Langsung ke konten utama

SAYA DAN POLITIK *Darmin Hasirun*


Bertahun-tahun lamanya saya belajar tentang politik dan pemerintahan, banyak buku didalami guna menambah ilmu pengetahuan tentang esensi berpolitik tetapi saya merasakan ilmu yang ada sangat kurang sekali, masih jauh dari harapan, saat orang lain mencari ilmu melalang buana sampai ke luar negeri, sedangkan saya hanya sebatas berputar-putar dalam negeri dengan kemampuan rata-rata sama dengan orang lain, saya juga bukanlah praktisi politik yang dibesarkan karena pengalaman memperebutkan kekuasaan atau menjadi salah satu tim pemenangan dalam permainan politik di lapangan. Saya adalah akademisi yang mempelajari tentang fenomena politik pemerintahan daerah sampai nasional, dengan berbekal ilmu pengetahuan yang dimiliki seadanya menjadikan diri tertarik ingin mengkaji lebih dalam tentang dunia yang penuh dengan teka teki ini. Harus diakui bahwa dinamika politik sekarang hanya menjadi menarik saat seseorang mempunyai uang banyak dan pandai mencuri perhatian publik, bahkan tidak sedikit pula yang mencoba keberuntungannya dalam dunia politik seperti menjadi calon legislatif atau calon kepala daerah.

Kelemahan lain yang saya miliki dalam bidang politik adalah belum pernah menjadi pragmatis politik sebagai lagu wajib para pemain politik di daerah maupun nasional, saya lebih memilih menjadi pekerja sosial, pengajar dan peneliti ketimbang menjadi praktisi politik meskipun banyak orang beranggapan bahwa pengalaman adalah guru terbaik artinya pengalaman berpolitiklah yang membimbing dalam meningkatan kemampuan di bidang yang ditekuninya. Siapapun yang terjun secara langsung merasakan dan memikirkan atau menjadi bagian dari tim pemenangan/pengurus partai politik/pencalonan legislatif atau sejenisnya dalam mencapai tujuan mendapatkan jabatan/kedudukan di pemerintahan, maka dialah yang bisa menginterpretasikan bahkan meramalnya perkembangan fenomena politik. Pemikiran ini ada benarnya tetapi tidak semua benar karena berpolitik adalah naluri manusia yang dibawa sejak lahir dan siapapun bisa berpolitik entah melalui pendidikan formal atau pendidikan non formal dengan berlandaskan pada pengalamannya mengikuti cara berpikir praktisi.

Di dunia pertarungan politik seperti Pilkada ataupun Pilcaleg, banyak interprestasi menyatakan bahwa orang-orang yang ingin mendapatkan kekuasaan tidak bermodalkan uang banyak, maka kata-katanya hanya menjadi bahan tertawaan orang lain atau rayuan gombal saja agar dipilih saat pemilihan nanti. Ketidakyakinan masyarakat terhadap orang-orang yang ingin meningkatkan karirnya di bidang politik berdampak pada ketidakpercayaan diri para calon, padahal bisa jadi mereka tergerak hatinya tulus membantu masyarakat tetapi stigma negatif kadang melekat pada orang-orang yang bergelut dalam politik praktis bahwa berpolitik itu banyak tipu-tipunya.

Sedikitpun tidak ada niatan saya terjun di dunia politik karena jiwa saya lebih condong menjadi pemerhati kondisi sosial, pengamat atau analis politik pemerintahan sebagai bagian dari pendalaman ilmu ditekuni selama bertahun-tahun. Dengan bekal ilmu yang dimiliki tidak jarang orang mengajak saya masuk menjadi anggota partai politik atau berpartisipasi menjadi calon anggota legislatif tetapi diri selalu menimbang masih banyak dosa kulakukan kepada orang lain, sementara disisi lain kita diharuskan total bermain sebagai aktor politik yang mengurus masalah semua rakyat. Konsep diri lebih dikedepankan ketimbang konsep egoisme ingin mendapatkan sesuatu. Konsep diri yang dimaksudkan adalah tahu kapasitas, kelebihan dan kelemahan diri sehingga saat melangkah selalu mawas diri dan tidak mudah terjebak pada politik campur sari (dosa dan amal bersatu) untuk mendapatkan cita rasa kepuasan diri.

