Kelemahan lain yang saya miliki dalam bidang
politik adalah belum pernah menjadi pragmatis politik sebagai lagu wajib para pemain
politik di daerah maupun nasional, saya lebih memilih menjadi pekerja sosial,
pengajar dan peneliti ketimbang menjadi praktisi politik meskipun banyak orang
beranggapan bahwa pengalaman adalah guru terbaik artinya pengalaman
berpolitiklah yang membimbing dalam meningkatan kemampuan di bidang yang
ditekuninya. Siapapun yang terjun secara langsung merasakan dan memikirkan atau
menjadi bagian dari tim pemenangan/pengurus partai politik/pencalonan
legislatif atau sejenisnya dalam mencapai tujuan mendapatkan jabatan/kedudukan
di pemerintahan, maka dialah yang bisa menginterpretasikan bahkan meramalnya
perkembangan fenomena politik. Pemikiran ini ada benarnya tetapi tidak semua
benar karena berpolitik adalah naluri manusia yang dibawa sejak lahir dan
siapapun bisa berpolitik entah melalui pendidikan formal atau pendidikan non
formal dengan berlandaskan pada pengalamannya mengikuti cara berpikir praktisi.
Di dunia pertarungan politik seperti Pilkada
ataupun Pilcaleg, banyak interprestasi menyatakan bahwa orang-orang yang ingin
mendapatkan kekuasaan tidak bermodalkan uang banyak, maka kata-katanya hanya
menjadi bahan tertawaan orang lain atau rayuan gombal saja agar dipilih saat
pemilihan nanti. Ketidakyakinan masyarakat terhadap orang-orang yang ingin
meningkatkan karirnya di bidang politik berdampak pada ketidakpercayaan diri
para calon, padahal bisa jadi mereka tergerak hatinya tulus membantu masyarakat
tetapi stigma negatif kadang melekat pada orang-orang yang bergelut dalam
politik praktis bahwa berpolitik itu banyak tipu-tipunya.
Sedikitpun tidak ada niatan saya terjun di
dunia politik karena jiwa saya lebih condong menjadi pemerhati kondisi sosial, pengamat
atau analis politik pemerintahan sebagai bagian dari pendalaman ilmu ditekuni
selama bertahun-tahun. Dengan bekal ilmu yang dimiliki tidak jarang orang
mengajak saya masuk menjadi anggota partai politik atau berpartisipasi menjadi
calon anggota legislatif tetapi diri selalu menimbang masih banyak dosa
kulakukan kepada orang lain, sementara disisi lain kita diharuskan total bermain
sebagai aktor politik yang mengurus masalah semua rakyat. Konsep diri lebih
dikedepankan ketimbang konsep egoisme ingin mendapatkan sesuatu. Konsep diri
yang dimaksudkan adalah tahu kapasitas, kelebihan dan kelemahan diri sehingga
saat melangkah selalu mawas diri dan tidak mudah terjebak pada politik campur
sari (dosa dan amal bersatu) untuk mendapatkan cita rasa kepuasan diri.
Terjun ke dunia politik adalah totalitas pengabdian
diri demi kejayaan dan kemakmuran rakyat. Maka orang-orang yang sudah lama
melintang dalam arena politik harusnya menjadi panutan bersama, bahwa inilah
cara berpolitik ala ketimuran atau politik Pancasila. Politik yang melihat
nilai budaya lokal (local wisdom value)
dan nilai kenegaraan (nation value)
dalam simbol negara yaitu Pancasila.
Politik bernegara yang dipraktekan sekarang,
masih jauh dari amanah undang-undang dalam memberikan kebebasan kepada
seseorang untuk dipilih maupun memilih dalam prinsip-prinsip jujur, adil,
langsung, umum, bebas dan rahasia. Dalam ranah politik praktis kadang rakyat jelata
tidak mempunyai panggung untuk berlaga di pentas politik daerah maupun nasional,
hanya orang-orang berduit (kaum borjuis
dan elit) yang mempunyai peluang besar mengaktualisasikan diri
bertarung memperebutkan kedudukan nomor satu. Rakyat hanya dihitung saat
pemilihan tetapi kurang diperhitungkan dalam pembangunan, mereka diperhatikan
dan didatangi saat-saat pemilihan tetapi dilupakan saat duduk disinggasana.
