DIBALIK DEMO AHOK. AGAMA, POLITIK, ATAU HUKUM?
*Darmin Hasirun*
Catatan
3 November 2016
Setelah
beberapa bulan belakangan ini media nasional selalu menyiarkan dan memberitakan
Basuki Tjahaja Purnama Alias Ahok bahkan menjadi trendsetter. Berita tersebut bukan
karena gebrakannya dalam pembangunan tetapi karena sikapnya yang tidak berhati-hati
dalam bertindak, bahkan tindakannya telah masuk dalam ranah agama yang sangat sensitif
jikalau keseleo kata atau perbuatan. Berbeda ketika menjadi pribadi yang tidak
mempunyai jabatan (masyarakat biasa) dengan pribadi yang mempunyai jabatan
publik seperti kepala daerah atau public
figure (artis). Sikap public figure
selalu menjadi sorotan oleh awak media maupun masyarakat umum apabila salah dalam
berkata-kata dan tindakannya teledor akibat tidak bisa menempatkan dirinya pada
posisi yang seharusnya menjadi teladan buat orang lain.
Reaksi
masyarakat mulai bermunculan pasca mencuatnya permasalahan tentang penistaan
agama (Qur’an Surat Al Maidah ayat 51) di Kepulauan Seribu tanggal 27 September
2016, ada yang memaafkan atas permintaan maaf langsung dari Ahok, dan ada pula
yang tidak memaafkan sikap tersebut. Berita ini telah menimbulkan pro dan
kontra, yang pro pendukung Ahok seperti partai mengusung Ahok, relawan dan tim
sukses Ahok, sedangkan pihak Kontra Ahok yang banyak didominasi oleh organisasi
berbasis islam, partai politik dan masyarakat kontra Ahok, Kedua belah pihak
tidak terelakan masing-masing mengeluarkan pendapatnya yang dianggap benar, disisi
lain ada poros tengah yang selalu menengahi atau mencari jalan tengah seperti Majelis
Ulama Indonesia, Nahdatul Ulama, ataupun pihak pemerintah yang menjaga
stabilitas keamanan dan ketertiban sosial meskipun sebagian kalangan
masyarakat menuding bahwa pemerintah
telah membackup langkah-langkah Ahok agar aman dari incaran lawan.
Pada
hari Jum’at, tanggal 4 November 2016 adalah hari yang diprediksi akan terjadi
demo besar-besaran dari pihak yang berseberangan dengan Ahok, banyak yang
memperkirakan bahwa demo tersebut ditengarai oleh kepentingan politik untuk
menjatuhkan Ahok agar tidak terpilih lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta tahun
2017, dan ada pula yang menepis bahwa demo tersebut murni masalah agama alias
tidak ada kepentingan politik lainnya. Banyak orang yang mempertanyakan
konsistensi kegiatan demonstrasi atas nama agama yang tidak sama dilakukan
kepada para Terorisme yang telah membunuh ratusan manusia baik yang berdosa
maupun tidak berdosa, baik muslim maupun non muslim, atau orang-orang yang
mengaku pemuka agama/ guru spiritual tetapi perilakunya melecehkan agama
seperti Ustad Guntur Bumi, AA Gatot, Kanjeng Dimas Taat Pribadi dan lain-lain,
tindakan-tindakan melecehkan atau menghina agama, lambang negara, suku, golongan
tertentu dan pribadi seseorang adalah salah di mata hukum. Sangatlah susah kita
mengatakan bahwa kegiatan demonstrasi adalah murni pembelaan agama ditengah
proses tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah sedang berlangsung ataupun
kegiatan demonstrasi adalah kegiatan politik ditengah ada seseorang calon
kepala daerah yang menghina isi Al Qur’an artinya kegiatan pembelaan agama dan nuansa
politik kekuasaan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu
dengan yang lain.
Deretan
pertanyaan tentang banyaknya permasalahan pelecehan agama yang tidak didemo
dalam jumlah besar tentu menimbulkan keraguan sebagian masyarakat terhadap
kegiatan demonstrasi kepada Ahok. Menurut saya niatan para pendemo hanyalah
mereka sendiri dan Allah SWT yang tahu pasti. Mengedepankan kepastian hukum equality before the law (persamaan
kedudukan di depan hukum) adalah kebijakan yang perlu ditegakkan oleh
pemerintah karena Negara Indonesia adalah Negara Hukum artinya segala kasus
yang melanda sosial kemasyarakatan harusnya dikembalikan kepada aturan hukum
yang berlaku dalam negara. Tentu aparat penegak hukum seperti kepolisian atau
kejaksaaan harus lebih jeli, responsif dan cermat melakukan
tindakan-tindakannya agar tidak terjadi penekanan massa yang semakin buruk.
Saya
ingat betul, latar belakang adanya parlemen jalanan atau warga masyarakat yang
turun melakukan demonstrasi disebabkan fungsi pemerintah dalam mengayomi,
melindungi, menyalurkan, melayani dan merealisasikan tuntutan masyarakat masih
mengalami penyumbatan. Oleh karena itu kegiatan unjuk rasa, demo atau
sejenisnya kerap kali dilakukan sebagai jalan pintas menyuarakan aspirasi
masyarakat tersebut. Negara Indonesia memberikan ruang besar kepada masyarakat
yang melakukan kegiatan demonstrasi sebagai manifestasi nilai demokrasi yang
diterapkan dalam melindungi hak-hak kepada warga negara yang menginginkan
perubahan lebih baik, meskipun Demontrasi oleh sebagian kalangan islam tidak
menyetujuinya karena demonstrasi dipercaya adalah produk negara barat yang
tidak sesuai dengan kaidah islam seperti pada buku karangan Abu Ubaidah Yusuf
Bin Mukhtar As-Sidawi berjudul “Demonstrasi Solusi atau Polusi?” (2009:115)
mengatakan bahwa “tidak ragu lagi bahwa demonstrasi adalah polusi yang membawa
kepada kerusakan. Sungguh amat mengherankan klaim sebagian kalangan bahwa demonstrasi
adalah solusi dari penderitaan umat dan sarana menuju kejayaan Islam. Sejarah
menjadi saksi bahwa demonstrasi justru malah memperburuk keadaan dan
meruncingkan penderitaan. Dan seorang yang cerdas adalah orang mengambil
pelajaran dengan sejarah dan pengalaman.