Terjun ke dunia politik adalah totalitas pengabdian diri demi kejayaan dan kemakmuran rakyat. Maka orang-orang yang sudah lama melintang dalam arena politik harusnya menjadi panutan bersama, bahwa inilah cara berpolitik ala ketimuran atau politik Pancasila. Politik yang melihat nilai budaya lokal (local wisdom value) dan nilai kenegaraan (nation value) dalam simbol negara yaitu Pancasila.

Politik bernegara yang dipraktekan sekarang, masih jauh dari amanah undang-undang dalam memberikan kebebasan kepada seseorang untuk dipilih maupun memilih dalam prinsip-prinsip jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Dalam ranah politik praktis kadang rakyat jelata tidak mempunyai panggung untuk berlaga di pentas politik daerah maupun nasional, hanya orang-orang berduit (kaum borjuis dan elit) yang mempunyai peluang besar mengaktualisasikan diri bertarung memperebutkan kedudukan nomor satu. Rakyat hanya dihitung saat pemilihan tetapi kurang diperhitungkan dalam pembangunan, mereka diperhatikan dan didatangi saat-saat pemilihan tetapi dilupakan saat duduk disinggasana. Saya tidak bisa memastikan faktor apa gerangan sehingga para elit yang telah berhasil duduk di kursi empuk kekuasaan terkesan gayanya berubah dari “blusukan ke rakyat menjadi blum sekarang ke rakyat”. Saya hanya menduga bisa jadi mereka kurang ke rumah-rumah rakyatnya karena sibuk mengurus teman-teman elitnya, atau hati dan pikirannya telah tertutupi oleh cinta jabatan, uang, dan harta. Dugaan ini tentunya bisa dibantah oleh siapapun berdasarkan pengalaman atau sudut pandang pengetahuannya masing-masing dalam mengkaji masalah politik.

Bagi saya politik adalah kata “sakral” diucapkan setelah agama. Jikalau agama mengajarkan mengurus tentang masalah habluminallah (hubungan manusia kepada Allah) dan habluminannas (hubungan manusia dengan manusia lain), maka politik mengajarkan hubungan diri dengan negara dan hubungan diri dengan rakyat.

Banyak pula orang-orang menilai saya sebagai salah satu relawan pasangan calon ketika berkomentar tentang politik daerah maupun nasional karena ada keberpihakan argumentasi pada kubu lain, satu katapun salah diucapkan maka penuduhan berbalik arah bahwa saya adalah pendukung kelompok tertentu. Padahal dalam benak saya siapapun yang terpilih nanti itulah calon terbaik, dan dia harus memberikan perhatian penuh kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya tanpa terkecuali, jiwa inilah berpotensi besar yang dapat menggugurkan sikap nepotisme (kekeluargaan) dan kolusi (pertemanan) dalam setiap kebijakan pemerintah.

Politik pada dasarnya sudah melekat pada diri manusia sejak lahir, seperti yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politicon artinya hakikat kehidupan sosial adalah interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik oleh karena itu manusia yang mempunyai kecenderungan selalu berpolitik ingin mencapai sesuatu. Dari lahir kita (usia bayi) sudah mempraktekan politik itu sendiri dengan ekspresi menangis agar mendapatkan perhatikan oleh orang-orang disekitar, saat remajapun sering kita melakukan kegiatan politik dengan berkeinginan menjadi juara kelas, begitupula saat usia dewasa pasti sudah lebih jauh lagi cakupan maupun tujuannya. Mungkin saat kecil kita mengartikan politik hanya sebatas pada cakupan dan tujuan pribadi tetapi setelah dewasa cakupan dan tujuannya untuk rakyat. Inilah cara pandang kita yang membedakan mainstream politik anak-anak dan dewasa.

