PASANGAN
AHOK-DJAROT DI UJUNG TANDUK (Analisis Psikologi Politik Pilkada)
*Darmin
Hasirun*
Catatan tanggal 17 November 2016
Pasca
ditetapkannya Ahok sebagai tersangka atas dugaan penistaan agama oleh pihak
kepolisian dari hasil gelar perkara Rabu, 16 November 2016 berpotensi mengubah
situasi politik Pilkada di DKI Jakarta. Ahok yang sebelumnya diprediksi oleh
para pengamat politik akan merajai kontestasi pesta demokrasi Februari 2017,
kini mulai goyah dan hipotesis kemenangan pasangan Ahok-Djarot akan gagal
karena stigma negatif yang melekat pada sebagian masyarakat, alasan ini menjadi
pertimbangan secara psikologi politik karena label negatif “tersangka” masih
sangat melekat dalam benak masyarakat Indonesia. Para pendukungnya seperti
partai politik, tim sukses, donator sampai relawan mulai berubah kearah
pesimisme terhadap kemenangan yang akan dicapai oleh pasangan Ahok-Djarot.
Harus
diakui juga pasangan ini telah menjadi incaran banyak pihak yang berseberangan
terutama para pembenci gaya kepemimpinan Ahok saat memerintah sebagai Gubernur
DKI Jakarta, dan menurut saya kasus dugaan penistaan agama menjadi “Pintu Masuk”
menjatuhkan pasangan ini yang sebelumnya banyak dugaan kasus yang menjerat Ahok
telah masuk di lembaga kepolisian, kejaksaan sampai Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), mulai dari kasus reklamasi pantai, kasus sumber waras, kasus
penggusuran, dan sederet kasus lain yang tidak kalah pentingnya untuk menggulingkan
pasangan ini dari tampuk kekuasaan.
Dalam
pandangan hukum pidana kasus yang menjerat Ahok bukanlah kasus besar seperti
halnya korupsi Dana Al Quran, Dana Ibadah Haji, Dana Bantuan Kemanusiaan (sosial)
dan lain-lain, tetapi dalam pandangan agama kasus ini merupakan kasus yang melukai
hati kaum muslimin yang masih memegang teguh pada prinsip-prinsip kesucian
kitabnya, tersangka tetaplah tersangka yang sudah terlanjur namanya ternodai
oleh label ini. Jikalau melihat dari perbandingan bentuk kasusnya maka kasus
korupsi dana dalam bidang agamalah yang mengiris hati kaum muslimin disamping
merugikan negara, rakyat juga agama, tetapi kasus Ahok yang seharusnya murni
agama, cenderung campuri oleh kepentingan politik dan hasilnya seperti yang
sudah disaksikan yaitu demo besar-besaran.
Berdasarkan
hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI), setelah demo 4
November lalu, dalam sebulan elektabilitas pasangan Ahok-Djarot mengalami
penurunan sebesar 6,8%. Maret 2016 elektabilitasnya sebesar 59,3 persen, Juli
49,1%, Oktober 31,4% dan November 24,6%. Sedangkan Pasangan Agus-Sylviana
berada di peringkat kedua dengan 20,9%, dan Pasangan Anies-Sandiaga 20%.
Sementara yang belum menentukan pilihan sebanyak 34,5%. (Sumber Detiknews.Com).
Menurunnya
elektabilitas pasangan Ahok-Djarot ternyata berbanding terbalik dengan upaya
tim sukses dalam melakukan sosialisasi melalui media eletronik, massa ataupun
media sosial lainnya akibat dampak dari maraknya penyerangan figur Ahok pada masalah
dugaan kasus-kasus yang menjeratnya, menyerang pada bagian kelemahannya
menjadikan mereka harus siap-siap jatuh KO pada “pukulan-pukulan lawannya”.
Tidak tanggung-tanggung para tokoh nasionalpun melakukan kampanye dari berbagai
macam sudut dan dalil yang dihalalkan agar beliau tidak terpilih sebagai
Gubernur DKI Jakarta.
Melihat
kontestasi Pilkada DKI Jakarta persis menonton permainan tinju yang lebih
banyak melakukan serangan kepada pihak lawan dibandingkan bertahan di tempat.
Serangan demi serangan dilancarkan pada bagian kanan, kiri, kepala, dan perut
agar bisa tumbang dan terkapar tidak berdaya. Inilah yang terjadi pada pasangan
Ahok-Djarot serangan yang mereka dapatkan ternyata kena pada titik vitalnya,
sehingga posisinya oleng, pusing, dan goyang oleh serangan lawan, yang ditunggu
adalah pukulan terakhir. Pukulan terakhir inilah yang akan menentukan apakah
Ahok-Djarot bisa melanjutkan pertandingan atau tidak yaitu hasil persidangan di
pengadilan yang menyatakan inkrah sebagai pelaku penista agama? Inilah yang
ditunggu-tunggu oleh para pembenci atau lawan Ahok.
Kondisi
yang dialami oleh pasangan Ahok-Djarot setelah ditetapkan sebagai tersangka
menjadikan mereka ibarat pepatah “bagai telur di ujung tanduk” artinya dalam
situasi dan kondisi yang berbahaya, kritis dan genting pada elektabilitas
politik mereka, kondisi ini mulai mengancam eksistensinya dalam Pilkada Antara
Bertahan dan Jatuh tidak melanjutkan harapannya menjadi orang nomor satu dan
dua di DKI Jakarta.
Sungguh
disayangkan jikalau pasangan Ahok-Djarot harus berhenti di tengah jalan karena
kesalahan yang diperbuatnya, dan patut pula disyukuri bahwa kasus yang melanda
pasangan ini harus menjadi pelajaran penting bagi anak-anak bangsa agar
berhati-hati dalam bertindak dan bertutur kata. Selamat berdemokrasi.
Komentar
Posting Komentar