Darmin Hasirun
Mungkin anda sering melihat calon-calon Kepala Daerah, Legislatif, ataupun Presiden yang tiba-tiba berlaku baik, sopan, dan sok akrab di depan masyarakat, kadang juga suka memberi agar terkesan dermawan, melayani dengan baik, sering menyapa di tengah jalan, orang yang sudah jauh hubungan darah dianggap keluarga dekat agar lebih akrab dengan orang yang ditemuinya, bahkan orang yang tidak ada hubungan darahpun dianggap sebagai saudaranya sendiri.
Pasti melihat tingkah laku seperti ini anda akan bertanya-tanya di dalam hati, apa maksud dia berbuat begini? ibarat “hujan yang turun dari langit tanpa awan”, memang aneh tetapi nyata ada dalam pergaulan sosial, apalagi sudah tiba musim politik kekuasaan, pasti cara-cara mendadak baik sudah menjadi senjata ampuh untuk mempermudah proses sosialisasi diri kepada masyarakat.
Memang tidak selamanya perbuatan baik seseorang mempunyai niatan yang tulus tanpa mengharapkan apa-apa dari orang yang ditemuinya, perilaku yang baik kadang pula disertai dengan ungkapan“ada udang dibalik batu” artinya ada maksud yang dia sembunyikan, bahwa perilaku baik dia ternyata hanya ingin dipilih, dipuji, dan disanjung, bukan semata-mata mengharapkan ridha dan kasih sayang Tuhan.
Perilaku mendadak baik sering muncul pada beberapa orang sedang bermain dalam dunia politik praktis, tidak sedikit mereka suka berderma kepada masjid untuk diumumkan di depan jamaah sehingga para jamaah mengetahui orang yang berderma tersebut, melakukan kegiatan sosial yang akan diupload di media sosial, diberitakan di koran bahkan disiarkan di televisi. Membagi-bagi gratis makanan, dan minuman yang dibutuhkan masyarakat, padahal bukan kebiasaan dia.
Ada betulnya juga bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara, siapa yang pintar bersandiwara, maka dialah pemeran utama yang menjadi perhatian masyarakat. Peran-peran yang dimainkan di depan publik wajib menampakan kesan merakyat dan pintar sebagai salah satu syarat menarik perhatian massa. Dalam dunia politik praktis peran yang dibuat-buat mempunyai maksud ganda yaitu ingin membantu orang lain dan ingin mendapatkan kekuasaan yang dicita-citakannya.
Fenomena tersebut di atas, sudah sering terjadi di panggung politik bahkan menjadi lagu wajib bagi para aktor politik. Saya menyebutnya sebagai dramaturgi politik artinya suatu sandiwara yang dilakoni/diperankan oleh para pemain politik di depan publik demi meraih kekuasaan. Tentunya yang perlu dimiliki oleh para aktor politik adalah kemampuan berkomunikasi (communication skill), penghayatan, intuisi, kepekaan, dan proses interaksi kepada orang lain. Hal inilah yang cukup menentukan dalam meyakinkan masyarakat agar semakin simpati dan mendapatkan dukungan banyak saat pemilihan nanti.
Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Everyday Life (1959) mengatakan bahwa dramaturgi adalah sebuah teori dasar tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial. Goffman memusatkan perhatiannya pada interaksi tatap muka atau kehadiran bersama (co-presence). (Santoso, 2012: 47). Goffman adalah orang yang paling terkait dengan apa yang kemudian dikenal sebagai model dramaturgi interaksi sosial. Seperti namanya, model ini mengibaratkan interaksi sosial biasa dengan pertunjukan teater. Jadi, latar atau konteks interaksi dipandang sebagai sebuah panggung. Orang yang berakting adalah aktor; mereka yang menonton adalah penontonnya. Peran yang diambil orang (atau aktor) dalam interaksi adalah pertunjukan yang dibuat secara strategis untuk memproyeksikan citra tertentu kepada orang lain, penonton. Dalam sebuah drama terdapat sejumlah adegan tertentu yang masing-masing harus dikelola dengan benar agar keseluruhan drama bisa sukses. (Wood, 2004:118).
Peran-peran yang dimainkan oleh para praktisi politik akan menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya seperti si calon A yang berencana masuk berkampanye/sosialisasi di pondok pesantren, maka dia akan berperan seperti layaknya seorang ustad, ceramahnya akan mengutip firman Tuhan dan hadist, sikapnya berwibawa, pakai songkok, dan beberapa atribut yang disesuaikan dengan suasana di dalam pondok pesantren. Begipula ketika si calon A memasuki kalangan pemuda/remaja peran yang dimainkan adalah setiap pembicarannya tentang kebutuhan anak muda zaman now, teknologi, seni, olahraga, wirausaha muda, dan lain-lain yang dibutuhkan oleh kalangan anak muda. Saat masuk di kalangan para nelayan si calon A akan berbicara tentang pemberdayaan nelayan, penguatan kelembagaan nelayan, bantuan sosial bagi nelayan, dan lain-lain yang intinya semua program akan dicanangkan bersentuhan langsung dengan para nelayan.
Janji manis adalah gula-gula dalam drama yang akan dimainkan sebagai pelaris jualan politik untuk mendapatkan keuntungan berupa jabatan tinggi, dan terpandang di masyarakat. Kata-kata yang menggiurkan sering terlontar dibibirnya sebagai bentuk harapan dia kepada orang yang memilihnya, segala upaya dan strategi akting para aktor politik tidaklah luput dari drama yang dimainkan demi menaikan popularitas dan elektabilitasnya dengan muara akhirnya meraih simpati dan empati dari masyarakat agar mendapatkan kedudukan.
Pendekatan dramaturgi politik seakan tidak bisa terlepas dari persoalan perebutan kekuasaan sehingga kadang cara-cara lakon berpura-pura protagonis dilakukannya, pada akhirnya mereka yang ingin mendapatkan jabatan publik terjebak dengan lakon-lakonnya yang penuh trik dan intrik.
Olehnya itu, penulis mengharapkan kepada para pemain politik agar melepaskan jubah-jubah sandiwara penuh kepuara-puraan, jujurlah pada diri sendiri dan orang lain, mulailah berlaku baik dengan keikhlasan, perbiasakanlah melakukan hal-hal baik hanya karena dirimu adalah orang baik dan layak diberikan gelar-gelar kebaikan. Ketika masyarakat memberikan amanah kekuasaan kepada seseorang, maka disitulah pertaruhan masa depan bangsa dan negara.
Sumber:
Santoso, Edi. 2012. Teori Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wood, J. T. 2004. Communication Theories In Action: An Introduction (3rd ed., pp. 118–122). Belmont, CA: Wadsworth.
Komentar
Posting Komentar