Saya tidak bisa memastikan faktor apa gerangan sehingga para elit yang telah
berhasil duduk di kursi empuk kekuasaan terkesan gayanya berubah dari “blusukan
ke rakyat menjadi blum sekarang ke rakyat”. Saya hanya menduga bisa jadi mereka
kurang ke rumah-rumah rakyatnya karena sibuk mengurus teman-teman elitnya, atau
hati dan pikirannya telah tertutupi oleh cinta jabatan, uang, dan harta. Dugaan
ini tentunya bisa dibantah oleh siapapun berdasarkan pengalaman atau sudut
pandang pengetahuannya masing-masing dalam mengkaji masalah politik.
Bagi saya politik adalah kata “sakral”
diucapkan setelah agama. Jikalau agama mengajarkan mengurus tentang masalah habluminallah (hubungan manusia kepada
Allah) dan habluminannas (hubungan manusia
dengan manusia lain), maka politik mengajarkan hubungan diri dengan negara dan
hubungan diri dengan rakyat.
Banyak pula orang-orang menilai saya sebagai
salah satu relawan pasangan calon ketika berkomentar tentang politik daerah
maupun nasional karena ada keberpihakan argumentasi pada kubu lain, satu
katapun salah diucapkan maka penuduhan berbalik arah bahwa saya adalah
pendukung kelompok tertentu. Padahal dalam benak saya siapapun yang terpilih
nanti itulah calon terbaik, dan dia harus memberikan perhatian penuh kepada
seluruh rakyat yang dipimpinnya tanpa terkecuali, jiwa inilah berpotensi besar
yang dapat menggugurkan sikap nepotisme (kekeluargaan) dan kolusi (pertemanan)
dalam setiap kebijakan pemerintah.
Politik pada dasarnya sudah melekat pada diri
manusia sejak lahir, seperti yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa manusia
adalah zoon politicon artinya hakikat
kehidupan sosial adalah interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan
melibatkan hubungan politik oleh karena itu manusia yang mempunyai
kecenderungan selalu berpolitik ingin mencapai sesuatu. Dari lahir kita (usia
bayi) sudah mempraktekan politik itu sendiri dengan ekspresi menangis agar
mendapatkan perhatikan oleh orang-orang disekitar, saat remajapun sering kita
melakukan kegiatan politik dengan berkeinginan menjadi juara kelas, begitupula
saat usia dewasa pasti sudah lebih jauh lagi cakupan maupun tujuannya. Mungkin
saat kecil kita mengartikan politik hanya sebatas pada cakupan dan tujuan
pribadi tetapi setelah dewasa cakupan dan tujuannya untuk rakyat. Inilah cara
pandang kita yang membedakan mainstream
politik anak-anak dan dewasa.
Idealnya politik merupakan cara memanfaatkan
sarana kekuasaan demi mencapai tujuan rakyat, tetapi fakta di lapangan berkata
lain, politik diartikan cara pemanfaatan suara rakyat untuk mencapai tujuan
kekuasaan. Sungguh mindset berpikir
para pemain politik berubah 180 derajat dari posisi awal (idealnya), rakyat
hanya dijadikan alat untuk mendapatkan legitimasi politik, sedangkan kekuasaan
menjadi tujuan (goal) perjuangannya
sehingga banyak orang menilai bahwa pihak yang sering menang dalam konteks
pemilihan adalah politikus ulung, sang jawara politik atau nama lainnya.
Minat saya mengkaji masalah politik adalah bagian
dari hobi karena dari dulu saya suka dengan sesuatu yang menyangkut “analisis”,
maka disinilah ketajaman berpikir, informasi update dan data akurat diperlukan untuk membuat prediksi-prediksi
peta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman antara kubu satu dengan kubu
lainnya, layaknya bermain game detektif
yang sedang memecahkan masalah dengan mengumpulkan bukti-bukti agar mengarah
pada pelaku kejadian. Sejak dari SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi jikalau ada
diskusi tentang analisis kejadian atau fenomena masalah maka disitulah pentas permainan
akal dan perasaanku, hingga bisa diramalkan apa yang sudah terjadi dan akan
terjadi, tentu tidak semua benar karena prediksi hanya menebak-nebak
berdasarkan fakta/bukti lapangan sedangkan dinamika politik selalu berubah-ubah
tergantung kesepakatan, makanya ada ungkapan mengatakan “dalam politik tidak
ada yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan”. Tentu saya mengartikan ini
bukan kepentingan pribadi atau golongan tetapi kepentingan rakyat.
Pada ilmu kebijakan publik yang pernah saya
pelajari, kajian ramalan politik masuk dalam analisis kebijakan sedangkan dalam
hal peramalan kejadian masuk dalam policy
forecasting (peramalan kebijakan) berguna untuk mendukung pengambilan
keputusan (decision making) atau formulasi
kebijakan publik (policy public
formulation).
Kadang pula saat melihat atau mendengarkan situasi
yang tidak memungkinkan seperti konflik dan keresahan sosial, maka sayapun
tidak tinggal diam dengan mengajak pihak-pihak yang saling bermusuhan atau bertikai
agar menghindari konflik yang bersifat horizontal (sesama warga), sejak awal
memang harus bisa mendeteksi potensi-potensi konflik tersebut misalnya dalam
pemilihan kepala daerah seringnya kita melihat atau mendengarkan isu-isu yang
berbau “SARA” (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang biasa pula disebut isu
Primordialisme. Banyak macam motivasi melontarkan isu ini diantaranya
memberikan dukungan kepada calon-calon tertentu yang mempunyai ikatan suku,
agama, ras atau antargolongan yang sama. Alasan klasik yang sering kita dengar
adalah ketidakadilan pemerintah terhadap pribumi/kelompok tertentu sehingga
memunculkan kebencian kepada golongan lain yang dianggap telah menikmati kue
kekuasaan dan pembangunan. Isu ini akan muncul saat ada calon kepala daerah
atau presiden yang beragama berbeda dengan lawannya dengan memanfaatkan dan mengajak
masyarakat yang mempunyai ikatan sedarah, seagama, senasib, dan sepenanggungan,
bahkan tidak jarang mereka sering mengeluarkan kata-kata kebencian kepada kubu
lain yang berseberangan. Ini pula yang menggugah perasaanku terhadap kelemahan politik
di tanah air ini disebabkan kencangnya ambisi kepentingan pribadi atau golongan
mengalahkan kepentingan seluruh rakyat.
Saking kencangnya isu SARA tersebut hingga
mereka tidak lagi berpikir secara rasional bahwa orang-orang yang didukung
tersebut mempunyai kemampuan kepemimpinan (leadership)
yang matang atau tidak, punya jiwa bersih atau tidak, program kerjanya
realistis dan merakyat atau tidak. Jikalau bagus program kerjanya, jiwa bersih,
dan kepemimpinannya bagus maka tidak perlu lagi memprovokasi masyarakat pada hal-hal
yang tidak subtansial. Saya katakan tidak subtansial karena masih sebatas
identitas pasangan calon seperti tempat tinggal, tempat kelahiran, agama atau
pekerjaannya, sementara tidak ada jaminan apapun bahwa orang beragama berperilaku
agamais, orang yang lahir di daerah tersebut beradab dan peduli dengan rakyat
daerahnya, ataupun program kerjanya akan memberikan banyak manfaatkan kepada seluruh
rakyat di daerah tersebut.
Heterogenitas kehidupan masyarakat di suatu
daerah, sangatlah tidak relevan menyuarakan dan mempertentangkan perbedaan
identitas seseorang yang berpotensi menjurus pada ego kedaerahan dan kurang
toleran terhadap golongan lain, para pendatang atau berbeda agama di daerah
tersebut. Sementara isu-isu Sara merupakan isu yang sangat sensitif
dibandingkan dengan isu lainnya, ketika seseorang dihina agamanya atau sukunya
pasti akan melahirkan gejolak sosial baik berskala besar ataupun kecil,
tergantung pada besaran isu yang dilontarkan, semakin menghina maka semakin
besar pula peluang konflik antar warga begitupula sebaliknya.