Jikalau
orang islam sependapat dengan pernyataan di atas, kenapa sibuk harus melakukan
kegiatan demonstrasi? Kenapa pihak-pihak yang berseberangan dengan ahok tidak
ramai-ramai mengadu di kepolisian atau kejaksaan sesuai dengan bukti-bukti
nyata (fakta) yang terjadi dengan tidak melakukan pengerahan massa
besar-besaran? Jawabannya ada tiga kemungkinan pertama pihak yang berseberangan
dengan Ahok kurang mempercayai pemerintah karena ada dugaan melakukan
perlindungan hukum terhadap terduga penista agama, kedua penekanan kepada
masyarakat agar Ahok tidak lagi dipilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, ketiga
mereka akan melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan hukum dan demonstrasi
besar-besaran. Tentu opsi ketiga adalah jawaban sementara yang pantas dan pas
untuk kondisi ini dengan syarat menjauhkan kegiatan demonstrasi dari tindakan
anarkis atau segala sesuatu yang merugikan publik dan negara. Banyak pula
masyarakat mempertanyakan, apakah kegiatan demonstrasi adalah misi agama atau
misi politik? Saya katakan bahwa memang ada upaya pembelaan agama tetapi ada
pula kecenderungan penistaan agama yang dijadikan sebagai entri point (pintu masuk) untuk mengganjal jalannya Ahok merebut
kursi nomor satu di Ibukota Negara Indonesia. Dua misi yang berjalan bersamaan
disatu sisi membela kemurnian agama islam, dan disisi lain menjatuhkan Ahok
dari segi popularitas serta elektabilitasnya.
Bagi
saya siapapun yang melakukan perbuatan atau mengucapkan kata-kata menghina agama,
atau menghina manusia pun tetap harus diproses melalui prosedur hukum yang
berlaku di negara, seperti yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yakni, pasal 156a yang berbunyi:
“Dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a)Yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia; (b)Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada
pasal di atas telah jelas diatur tentang pihak yang melakukan penistaan atau
penodaan agama secara mengaja dilakukan di depan umum adalah perbuatan tercela
yang patut diberi hukuman selama-lamanya selama 5 tahun penjara, komitmen
negara dalam menjaga kesucian agama telah tertuang dalam peraturan
perundang-undangan, oleh karena itu pihak kepolisian dan lembaga yudikatif wajib
melakukan tindakan penegakan hukum.
Disamping UU KUHP
pasal 156a, adapula undang-undang yang bisa jadi akan menghentikan Ahok dari
perjuangannya mendapatkan kursi Gubernur DKI Jakarta, seperti yang termuat
dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Pasal 7g, 7h, dan 7i yang berbunyi: Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta
Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (g).Tidak
pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan
kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (h).Tidak sedang
dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; (i). tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;
Pesan
undang-undang di atas terkait dengan dugaan penistaan agama oleh Ahok harus
diproses melalui jalur hukum, jikalau terbukti bersalah maka harus dijatuhkan
hukuman atas perbuatannya karena perbuatan penghina agama adalah perbuatan
tercela sebaliknya jikalau tidak terbukti melakukan kesalahan maka beliau tidak
dijatuhkan hukuman apapun. Pertimbangan ini menjadi senjata yang ampuh untuk melakukan
perlawanan agar pemilihan kepala daerah hanya dapat dimenangkan oleh dua pasangan
lawan Ahok-Djarot yaitu Pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno atau Pasangan Agus
Harimurti Yudhoyono-Sylviana. Maka benarlah para pengamat politik mengatakan
bahwa Ahok diserang disegala penjuru agar tidak dua kali menduduki jabatan
gubernur.
Saya mengajak
kepada seluruh elemen masyarakat, yang tidak menerima pernyataan Ahok agar
menempuh jalur hukum sehingga kita dapat menyaksikan perdebatan, kesaksian dan
bukti-bukti dalam lembaga peradilan seperti halnya Kasus Kopi bersianida yang
merenggut nyawa I Wayan Mirna Salihin dengan pelaku Jessica Kumala Wongso,
ketimbang melakukan tindakan anarkis yang dapat berpotensi mengacaukan
sendi-sendi kehidupan sosial. Silahkan pula melakukan demonstrasi secara tertib
dan teratur demi menyuarakan aspirasi rakyat.
Demontrasi
adalah hak, Anarkis adalah pelanggaran,
Menyuarakan
aspirasi adalah hak, menghina adalah pelanggaran,
Menempuh
Jalur hukum adalah hak, menempuh jalur pemaksaaan adalah pelanggaran.
Mendapatkan
pelayanan dari pemerintah adalah hak, melindungi kejahatan adalah pelanggaran.
Mencari
kebenaran adalah hak, mencari kebatilan adalah pelanggaran.
Damai
Indonesiaku, sejahtera masyarakatnya. Sekian dan Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar