Darmin Hasirun
Dosen
Universitas Muslim Buton
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Idul adha merupakan salah satu hari raya yang diagungkan dalam agama islam, di hari inilah jutaan manusia di seluruh dunia beramai-ramai menyambut dengan khidmat dan senang karena banyaknya nilai-nilai ibadah yang dianjurkan untuk dilaksanakan sebagai manisfestasi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT salah satunya adalah memotong hewan kurban, olehnya itu idul adha sering juga disebut hari raya kurban
Sejarah lahirnya
hari raya kurban tidak terlepas dari perjalanan Nabi Ibrahim a.s. yang secara
total mematuhi segala perintah dari Allah SWT untuk menyembeli anaknya bernama
Ismail a.s. tentunya kisah ini memberikan pesan yang teramat dalam kepada umat
manusia bahwa abdi kepada Allah SWT jauh lebih tinggi daripada abdi kepada
mahluk apapun, maka tidak heran perjalanan Nabi Ibrahim a.s. tercatat dalam
sejarah 3 agama samawi yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam.
Penulis memaknai
hikmah dibalik hari raya idul adha bukan hanya memberikan pesan secara agamis,
tetapi semua aspek kehidupan manusia yang tidak jauh dengan segala godaan duniawi,
jika terjerembab di jalan kesesatan, maka akan merendahkan harkat dan martabatnya
sebagai mahluk khalifah di muka bumi sebaliknya apabila berhasil memilih jalan
yang benar pasti akan mencapai puncak rahmatanlillamin.
Salah satu yang
bisa dikaji tentang hikmah idul adha pada aspek politik kekuasaan adalah
memotong syahwat / hawa nafsu berpolitik hewani yang dapat berakibat pada
rusaknya akidah dan adab manusia dalam berjuang mendapatkan dan menggunakan
kekuasaannya. Kita tahu bersama bahwa ajaran politik sudah berumur ribuan tahun
lamanya, dan berhasil melahirkan berbagai strategi memperoleh kekuasaan yang
kadang saling bertolak belakang yaitu strategi kehancuran dan kemaslahatan. Di
dalam konsep Taichi dikenal juga istilah Yin dan Yang, kehancuran dilambangkan
dengan Yin (hitam/buruk) dan kemaslahatan dilambangkan dengan Yang (putih/baik).
Dunia politik
praktis memang selalu mempunyai dinamika dan drama kehidupan yang kadang
melahirkan golongan yin yaitu oportunis dan hedonis politik. Oportunis politik
yaitu orang-orang yang memanfaatkan kesempatan kekuasaan demi meraih
kepentingan pribadi dan golongannya, sedangkan hedonis politik merupakan
orang-orang yang terlalu mengagungkan kekuasaan, kemewahan dunia dengan segala
kesenangannya, maka banyak orang yang ingin meraih kekuasaan dengan menghalal
segala cara, seperti halnya yang diungkapkan oleh Niccolo Machiavelli dalam
buku berjudul Sang Penguasa, Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin Republik karangan Sastrapratedja & Frans M. Parera (1991:122)
menyatakan bahwa “anda hendaknya tahu, bahwa ada dua cara berjuang:
melalui hukum atau melalui kekerasan. Cara pertama merupakan
cara yang wajar bagi manusia dan yang kedua adalah cara
bagi binatang. Achilles dan
banyak raja lainnya dari zaman kuno dikirim untuk
dididik oleh Chiron, manusia berkepala binatang, supaya mereka
dilatih dengan cara ini. Arti alegori ini ialah dengan
menjadikan guru itu setengah manusia dan setengah binatang,
seorang raja harus mengetahui bagaimana bertindak menurut sifat
dari baik manusia maupun binatang dan ia tidak akan hidup tanpa
keduanya.
Perilaku
menghalal segala cara merupakan cara binatang mendapatkan sesuatu yang
diinginkannya, misalnya mengorbankan teman, saudaranya, tetangganya, bahkan rakyatnya
demi meraih kekuasaan yang menjanjikan segala mewahan, harta, kesenangan, uang
melimpah, kedudukan tinggi, dan lain sebagainya.