Di tengah perbedaan identitas warga dari
Sabang sampai Marauke ternyata bukan menjadikannya sebagai rahmat (kasih
sayang) tetapi dipandang sebagai ancaman eksistensi kelompok-kelompok tertentu
sehingga mereka menganggap tidak boleh memberikan kesempatan kepada kelompok lain
dalam kekuasaan di daerah/negara. Padahal agama apapun di dunia ini selalu
mengajak kepada cinta kasih dan perdamaian, bahkan agama yang saya anut
(Islam), Allah SWT telah menggariskan dalam kitabnya nan suci (Qur’an),
artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan
kami dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal..” (QS.
Al-Hujurat: 12).
Dalam Qur’an Allah SWT juga berfirman
artinya:
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan..” (QS. Al-Maidah:
48).
Inilah pesan Tuhan kepada semua manusia, jikalau
ingin menyatuhkan semua agama, suku, bangsa dan bahasa maka tinggal mengatakan kun fayakun, jadi maka jadilah” tetapi
Tuhan mengetahui hikmah penciptaannya itu, memberikan cobaan dan pelajaran
kepada semua manusia, serta dibalik perbedaan itu ada cinta kasih, toleransi,
saling berbagi, bekerjasama, saling mengenal dan tolong menolong dalam
kebaikan.
Berdasarkan dua kutipan ayat di atas, maka perlulah
kita merenungkan kembali proses terjadinya manusia di muka bumi ini yang
berasal dari satu nenek moyang yaitu Adam dan Hawa, semuanya adalah saudara,
ada saudara seiman dan ada saudara sesama manusia. Dalam ajaran Islam bahwa
sesama muslim adalah saudara, jikalau muslim satu tersakiti maka muslim lainnya
merasakannya. Inilah gambaran bahwa manusia diharuskan berpolitik dalam
kebersamaan dan perdamaian demi kepentingan seluruh rakyat.
Bagi saya perjuangan melawan penyakit politik
adalah wajib, pertanyaannya apakah penyakit politik itu? Yaitu penyakit yang
diderita oleh para pelaku politik atau pendukung salah satu calon pemimpin yang
ingin mencapai tujuan kekuasaan dengan cara-cara tidak konstitusional dan
beretika. Penyakit politik ini akan berdampak negatif pada pertumbuhan iklim
demokrasi di daerah ataupun negara, contohnya pengkultusan figur tertentu,
saling menghina, money politic,
nepotisme, kolusi, korupsi/penyelewengan kekuasaan, tidak netralnya aparatur
pemerintah, manipulasi, intimidasi dan diskriminasi orang atau kelompok
tertentu. Penyakit inilah yang perlulah
sembuhkan dengan cara-cara yang baik pula, niatan baik harus dilakukan dengan
cara-cara yang baik dengan mengajak, memberikan pencerahan, bahkan melarang
tindakan-tindakan yang mengarah pada perpecahan sesama manusia.
Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan tonggak
awalnya diterapkannya pemilihan kepala daerah serentak, oleh karena itu dalam
setiap tahunnya hampir dipadati oleh situasi politik yang memanas di beberapa
daerah, menegangkan, dan menimbulkan tanda tanya terhadap arah dinamika politik
para elit. Fenomena calon pasangan tunggal di beberapa daerah menimbulkan pro
kontra, berbagai macam reaksi masyarakat, ada yang biasa-biasanya saja tanpa
berlanjut ke mahkamah konstitusi dan ada pula menimbulkan reaksi menegangkan
secara sosiologis akibat permainan politik pihak tertentu yang mengganjal kubu
lain agar tidak mendapatkan dukungan partai sehingga mengakibatkan bakal calon
pilihannya tidak lolos berkas atau tidak memenuhi ambang batas parlemen, maka terjadilah
demonstrasi menolak adanya calon pasangan tunggal. Dalam pandangan saya
seharusnya calon pasangan tunggal tidak boleh lahir di negara demokrasi dengan
alasan apapun, cara menghindarinya adalah memberikan peluang sebesar-besarnya
kepada siapa saja yang dianggap mampu memimpin daerah, mendapatkan dukungan
dari masyarakat, dan memberikan batas maksimal jumlah partai politik pendukung
pasangan calon sebesar 70 persen dan jumlah minimal 20 persen dari jumlah kursi
di DPRD sehingga ada lawan lain yang bisa berkompetisi dalam Pilkada/Pilres
agar dipilih oleh masyarakat, calon-calon kepala daerah yang dipilih oleh
masyarakat itulah hasil demokrasi, bukan suara partai yang seenaknya tidak
memberikan ruang kepada pihak lain dalam bertanding perebutan simpati
masyarakat.
Pasangan calon tunggal seharusnya hanya ada
di negara-negara otoriter baik otoriter konstitusional maupun otoriter absolut
seperti Negara Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim Jong-Un, Negara Mesir di bawah
kepemimpinan Husni Mubarak, Negara Kuba di bawah kepemimpinan Fidel Catro, Negara
Libia di bawah kepemimpinan Muammar Abu Minyar Al-Qaddaffi yang menghendaki
lahirnya pemimpin dari satu jalur kekuasaan saja, bahkan di negara majupun
seperti Inggris mempunyai dwi partai (Partai Konservasi dan Partai Buruh) dan
Amerika Serikat (Partai Republik dan Partai Demokrat) terjadi peluang head to head artinya ada pertemuan
langsung dua pasangan calon untuk bersaing memperebutkan hati rakyat. Di Indonesia
yang memiliki multi partai seharusnya dapat memberikan ruang kebebasan dan
kesempatan berkompetisi mendapatkan suara rakyat, jangan hanya karena suara
partai sehingga bisa tergganjal jalan perjuangan pasangan calon lainnya. Inilah
yang saya sebut Sistem Otoriter dalam Negara Demokrasi.
Masalah politik dan pegawai negeri sipil
adalah masalah yang sering menjadi sorotan publik, saya melihat setelah
berlakunya Undang-Undang tentang Aparatur Negeri Sipil, telah melarang keras
para pegawai negeri sipil yang terbukti terlibat secara langsung dalam
pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah seperti menjadi anggota partai
politik atau menjadi tim sukses/relawan salah seorang kandidat, fakta
membuktikan ada cela dalam isi undang-undang ini seperti pimpinan kantor/dinas
melakukan kegiatan politik terselubung dengan mengajak sanak saudaranya atau
dirinya sendiri ikut mendukung salah satu calon sehingga implementasi
undang-undang masih setengah hati karena kita akui bahwa dalam sejarah politik
nasional kekuatan birokrasi merupakan salah satu kekuatan besar dalam
penggalang suara rakyat. Kadang pula kita melihat sikap seseorang dalam mencari
jabatan dengan menggaransikan kelompoknya menjadi salah satu pendukung kandidat
tertentu. Bagaimana tidak, ketika seorang kepala daerah memberikan jabatan
kepala dinas atau sejenisnya maka dia akan tersandera dengan deal-deal politik
atau lebih dikenal politik balas budi artinya saat seseorang diberikan jabatan maka
harus dibalas dengan jabatan pula.
Fenomena di atas adalah gambaran sekelumit
permasalah politik di nusantara ini, masih banyak masalah-masalah seputar
politik yang bisa jadi tidak akan ada habisnya sampai akhir zaman nanti. Segala
yang terjadi di dunia ini adalah cobaan, tantangan dan bunga-bunga kehidupan
untuk menjadikan kita lebih dewasa menyikapi permasalahan yang ada, tanpa harus
menunjukan kemarahan dan dendam kepada pihak tertentu, karena politik itu
selalu mengikuti arus kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
Komentar
Posting Komentar