Darmin Hasirun. Dosen Universitas Muslim Buton
Kita pasti sering mendengarkan atau membaca istilah “mania”, kata ini sering diartikan dengan perilaku atau perbuatan berlebih-lebihan yang cenderung berakibat negatif pada pelakunya. Dalam kamus Bahasa Indonesia mania diartikan sebagai gangguan jiwa dengan ciri gejala kemarahan, kegelisahan, kekalutan, atau kebingungan yang berlebih-lebihan, misalnya dipsomania (gangguan mental yang tidak dapat mengontrol minum alkohol), kleptomania (gangguan mental tidak bisa menahan diri untuk mencuri), erotomania (cinta berlebihan atau merasa diri dicintai) atau nimphomania (wanita yang memiliki gairah tinggi) dan lain-lain.
Begitpula dengan politicomania dapat diartikan sebagai ganguan mental seseorang yang berakibat pada perilaku berlebih-lebihan ingin meraih atau mempertahankan kekuasaan. Pada dasarnya politik sangatlah baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mengatur kekuasaan dalam suatu pemerintahan agar berjalan sesuai dengan kehendak rakyat dan negara. Keinginan berpolitik mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan menjadi tidak bermakna ketika kekuasaan tersebut digunakan untuk mengejar kepentingan pribadi dan golongannya bukan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Politicomania terdapat pula pada “politik dinasti”, yang ditandai dengan cara-cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan pada keluarganya sendiri misalnya kekuasaan dari ayahnya selanjutnya ingin didapatkan oleh istrinya, anaknya, ataupun keluarga lainnya. Melanggengkan kekuasaan demi meraih kejayaan pada golongannya harus dibayar dengan modal yang besar bahkan kadang dengan cara-cara menghalalkan segala cara demi semata-mata menyalurkan hasrat mendapatkan jabatan tertinggi di daerah/negara. Mereka yang terjebak dalam kondisi politicomania selalu menganggap bahwa pertempuran politik adalah seni mengekspresikan diri untuk mendapatkan kekuasaan dan melanggengkan status quo dengan cara mengalahkan lawan-lawan politiknya. Hasrat dirinya dapat terpuaskan jika membicarakan pertarungan politik, melumpuhkan lawan, dan menguasai sumber daya yang ada di suatu wilayah.
Tidak jarang kita melihat ada seseorang atau beberapa orang kerapkali muncul di panggung perebutan politik kekuasaan. Setiap ajang pemilihan kepala daerah atau presiden selalu nama-nama itu saja yang tampil di depan publik, bisa jadi karena popularitasnya, uangnya, keturunannya, jasanya orang tua atau keluarganya.
Setiap menjelang pemilihan kepala daerah mereka selalu hadir bermain di panggung belakang atau depan agar tampil dalam pesta demokrasi, dimana ada Pilkada/Pilpres disitulah ada mereka. Perilaku ini dimaknai sebagai simbol mentalitas yang haus dengan kemegahan kekuasaan, fasilitas mewah, uang banyak, proyek dan lain sebagainya. Dunia mereka selalu dilumuri dengan kata “politik” setiap perbuatannya selalu identik dengan pencitraan belaka bahkan kegiatan sosial kemasyarakatan dan sumbangan keagamaan dijadikan sebagai ajang untuk mengkampanyekan diri agar dikenal oleh rakyat bahwa dia adalah orang baik, dermawan, dan dekat dengan rakyat. Strategi inilah yang digunakan untuk meraih simpati rakyat agar memuluskan niatan dan ambisinya meraih kekuasaan di daerah maupun negara.
“Politik adalah candu” inilah ungkapan bagi para politik mania yang selalu mengeluarkan apapun yang dimilikinya baik uang, fasilitas, bahkan harga dirinya dipertaruhkan demi melampiaskan libido meraih jabatan kepala daerah atau presiden. Politik bagi mereka adalah judi yang bisa kalah atau menang, tidak penting menghitung seberapa besar kerugian yang ditanggungnya karena yang paling penting adalah seberapa kuat dirinya menjatuhkan lawannya dan pada akhirnya mendapatkan kedudukan yang diidam-idamkannya. Setelah mendapatkan kekuasaan selanjutnya membangun jaring laba-laba di berbagai sektor, lini atau perusahaan dengan menempatkan orang-orang kepercayaan/keluarganya menduduki posisi pimpinan puncak organisasi, setelah terbentuk jaringan itu maka dengan mudahnya mereka mengendalikan kekuasaan yang ada di daerah tersebut sesuai kemauannya.
Contohnya ketika ayahnya menjadi kepala daerah, maka boleh jadi ada keluarganya yang harus duduk di kursi anggota DPRD, sepupunya menduduki jabatan kepala SKPD, bahkan anaknya harus menjadi penerusnya sebagai kepala daerah periode berikutnya. Cara yang mereka gunakan sangatlah mudah, tinggal mengatakan bahwa “Bapak saya pernah melakukan ini dan itu” sebagai bukti kepada rakyat agar dipilih pada pemilihan kepala daerah berikutnya.
Inilah gejala politik mania yang
terbentuk disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal (ambisi, motivasi, dan
niat) dan faktor eksternal (bujukan keluarga, kolega, atau persaingan dengan
lawan), mentalitas seperti inilah yang menginginkan kekuasaan dikuasai oleh keluarga
atau keturunan mereka sendiri, sedangkan rakyat tidak mendapatkan apa-apa selain
pembodohan atau kemelaratan.
Komentar
Posting Komentar