BUDAYA MALU DALAM POLITIK
Budaya
pada dasarnya terdiri atas dua suku kata yaitu budi dan daya, budi adalah
perilaku, perbuatan, atau tingkat laku manusia yang bermoral dan daya adalah
kekuatan, kemampuan dan kesanggupan. Oleh karena itu budaya hanya ada pada
manusia karena dengan adanya budaya ini dapat menciptakan peradaban tinggi yang
tidak dimiliki oleh binatang maupun tumbuhan. Budaya sering pula diartikan
sebagai hasil dari rasa, karsa, dan karya manusia. Rasa adalah sesuatu yang
abstrak, tidak dapat terlihat, yang dapat dideteksi melalui hati dan pikiran,
karsa merupakan kehendak manusia yang lahir dari nafsu, karya adalah sesuatu
yang bersifat kongkrit, dapat dilihat dan diraba.
Malu
adalah suatu sikap menjaga tingkat laku dari perbuatan tidak sopan, ramah, dan
santun. Oleh karena itu orang yang tidak mempunyai malu biasanya tidak punya
sopan santun dan keramahan kepada orang lain. Budaya malu adalah hasil
perasaan, kehendak dan diwujudkan dalam bentuk tindakan kongkrit berupa perbuatan
sopan santun dan keramahan kepada sesama manusia sehingga dapat menghindarkan
diri dari sikap yang tidak manusiawi.
Inilah
yang perlu saya bahas dalam catatan singkat ini, terkait fenomena dekadensi
moral manusia yang semakin hari semakin menurun kualitasnya, salah satunya
dalam bidang politik. Setelah pemerintah RI memberlakukan pemilihan presiden
dan kepala daerah secara langsung ditambah ruang kebebasan berekspresi atas
nama hak asasi manusia menjadi pilar tumbuhnya demokratisasi pada kehidupan
bangsa dan negara.
Kebebasan
berekspresi yang dituangkan dalam bentuk kata-kata dan tulisan di berbagai
media menjadi warna warni dinamika perkembangan demokrasi di negara ini, rakyat
dengan segala kebebasannya memberikan masukan, saran bahkan hujatan dan hinaan
kepada orang yang tidak disukainya. Menurut saya dalam konteks pesta demokrasi
sangatlah wajar terjadi perbedaan pandangan, pendapat dan pilihan setiap warga
negara, tentunya setiap orang mempunyai alasan tersendiri kenapa seseorang
menaruh simpati dan kekaguman kepada salah seorang calon kepala daerah,
sebaliknya sangatlah tidak wajar jikalau kita terus menerus mempertentangkan
perbedaan tersebut dengan saling mengeluarkan hujatan, mendiskreditkan dan
menghina pihak lain yang berbeda pilihan.
Maraknya
saling menghujat dan menghina seakan menjadi trendsetter pada musim Pilkada,
dan orang-orang yang terlibat dalam politik selalu merasa tidak asyik hanya
sekedar datang mencoblos pilihannya tanpa mendapatkan apa-apa seperti uang atau
menghina calon lain yang dapat membawa perasaan pelampiasan emosi karena tidak
menyukainya.
Dunia
mulai terbalik, seperti lirik lagu peterpan “kaki di kepala, kepala di kaki”
yang menjadikan hal-hal tabu dan tidak sopan dipraktekan dengan penuh percaya
diri tanpa merasa berdosa bahwa yang dilakukannya itu bukannya hal yang salah, sebaliknya
perilaku yang baik kadang dianggap kuno, pasif, tidak gaul, dan langka ditengah
arus kehidupan yang penuh dengan fitnah dan pembodohan kepada rakyat.
Pernah
saya mendengarkan perkataan “membiarkan orang yang salah menduduki jabatan
sebagai kepala daerah adalah perbuatan yang salah. Sepintas cara berpikir ini
memang benar, seperti membiarkan “pencuri masuk di rumah tetangga” sama halnya
kita telah melegitimasi atau merestui pencuri tersebut melakukan berbuatan
haramnya artinya kitapun menjadi bagian dari pencuri tersebut, tetapi jikalau
kita membawa konteks ini dalam arena politik maka sangatlah riskan, kita
menvonis seseorang sebagai penjahat, pencuri, pembodohi masyarakat dan stigma
negatif lainnya sementara calon yang telah diberikan label negatif tersebut
mempunyai pendukung yang terbilang tidak sedikit alias banyak. Maka bukan hasil
positif yang didapatkan malah pertengkaran, permusuhan, dan pertikaian yang
dirasakan oleh sesama anak bangsa hanya karena tindakan bodoh, picik dan licik.
Kembalilah
pada budaya malu, budaya yang mengajarkan kita tentang sopan santun dan
keramahan kepada orang lain, budaya yang mengedukasi rakyat tentang cara
memilih pemimpin berdasarkan selera dan pikirannya masing-masing, budaya yang
melatih diri kita untuk bersabar menahan amarah, dendam, dan dengki kepada
orang yang berbeda pilihan, budaya yang menjadikan suri tauladan kepada orang
lain agar tidak suka dan mudah memvonis orang lain bahwa dialah yang salah.
Malulah
pada diri sendiri karena kualitas pribadi diukur dari respon kita terhadap
seseorang, ketika dituduh telah mencemarkan nama baik diri, keluarga, suku, ataupun
agama maka reaksi kita harusnya jangan langsung marah, mata merah, hati keras,
dan muka masam, tersinggung ataupun melakukan pembalasan yang lebih kejam kepada
dirinya. Begitupula si penghina yang dengan mudahnya lidah dan perbuatannya
mencemarkan atau menodai pihak lain.
Malulah
kepada orang lain, ketika orang lain tidak menghina kita, lalu kita sibuk mencari
celah dan kesalahan orang lain, tidaklah engkau mengerti bahwa orang yang
dihinakan itu boleh jadi lebih tinggi kedudukan/derajat moralnya daripada si
penghina, atau bisa jadi kita belum mempunyai nilai berharga di mata Tuhan
karena hati kotor dan sifat buruk yang dimiliki.
Malulah
kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan diri dari setetes air yang hina,
kemudian kita dewasa lalu menghinakan orang lain. Padahal bahan kalian sama
yaitu sama-sama dari air yang hina ataupun tanah. Tidaklah pantas seseorang
menjadikan kata-kata kotor dan busuk keluar dari mulutnya atau perbuatannya
kepada orang lain, dan tidak pantas pula menganggap diri suci melebihi orang
lain karena yang paling digaransi kesuciannya hanyalah nabi dan rasul. Marilah
budayakan rasa malu dalam politik karena malu adalah sifat manusia yang beradab
dan bermartabat. Wassalam.
Catatan
tanggal 17 Desember 2016
Darmin
Hasirun
Komentar
Posting Komentar