Sifat hewani
inilah yang harus dipotong di dalam diri manusia agar tidak bersemayam di dalam
hati sanubari, sifat hewan dengan saling memakan kawannya sendiri hanya karena
ingin memperebutkan kekuasaan. Seperti yang diungkapkan oleh Thommas Hobbes
dalam Bukunya berjudul Leviathan yang menggunakan istilah Homo Homini Lupus artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Olehnya itu di
dalam ajaran Islam, Allah SWT mengajarkan kepada manusia tentang kisah Nabi Ibrahim a.s. yang mengganti sembelihannya dari anaknya sendiri (Nabi Ismail a.s.) berubah
menjadi seekor hewan, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS.
As-Saffat ayat 107, berbunyi:
وَفَدَيۡنَٰهُ
بِذِبۡحٍ عَظِيمٖ ١٠٧
Artinya: Dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
Makna firman di atas menjadi pelajaran berharga bagi umat manusia dalam
menjalankan ibadah di dunia salah satunya ikhtiar mendapatkan kekuasaan bahwa
harga diri manusia patut dijaga dan dihormati. Penulis dimaknai pula bahwa Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk bunuh sifat hewani di dalam dirinya dalam
meraih kekuasaan/jabatan/kedudukan agar tidak mengorbankan manusia lainnya. Ketika
sifat binatang masih melekat pada diri manusia dalam perjuangan politiknya,
maka syahwat politik jahatnya akan muncul dan kekuasaan politiknya akan
digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dirinya dan golongannya (abuse of power) yang pada akhirnya dapat
merusak tatanan kebaikan manusia, sebaliknya jika sifat manusiawi mengalahkan
sifat kebinatangan, maka derajat manusia akan lebih mulia dan kekuasaan akan digunakannya
sebesar-besarnya demi kepentingan kemaslahatan umat manusia dan agamanya.
Fenomena politik
hewani ternyata sudah lama melanda negeri ini, hal ini terlihat dari fenomena
di tingkat masyarakat bawah (grassroot)
sering kita melihat di saat tibanya musim Pilpres, Pilkada, dan Pilcaleg, segala
caci makian, hinaan, fitnahan dan, saling menghujat dengan melemparkan kata-kata
kasar dan kotor kepada orang lain, belum hilang dibenak kita penggunaan istilah
“Kecebong dan Kampret” sebagai bentuk hinaan kepada orang-orang yang berbeda
pilihan dalam politik sehingga seakan tidak ada kesejukan di pikiran masyarakat
karena perilaku manusia berubah menjadi hewani yang saling menjelek-jelekan.
Begitupula dengan
permasalahan di tingkatan elit politik tak ubahnya mereka saling membunuh
karakter, kampanye hitam (black campaign),
merendahkan harkat dan martabat lawan politiknya, seakan dijadikan bunga-bunga
politik yang sering dihadirkan dalam setiap panggung politik tanah air.
Pada hubungan
elit dan rakyat, tidak jarang rakyat dikorbankan oleh para elit politik dengan
berbagai janji palsu, khianat amanah, perkataan dusta, membuat konspirasi
agar kubu satu dan kubu lawan saling berhadap-hadapan sehingga terjadi chaos sesama rakyat, rakyat dijanjikan
dengan impian-impian manis dan fantasi lagi-lagi semua skenario dibuat karena
ingin mendapatkan kekuasaan. Padahal Tuhan telah menjadikan telinga agar
mendengarkan nasehat-nasehat kebaikan, hati mereka untuk memilah perilaku baik
dan buruk, dan diberikan kekuasaan agar dijalankan demi meraih kesejahteraan umat
manusia, tetapi kadang mereka tidak syukur nikmat hingga hati nuraninya hancur
hanya karena nafsu syahwat politiknnya.
وَلَقَدۡ
ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا
يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ
لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ
أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ ١٧٩
Artinya: “Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai” (Q.S. Al Araf:179).
Sejatinya para pelaku politik harus menyembelih syahwat politiknya berupa rakus jabatan, menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan, menebar fitnah kepada lawan politiknya, dan sifat buruk lainnya, demi menjaga marwah kekuasaan yang sehat dan baik agar tidak sesat dalam menjalankan amanah terhadap jabatan dan kekuasaannya.
Wabillahi taufiq wal hidayah, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Sejatinya para pelaku politik harus menyembelih syahwat politiknya berupa rakus jabatan, menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan, menebar fitnah kepada lawan politiknya, dan sifat buruk lainnya, demi menjaga marwah kekuasaan yang sehat dan baik agar tidak sesat dalam menjalankan amanah terhadap jabatan dan kekuasaannya.
Wabillahi taufiq wal hidayah, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Komentar
Posting Komentar