Darmin Hasirun
Anda pasti sudah sangat familiar dengan nama “Krupuk” yaitu makanan ringan yang pada umumnya dibuat dari adonan tepung tapioka dengan berbahan penyedap rasa seperti rasa udang, ikan, bawang putih, dan lain-lain yang dijemur dalam jangka waktu tertentu kemudian digoreng.
Makanan krupuk ini sangatlah mudah hancur, sekali tekan dapat pecah berkeping-keping dan jika terkena air dapat berubah jadi lembek dalam hitungan detik sehingga krupuk harus disimpan dalam wadah yang kedap udara dan air agar lebih awet untuk dikonsumsi.
Sifat krupuk yang relatif gampang keropos dan lembek dianggap sebagai benda yang lemah, begitu juga dengan orang-orang yang bermental krupuk sering diidentikan dengan sifat manusia yang mudah menyerah, penakut, malas, dan tidak suka tantangan.
Setiap mahasiswa pastinya bermimpi mendapatkan gelar atas pendidikan yang dijalaninya selama kurang lebih 4 tahun, tentunya dengan melewati berbagai rintangan dan tantangan yang terkadang sangat sulit untuk dikerjakan, mereka lakukan hal itu dengan harapan semua tugas yang dikerjakan itu adalah prasyarat mendapatkan gelar sarjana, tetapi cara berpikir yang hanya mengejar ijazah 1 lembar membuat mereka terperangkap dalam jebakan dan fantasi sehingga mereka melakukan apapun yang penting lulus.
Hasil riset dari Dr. Lestari Nurhajati dari Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR Jakarta dan Dr. Frida Kusumastuti dari Universitas Muhammadiyah Malang (2020) pada kelompok mahasiswa baru 2020 yang merupakan kelompok generasi Z menunjukan kurangnya daya kritis di kalangan mereka.
Berdasarkan hasil riset di atas tentunya menjadi ancaman bagi pembangunan sumber daya manusia yang berpotensi banyak para sarjana tidak siap dalam berkompetisi di kalangan masyarakat, dan pada akhirnya mereka hanya menjadi sarjana kejar ijazah tanpa dibekali kompetensi yang dibutuhkan dalam dunia kerja.
Asumsi di atas diperkuat dari hasil pendataan dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan per Februari 2022, tingkat pengangguran Indonesia tercatat sebesar 5,83% dari total penduduk usia kerja 208,54 juta orang, dari 5,83 persen tersebut hampir 14 persen adalah penduduk dengan lulusan Diploma dan Sarjana (S1).
Melebarnya jurang pemisah antara lulusan perguruan tinggi (sarjana), dan ketersediaan lapangan kerja yang sangat terbatas, ditambah lagi minimnya keterampilan yang dimiliki oleh mahasiswa semenjak menginjakan kakinya di kampus memberikan kontribusi pada meroketnya jumlah pengangguran intelektual (sarjana).
Mental mahasiswa dibentuk dengan memberikan setumpuk tugas makalah dan laporan sana sini tanpa melatih daya kritis terhadap problem masyarakat serta cara menjawab tantangan masalah tersebut, maksud saya adalah mereka harus secara langsung digembleng menghadapi kenyataan hidup sebenarnya bukan bermain dengan cara berpikir teori melulu, pada akhirnya hanya mencetak para pengkhayal tingkat dewa mabuk yang mudah rapuh dan rontok oleh hempasan gelombang cobaan kenyataan hidup yang keras dan bengis.
Komentar
Posting Komentar