Idealnya politik merupakan cara memanfaatkan sarana kekuasaan demi mencapai tujuan rakyat, tetapi fakta di lapangan berkata lain, politik diartikan cara pemanfaatan suara rakyat untuk mencapai tujuan kekuasaan. Sungguh mindset berpikir para pemain politik berubah 180 derajat dari posisi awal (idealnya), rakyat hanya dijadikan alat untuk mendapatkan legitimasi politik, sedangkan kekuasaan menjadi tujuan (goal) perjuangannya sehingga banyak orang menilai bahwa pihak yang sering menang dalam konteks pemilihan adalah politikus ulung, sang jawara politik atau nama lainnya.

Minat saya mengkaji masalah politik adalah bagian dari hobi karena dari dulu saya suka dengan sesuatu yang menyangkut “analisis”, maka disinilah ketajaman berpikir, informasi update dan data akurat diperlukan untuk membuat prediksi-prediksi peta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman antara kubu satu dengan kubu lainnya, layaknya bermain game detektif yang sedang memecahkan masalah dengan mengumpulkan bukti-bukti agar mengarah pada pelaku kejadian. Sejak dari SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi jikalau ada diskusi tentang analisis kejadian atau fenomena masalah maka disitulah pentas permainan akal dan perasaanku, hingga bisa diramalkan apa yang sudah terjadi dan akan terjadi, tentu tidak semua benar karena prediksi hanya menebak-nebak berdasarkan fakta/bukti lapangan sedangkan dinamika politik selalu berubah-ubah tergantung kesepakatan, makanya ada ungkapan mengatakan “dalam politik tidak ada yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan”. Tentu saya mengartikan ini bukan kepentingan pribadi atau golongan tetapi kepentingan rakyat.
Pada ilmu kebijakan publik yang pernah saya pelajari, kajian ramalan politik masuk dalam analisis kebijakan sedangkan dalam hal peramalan kejadian masuk dalam policy forecasting (peramalan kebijakan) berguna untuk mendukung pengambilan keputusan (decision making) atau formulasi kebijakan publik (policy public formulation).

Kadang pula saat melihat atau mendengarkan situasi yang tidak memungkinkan seperti konflik dan keresahan sosial, maka sayapun tidak tinggal diam dengan mengajak pihak-pihak yang saling bermusuhan atau bertikai agar menghindari konflik yang bersifat horizontal (sesama warga), sejak awal memang harus bisa mendeteksi potensi-potensi konflik tersebut misalnya dalam pemilihan kepala daerah seringnya kita melihat atau mendengarkan isu-isu yang berbau “SARA” (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang biasa pula disebut isu Primordialisme. Banyak macam motivasi melontarkan isu ini diantaranya memberikan dukungan kepada calon-calon tertentu yang mempunyai ikatan suku, agama, ras atau antargolongan yang sama. Alasan klasik yang sering kita dengar adalah ketidakadilan pemerintah terhadap pribumi/kelompok tertentu sehingga memunculkan kebencian kepada golongan lain yang dianggap telah menikmati kue kekuasaan dan pembangunan. Isu ini akan muncul saat ada calon kepala daerah atau presiden yang beragama berbeda dengan lawannya dengan memanfaatkan dan mengajak masyarakat yang mempunyai ikatan sedarah, seagama, senasib, dan sepenanggungan, bahkan tidak jarang mereka sering mengeluarkan kata-kata kebencian kepada kubu lain yang berseberangan. Ini pula yang menggugah perasaanku terhadap kelemahan politik di tanah air ini disebabkan kencangnya ambisi kepentingan pribadi atau golongan mengalahkan kepentingan seluruh rakyat.

Saking kencangnya isu SARA tersebut hingga mereka tidak lagi berpikir secara rasional bahwa orang-orang yang didukung tersebut mempunyai kemampuan kepemimpinan (leadership) yang matang atau tidak, punya jiwa bersih atau tidak, program kerjanya realistis dan merakyat atau tidak. Jikalau bagus program kerjanya, jiwa bersih, dan kepemimpinannya bagus maka tidak perlu lagi memprovokasi masyarakat pada hal-hal yang tidak subtansial. Saya katakan tidak subtansial karena masih sebatas identitas pasangan calon seperti tempat tinggal, tempat kelahiran, agama atau pekerjaannya, sementara tidak ada jaminan apapun bahwa orang beragama berperilaku agamais, orang yang lahir di daerah tersebut beradab dan peduli dengan rakyat daerahnya, ataupun program kerjanya akan memberikan banyak manfaatkan kepada seluruh rakyat di daerah tersebut.

