa memberikan contoh kepada
masyarakat tentang cara mengalahkan lawan dengan taktik dan strategi yang
elegan. Sangat tidak mendidik jikalau para kandidat bermain curang dalam
pertandingan dengan menghalalkan segala cara seperti yang dikatakan oleh
Niccolo Machiavelli dalam bukunya The
Principe (Sang Pangeran) mengatakan bahwa politik menguraikan tindakan yang
bisa atau perlu dilakukan seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan
kekuasaan. Nama beliau, kemudian diasosialisasi dengan hal yang buruk, menghalalkan
cara untuk mencapai tujuan (Wikipedia, 9 Oktober 2016 pukul 17.09 wita).
Cara-cara
dengan menghalalkan apapun untuk mendapatkan jabatan kepala daerah terlihat
pada saat proses memperebutkan kursi partai sebagai syarat parlement threshold (ambang batang parlemen), cara yang dipakai
layaknya sedang bermain judi, saya meminjam istilah “Qiu-Qiu” merupakan salah satu jenis permainan judi menggunakan
kartu untuk mendapatkan keuntungan dari kemenangan yang diraihnya. Saling
tindis menindis jumlah harga yang harus dibayar oleh calon kepala daerah hingga
mendapatkan angka nominal tertinggi, siapa yang paling tinggi nominal uangnya,
maka dialah pemenangannya. Hukum permintaan dan penawaran kerapkali terjadi
untuk mendapatkan dukungan partai politik, siapa yang pintar menawar dan melakukan
permintaan maka mereka akan berpeluang mendapatkan “golden tiket” untuk masuk dalam
gelanggang Pilkada. Belum berhenti disitu, kecurangan terus dilakukan sampai
membeli suara rakyat seharga Rp.50.000 sampai ratusan ribu rupiah/kepala,
tergantung besaran dukungan dan pengaruhnya di masyarakat. Inilah cara-cara
tidak sportif dan tidak beradab dalam permainan politik, mereka menganggap berpolitik
dianggap permainan judi yang dilegalkan atau judi untuk mengejar keuntungan
pribadi. Maka disinilah letak kesalahan menginterpretasikan makna konteks
politik pemilihan kepala daerah.
Kubu
lain tidak lagi dianggap sebagai lawan yang perlu dikalahkan secara terhormat,
tetapi sudah dianggap musuh yang perlu tumbangkan. Bahkan yang lebih fatalnya
lagi tindakan-tindakan pengancaman, penekanan, dan intimidasi lainnya menjadi
halal digunakan agar nyali musuh menciut saat menghadang pihak yang
mengintimidasi tersebut.
Permainan
kotor seperti bermain di tengah lumpur, menjadikan para calon harus merelakan
diri, mau tidak mau, suka tidak suka harus masuk dalam permainan kotor demi
meraih kemenangan sehingga banyak orang menilai bahwa politik praktis sangat
jauh berbeda dengan politik teoritis yang mengajarkan tentang aturan berpolitik
baik, sopan, dan beretika tidak terpakai saat pelaksanaan di lapangan. Sungguh sangat
menyedihkan, para pemain politik seakan bermain bebas tanpa mengenal Tuhannya,
terkesan agama adalah agama, politik adalah politik yang tidak boleh tercampur
karena akan menimbulkan noda dalam agama. Inilah pemikiran sekuler yang
memisahkan urusan agama dan urusan duniawi.
Para
kandidat yang ingin menjadi juara di politik daerah maupun nasional tentunya
harus memperhatikan aturan-aturan bernegara yang baik sehingga rakyat bisa
menyaksikan permainan para kandidat seperti bermain bulu tangkis ganda, saling
bekerjasama membentuk tim dan kekompokan dengan menonjolkan kekuatan dan
strategi sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Negara
menciptakan pesta demokrasi ini setiap lima tahun sekali, bukan untuk
mengajarkan para kandidat dan masyarakat pendukung kandidat saling bermusuhan
atau saling bertikai hanya karena ingin menang sendiri. Pemilihan kepala daerah
bertujuan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin daerah berkualitas yang dipilih
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat pula. Oleh karena itu pada
saat mereka kalah dalam pertandingan bukanlah memunculkan reaksi dendam dan tidak
mengakui kekalahannya, sungguh dia bukanlah pemain kesatria yang hanya siap
menang tetapi tidak siap kalah.
Selesainya
pemilihan dan pengumuman pemenang maka selesai pula permainan, ketika sang juri
meniup pluit sebagai tanda berakhirnya pertandingan, setelah para kandidat
saling merangkul dan bekerjasama membangunan negeri, inilah tanda orang yang
berpolitik dengan lawan yang sportif, bukan mencari-cari musuh hingga
menimbulkan kekecewaan dan kesengsaraan rakyat di daerah.
Menjaga
sportivitas para pemain (pasangan calon kepala daerah), pemberi tiket (Elit
Partai) dan wasit (KPUD) akan lebih elok di pandang mata meski dalam kondisi
tegang tetapi masyarakat masih menaruh harapan tinggi terhadap perubahan besar dari
pemimpin yang lahir murni di tangan rakyat, tangan yang tidak ternodai oleh
perbuatan kotor, tangan yang selalu terjaga kesuciannya dari politik uang, dan
tangan yang selalu merangkul satu dengan lainnya.
Para
kandidat yang bermain dengan cara–cara konstitusional akan menjadi juara idaman
masyarakat, sebaliknya rasa marah atau dendam pada kubu lain menandakan sifat
egoisme dirinya terhadap kekuasaan, mereka harusnya mempunyai niatan ikhlas
untuk kepentingan seluruh masyarakat dengan menganggap semua yang menang dan
kalah hanyalah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan
kesempatan itu akan menjadi beban tanggungjawab berat di kemudian hari.
Tidak
ada permainan yang lebih indah selain bermain secara sportif, tidak ada
permainan yang lebih gagah selain bermain secara kesatria, dan tidak ada
permainan yang lebih bernilai selain bermain secara beradab. Politik bukan
mencari siapa yang menang dan kalah, politik mencari siapa yang dapat
memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dengan kekuasaannya, seperti yang
diungkapkan oleh Aristoteles bahwa
politik merupakan usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama. Trim’s.
PANTAI WABOKEO, PULAU BATUATAS |
Komentar
Posting Komentar