COBAAN BERAT LEMBAGA
PERADILAN
(Kasus Dugaan
Penistaan Agama, Ahok)
Beberapa
hari lalu tanggal 2 Desember 2016, kita telah menyaksikan Aksi Damai Bela Islam
jilid III di DKI Jakarta dan beberapa daerah kota/kabupaten seluruh Indonesia
yang diikuti jutaan kaum muslimin dengan niat ikhlas membela agamanya atas
perbuatan seorang manusia beragama lain sekonyong-konyong berkata di depan
warga kepulauan seribu dengan menyebut Qur’an Surat Al-Maidah, siapa lagi kalau
bukan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
Kekuatan
massa yang sangat besar dan banyak tersebut ternyata tidaklah terbendung karena
sebelumnya sudah ada isu-isu bahwa Polri membatasi pergerakan massa yang datang
dari daerah agar tidak membludak di Jakarta pada hari H. Ternyata gerakan moral
membela agama tidaklah bisa mengurangi semangat para pendemo yang mengalir
bagaikan air mencari cela/ jalan agar bisa sampai ke tempat tujuan.
Jutaan
kaum muslim dengan berbagai latar belakang organisasi (FPI, HMI, KAHMI,
beberapa Pondok Pesantren dll), suku, pendidikan, dan status yang
mengatasnamakan sebagai Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(GNPF-MUI). Gerakan ini berawal dari Fatwa MUI yang memutuskan bahwa Ahok telah
melakukan penistaan agama dan ulama, keputusan ini mengundang reaksi besar dari
kaum muslimin sehingga mengakibatkan terjadilah Aksi Bela Islam Jilid Satu
tanggal 13 Oktober 2016 dengan jumlah peserta 5.000-an orang, Aksi Bela Islam
Jilid II tanggal 4 November 2016 dengan jumlah peserta ratusan ribu orang dan
Aksi Bela Islam Jilid III 2 Desember 2016 dengan peserta mencapai jutaan orang,
melihat antusias rakyat membela agamanya dan kekuatan yang telah 3 kali
melakukan aksi menjadikan lembaga pengadilan berpikir berkali-kali apabila memutuskan
tidak sesuai dengan kehendak massa, simbol inilah yang mengingatkan saya pada
saat demonstrasi tahun 1998 untuk melengserkan Soeharto dari jabatan Presiden
RI, maka mau tidak mau, suka dan tidak suka beliau harus turun dari tampuk
kekuasannya yang telah 32 tahun menjadi Presiden RI. Inilah makna simbolik dari
beberapa aksi yang sudah dilakukan sebagai kekuatan rakyat dapat mengalahkan
kekuatan apapun di negara ini.
Timbul
pertanyaan besar “Mampukah Lembaga Peradilan Menegakan Hukum, yang bisa jadi
Ahok bersalah atau sebaliknya (tidak bersalah)? Bagi saya inilah keputusan
berat dan ujian besar bagi para hakim. Ketika hukum ditegakan, maka harusnya seluruh
elemen bangsa mulai dari penguasa sampai rakyat tidak boleh melakukan
tekanan-tekanan atau intervensi hukum sehingga hasilnya adil diputuskan oleh
para hakim menurut pertimbangan barang bukti dan para saksi dalam persidangan
sehingga keputusan tersebut dapat diterima dengan bijak, tetapi kasus Ahok
nyatanya tidak seperti itu, kekuatan jutaan massa pasti berpengaruh besar terhadap
keputusan badan peradilan yang dikenal sebagai Wakil Tuhan karena selalu membuat
keputusan dengan mencantumkan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, artinya keputusan tersebut harus secara adil dan obyektif. Dugaan akan ada
keputusan secara terpaksa dan subyektif mengikuti keinginan massa yang
menyuarakan “Tangkap Ahok” akan mewarnai finalisasi kasus ini, ramainya suara “Penistaan
Agama” berawal dari unggapan video Buni Yani dan diperkuat oleh Fatwa MUI
sehingga mengundang sorotan publik dan mengubah opini kaum muslimin bahwa Ahok bersalah
yang tidak bisa ditawar-tawar.
Dampak
ini mulai dirasakan dari proses penyidikan dan penyelidikan sampai penetapan
sebagai tersangka oleh POLRI yang harus diputuskan dengan cepat berbeda dengan kasus-kasus
lain, begitupula dengan lembaga peradilan yang diperkirakan akan memutuskan
sesuai tuntutan jutaan aksi massa. Inilah yang disebut “Kedaulatan Ada Ditangan
Rakyat”, ketika rakyat menyuarakan kepentingannya, maka hukum akan rontok oleh
kekuatan tersebut.
Fatwa
MUI seakan menjelma menjadi lembaga peradilan yang secara kelembagaan
memutuskan adanya unsur “Penistaan Agama”, dan masyarakat meyakini fatwa
tersebut benar. Ancaman dan intimidasi yang dirasakan oleh para hakim di
pengadilan secara tidak langsung melalui berbagai aksi demonstrasi semakin
mempersulit mereka bertindak professional dan obyektif, ibarat nonton film yang
sudah ditahu akhir ceritanya, tetapi jikalau akhir cerita tidak sesuai dengan
ekspektasi para pendukung fatwa MUI maka diperkirakan akan lebih ramai bahkan
lebih menegangkan lagi dari aksi-aksi sebelumnya. Wallahu a’lam bishawab.
Semoga
Keadilan Tetap Tegak Berdiri di Negara Tercinta Indonesia. Damai Indonesiaku.
Catatan
tanggal 5 Desember 2016
Darmin
Hasirun
Komentar
Posting Komentar