Heterogenitas kehidupan masyarakat di suatu daerah, sangatlah tidak relevan menyuarakan dan mempertentangkan perbedaan identitas seseorang yang berpotensi menjurus pada ego kedaerahan dan kurang toleran terhadap golongan lain, para pendatang atau berbeda agama di daerah tersebut. Sementara isu-isu Sara merupakan isu yang sangat sensitif dibandingkan dengan isu lainnya, ketika seseorang dihina agamanya atau sukunya pasti akan melahirkan gejolak sosial baik berskala besar ataupun kecil, tergantung pada besaran isu yang dilontarkan, semakin menghina maka semakin besar pula peluang konflik antar warga begitupula sebaliknya.

Di tengah perbedaan identitas warga dari Sabang sampai Marauke ternyata bukan menjadikannya sebagai rahmat (kasih sayang) tetapi dipandang sebagai ancaman eksistensi kelompok-kelompok tertentu sehingga mereka menganggap tidak boleh memberikan kesempatan kepada kelompok lain dalam kekuasaan di daerah/negara. Padahal agama apapun di dunia ini selalu mengajak kepada cinta kasih dan perdamaian, bahkan agama yang saya anut (Islam), Allah SWT telah menggariskan dalam kitabnya nan suci (Qur’an), artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kami dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal..” (QS. Al-Hujurat: 12).

Dalam Qur’an Allah SWT juga berfirman artinya:
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan..” (QS. Al-Maidah: 48).

Inilah pesan Tuhan kepada semua manusia, jikalau ingin menyatuhkan semua agama, suku, bangsa dan bahasa maka tinggal mengatakan kun fayakun, jadi maka jadilah” tetapi Tuhan mengetahui hikmah penciptaannya itu, memberikan cobaan dan pelajaran kepada semua manusia, serta dibalik perbedaan itu ada cinta kasih, toleransi, saling berbagi, bekerjasama, saling mengenal dan tolong menolong dalam kebaikan.

Berdasarkan dua kutipan ayat di atas, maka perlulah kita merenungkan kembali proses terjadinya manusia di muka bumi ini yang berasal dari satu nenek moyang yaitu Adam dan Hawa, semuanya adalah saudara, ada saudara seiman dan ada saudara sesama manusia. Dalam ajaran Islam bahwa sesama muslim adalah saudara, jikalau muslim satu tersakiti maka muslim lainnya merasakannya. Inilah gambaran bahwa manusia diharuskan berpolitik dalam kebersamaan dan perdamaian demi kepentingan seluruh rakyat.

Bagi saya perjuangan melawan penyakit politik adalah wajib, pertanyaannya apakah penyakit politik itu? Yaitu penyakit yang diderita oleh para pelaku politik atau pendukung salah satu calon pemimpin yang ingin mencapai tujuan kekuasaan dengan cara-cara tidak konstitusional dan beretika. Penyakit politik ini akan berdampak negatif pada pertumbuhan iklim demokrasi di daerah ataupun negara, contohnya pengkultusan figur tertentu, saling menghina, money politic, nepotisme, kolusi, korupsi/penyelewengan kekuasaan, tidak netralnya aparatur pemerintah, manipulasi, intimidasi dan diskriminasi orang atau kelompok tertentu.  Penyakit inilah yang perlulah sembuhkan dengan cara-cara yang baik pula, niatan baik harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dengan mengajak, memberikan pencerahan, bahkan melarang tindakan-tindakan yang mengarah pada perpecahan sesama manusia.

Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan tonggak awalnya diterapkannya pemilihan kepala daerah serentak, oleh karena itu dalam setiap tahunnya hampir dipadati oleh situasi politik yang memanas di beberapa daerah, menegangkan, dan menimbulkan tanda tanya terhadap arah dinamika politik para elit. Fenomena calon pasangan tunggal di beberapa daerah menimbulkan pro kontra, berbagai macam reaksi masyarakat, ada yang biasa-biasanya saja tanpa berlanjut ke mahkamah konstitusi dan ada pula menimbulkan reaksi menegangkan secara sosiologis akibat permainan politik pihak tertentu yang mengganjal kubu lain agar tidak mendapatkan dukungan partai sehingga mengakibatkan bakal calon pilihannya tidak lolos berkas atau tidak memenuhi ambang batas parlemen, maka terjadilah demonstrasi menolak adanya calon pasangan tunggal. Dalam pandangan saya seharusnya calon pasangan tunggal tidak boleh lahir di negara demokrasi dengan alasan apapun, cara menghindarinya adalah memberikan peluang sebesar-besarnya kepada siapa saja yang dianggap mampu memimpin daerah, mendapatkan dukungan dari masyarakat, dan memberikan batas maksimal jumlah partai politik pendukung pasangan calon sebesar 70 persen dan jumlah minimal 20 persen dari jumlah kursi di DPRD sehingga ada lawan lain yang bisa berkompetisi dalam Pilkada/Pilres agar dipilih oleh masyarakat, calon-calon kepala daerah yang dipilih oleh masyarakat itulah hasil demokrasi, bukan suara partai yang seenaknya tidak memberikan ruang kepada pihak lain dalam bertanding perebutan simpati masyarakat.

Pasangan calon tunggal seharusnya hanya ada di negara-negara otoriter baik otoriter konstitusional maupun otoriter absolut seperti Negara Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim Jong-Un, Negara Mesir di bawah kepemimpinan Husni Mubarak, Negara Kuba di bawah kepemimpinan Fidel Catro, Negara Libia di bawah kepemimpinan Muammar Abu Minyar Al-Qaddaffi yang menghendaki lahirnya pemimpin dari satu jalur kekuasaan saja, bahkan di negara majupun seperti Inggris mempunyai dwi partai (Partai Konservasi dan Partai Buruh) dan Amerika Serikat (Partai Republik dan Partai Demokrat) terjadi peluang head to head artinya ada pertemuan langsung dua pasangan calon untuk bersaing memperebutkan hati rakyat. Di Indonesia yang memiliki multi partai seharusnya dapat memberikan ruang kebebasan dan kesempatan berkompetisi mendapatkan suara rakyat, jangan hanya karena suara partai sehingga bisa tergganjal jalan perjuangan pasangan calon lainnya. Inilah yang saya sebut Sistem Otoriter dalam Negara Demokrasi.

Masalah politik dan pegawai negeri sipil adalah masalah yang sering menjadi sorotan publik, saya melihat setelah berlakunya Undang-Undang tentang Aparatur Negeri Sipil, telah melarang keras para pegawai negeri sipil yang terbukti terlibat secara langsung dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah seperti menjadi anggota partai politik atau menjadi tim sukses/relawan salah seorang kandidat, fakta membuktikan ada cela dalam isi undang-undang ini seperti pimpinan kantor/dinas melakukan kegiatan politik terselubung dengan mengajak sanak saudaranya atau dirinya sendiri ikut mendukung salah satu calon sehingga implementasi undang-undang masih setengah hati karena kita akui bahwa dalam sejarah politik nasional kekuatan birokrasi merupakan salah satu kekuatan besar dalam penggalang suara rakyat. Kadang pula kita melihat sikap seseorang dalam mencari jabatan dengan menggaransikan kelompoknya menjadi salah satu pendukung kandidat tertentu. Bagaimana tidak, ketika seorang kepala daerah memberikan jabatan kepala dinas atau sejenisnya maka dia akan tersandera dengan deal-deal politik atau lebih dikenal politik balas budi artinya saat seseorang diberikan jabatan maka harus dibalas dengan jabatan pula.

Fenomena di atas adalah gambaran sekelumit permasalah politik di nusantara ini, masih banyak masalah-masalah seputar politik yang bisa jadi tidak akan ada habisnya sampai akhir zaman nanti. Segala yang terjadi di dunia ini adalah cobaan, tantangan dan bunga-bunga kehidupan untuk menjadikan kita lebih dewasa menyikapi permasalahan yang ada, tanpa harus menunjukan kemarahan dan dendam kepada pihak tertentu, karena politik itu selalu mengikuti arus kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFIL DARMIN HASIRUN

  CURRICULUM VITAE     CURRICULUM VITAE   Nama Lengkap   Darmin Hasirun, S.Sos., M.Si . Tempat Tanggal Lahir   Bone-Bone, 10 Juli 1985 Jenis Kelamin   Laki-Laki (L) Pekerjaan   Dosen Agama   Islam Alamat   Lorong Hatibi, Kelurahan Tanganapada, Kecamatan Murhum Kota Baubau , Provinsi Sulawesi Tenggara . Hobi   Membaca, Meneliti, Menulis, Mengajar, Traveling dan dan Diskusi Alamat Email (Pribadi)           darmin.hasirun@gmail.com Kontak Person   0852 1370 8268   Riwayat Pendidikan dan Karya Ilmiah Jenjang Pendidikan Nama Institusi / Program Studi Tahu...

HANYA HITUNGAN JAM KAWASAN ELIT LOS ANGELES RATA DENGAN TANAH

Berita mengejutkan datang dari negeri Paman Sam Amerika Serikat tepatnya di kawasan elit Los Angeles Distrik Pacific Palisades, Negara Bagian California dilanda kebakaran sangat besar dan sulit dipadamkan (Selasa pagi, 7 Januari 2025). Angin Santa Ana yang sangat kuat dengan kecepatan hingga 129 km/jam terus menggila mendorong api melahap setiap bangunan dan sarana yang dilewatinya, ditambah kekeringan yang berkepanjangan serta rumah-rumah elit yang sebagian besar terbuat dari bahan kayu yang mudah terbakar menjadikan kebakaran kian menyebar dengan sangat cepat, bahkan para petugas kebakaran tidak mampu mengatasinya. Kebakaran hebat ini mengakibatkan Los Angeles rata dengan tanah, lebih dari 10.000 bangunan perumahan, fasilitas bisnis dan sarana lainnya bah hilang ditelan bumi. Dilansir di website Kompas.com dengan judul berita “Kebakaran Los Angeles Jadi Bencana Termahal di AS, Kerugian Sudah Mencapai Rp.2.121 Triliun” (11/01/2025), bahkan pada situs berita Sindonews.com menulis tajuk...

FIPH MENYELENGGARAKAN TALKSHOW “PEMBATASAN DISTRIBUSI BBM BERSUBSIDI, SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?”

  Maraknya aksi penimbunan BBM, monopoli pembeliannya, permainan harga BBM bersubsidi, antrian panjang hingga berdampak pada konsumsi BBM bersubsidi tidak tepat sasaran. Kondisi seperti ini menimbulkan banyak keluhan masyarakat terhadap manajemen pendistribusian BBM bersubsidi. Disisi lain BBM bersubsidi yang seharusnya dirasakan langsung masyarakat miskin dengan   harga yang terjangkau tetapi fakta di lapangan menunjukan sebaliknya yaitu BBM bersubsidi malah dimonopoli oleh para pengecer dengan menggunakan kendaraan yang telah dimodifikasi agar dapat menampung BBM dalam jumlah besar. Para pengecer ini yang notabene tidak mempunyai izin usaha resmi terkait penjualan BBM bersubsidi terkesan kurang diawasi oleh pihak Pertamina maupun Kepolisian. Hal ini diduga ada permainan antara pihak SPBU dan para pengecer yang ingin meraih keuntungan sebesar-besarnya tanpa memikirkan kebutuhan masyarakat lain. Alhasil banyak Pertalite dalam bentuk botolan dijual bebas sepanjang jalan den...