MEMBANGUN DESA DENGAN BUDAYA
Darmin Hasirun
Di era modern
ini kita selalu diperhadapkan dengan berbagai permasalahan yang menghinggapi
jiwa anak bangsa yang rapuh dan gersang sehingga tidak tentu arah, kemana akhir
sebuah perjalanan mereka. Budaya-budaya luar negeri yang menjajah dan
mendominasi gaya hidup anak muda telah menggurita seakan susah melepaskan diri
dari jiwa dan raga mereka yang telah terhipnotis oleh gaya hidup (lifestyle) globalisasi, alhasil banyak kalangan muda melupakan
budaya daerahnya sendiri dan berganti dengan budaya – budaya negara luar yang
tidak pernah diajarkan oleh nenek moyang mereka.
Modernisasi yang
dibalut oleh gaya westernisasi seakan menjadi lagu wajib dalam sebuah perubahan menuju
ke arah kemajuan yang menginginkan hidup setara dengan bangsa lain yang sudah
mapan. Pola tingkah yang tidak lagi menghiraukan norma-norma adat di daerahnya
karena dinilai ketinggalan zaman, kuno, ndeso, Kuper (kurang pergaulan) dan
stigma lain yang disematkan kepada orang-orang yang masih menjaga nilai-nilai
luhur leluhurnya.
Mereka yang
tinggal di desa pun tidak luput dari sorotan perubahan zaman yang kian
menggerus budaya lokal tanpa kompromi menjadikan gaya hidup anak-anak muda di
desa semakin jauh dari sopan santun, ramah, beradab dan berakhlak mulia.
Guru-guru di desa kebingungan mencari cara agar anak didik tidak lagi termakan
oleh hoaks sinetron yang diproduksi atas dasar kepura-puraan dengan motivasi keuangan
melimpah yang membius dan mengorbankan masa depan generasi penerus bangsa, tetapi kadang
pula gurunya yang terjebak dengan candu sinetron cinta atau rumah tangga romantisme
itu, mungkin karena alur ceritanya yang indah, aktor atau aktrisnya yang ganteng
dan cantik, pemandangannya yang mempesona atau lagunya yang merdu, padahal mereka
tidak menyadari bahwa dibalik pembuatan video atau gambar yang ditonton itu,
ada pesan tertulis dan tersirat untuk memasukan budaya lain agar menggeser dan menggantikan
kearifan lokal.
Pemimpin desa
yang kadang sibuk memikirkan dirinya, keluarganya atau golongannya, hanya
mencari-cari keuntungan dibalik jabatan dan kedudukan terhormat itu, kepentingan
masyarakatnya terabaikan, yang ada hanyalah mengejar kesenangan yang fana dan
melupakan pesan moral dari para tetuah adat setempat yang mengandung banyak
kebaikan dan kebajikan bagi kelansungan hidup masyarakatnya. Misalnya budaya
malu yang merupakan ciri khas orang-orang desa, malu mengambil hak orang lain,
malu berbuat dosa, malu menzholimi orang lain, malu menjadi penipu, dan sikap
malu lainnya terhadap perbuatan buruk, tetapi kita bisa lihat bersama, budaya
malu seakan hilang ditelan bumi sehingga yang ada hanyalah tidak tahu malu dengan
segala berbuatan buruknya, korupsi, menipu rakyat, tidak punya sopan santun,
tidak mencerminkan layaknya pemimpin yang patuh ditiru, sombong dan congkak
dengan jabatannya.
Anda pasti
pernah mendengarkan budaya gotong royong yang sudah lama diajarkan dan
dipraktekan di desa-desa, dapat kita lihat dari kegiatan membersihkan kebun,
membuat rumah baru, memindahkan rumah, menanam padi, menjaring ikan, dan lain
sebagainya. Di zaman ini budaya gotong royong semakin punah dan digantikan oleh
budaya individualisme yang datang dari ajaran orang-orang barat, sedangkan
kearifan lokal hanya menjadi wacana belaka yang dijadikan bahan pembicaraan di
setiap kesempatan nongkrong di warung kopi, gode-gode, atau deker-deker di
pinggir jalan.
Membangun desa harusnya
membangun pula budayanya, harusnya melestarikan adat istiadatnya, harusnya
mengembangkan kearifan lokal yang dikemas dalam bentuk wisata budaya, lebih-lebih
jika ditambah dengan nilai-nilai yang dianggap luhur untuk dipraktekan dalam
setiap pementasan drama, lagu, atau puisi pada masyarakat lokal akan menjadi semangat (spirit) untuk membangkitkan
masyarakatnya menuju ke arah yang dicita-citakan.
Kita bisa
mengambil contoh yang sederhana, ketika ada seorang pembicara di depan umum
lebih banyak menggunakan kotakata asing atau bahasa asing, maka tinggal tunggu
reaksi dari masyarakat. Mereka akan pulang dari pertemuan itu dengan kebingunan
tanpa mengerti maksud dan tujuan dari kehadiran si pembicara tersebut. Tetapi
jika si pembicara menggunakan bahasa lokal, pasti akan ada yang tertawa seperti
halnya tertawanya si pembicara, akan sedih layaknya alur cerita sedih itu dan
akan semangat sesuai dengan tujuan dari pesan tersebut. Artinya masyarakat desa
akan mudah mengerti dan mengikuti arahan apabila pemimpin memahami dan
mempraktekan budaya lokal yang sesuai kehidupan mereka sehari-hari.
Tidak ada cara lain
untuk membangun desa, selain dari membangun budayanya karena budaya lokal
adalah masa depan desa sekaligus identitas desa yang membedakan dengan
desa-desa yang lain. Bukankah menjadi diri sendiri itu lebih baik daripada
menjadi orang lain, begitupula dengan desa, yang akan mencapai kesuksesan
apabila budaya desa tidak ditinggalkan hanya karena masuknya budaya lain. Konsep
integritas yang menghendaki sikap konsistensi antara perkataan dan perbuatan
diajarkan di buku-buku karangan orang-orang barat, sebenarnya sudah lama juga
diajarkan pula oleh nenek moyang kita, hanya saja belum masuk secara massif di
dalam kurikulum pembelajaran sekolah-sekolah atau pada media-media pembelajaran lainnya. Tidak boleh berbohong, tidak
boleh dusta, tidak boleh ingkar janji adalah pesan-pesan leluhur yang sudah
berumur ribuan tahun lamanya.
Kalau pemimpin
desa mau mengajarkan mencintai budaya lokal kepada masyarakatnya, pasti akan
selalu terpelihara nilai-nilai budaya tersebut, dan tidak ada alasan bagi
generasi muda untuk tidak cinta dengan kearifan lokalnya yang telah menjadi
prinsip hidup mereka sejak kecil hingga dewasa kelak. Pembangunan boleh
digalakan dengan cepat tetapi budaya leluhur harus dijaga dengan kuat agar
tidak hancur oleh perkembangan masa atau perbuatan manusia tersebut.
Komentar
Posting Komentar