PILKADA,
SAYEMBARA MENGGAPAI VISI MISI DAERAH
Darmin Hasirun
Dosen Universitas Muslim Buton (UMU Buton)
Dosen Universitas Muslim Buton (UMU Buton)
Pemilihan kepala daerah secara serentak
yang dilaksanakan di beberapa daerah seluruh Indonesia rupanya menjadi
ajang pencarian orang-orang yang terbaik dalam memecahkan masalah di daerah.
Satu persatu muka para kandidat bermunculan, dari muka baru (pemain baru)
sampai muka lama (pemain lama) yang termotivasi mengikuti arena penuh dengan
strategi politik. Tidak tanggung-tanggung segala jurus mereka keluarkan demi
mendapatkan simpati masyarakat, ada yang mengkampanyekan program kerjanya, asal
kelahirannya, adatnya, bahkan prestasinya menjadi senjata yang cukup ampuh
digunakan.
Tulisan ini sebenarnya kelanjutan
tulisan sebelumnya yang berjudul “ VISI
MISI CALON KEPALA DAERAH, PERLUKAH?“. Oleh karena itu fokus yang dibahas
dalam tulisan ini adalah seputar program kerja yang akan dirancang oleh para
calon kepala daerah dalam Pilkada.
Menurut
penulis, visi misi harusnya hanya dimiliki oleh daerah yang merupakan hasil
dari musyawarah perencanaan pembangunan (Musranbang) bukan berasal calon kepala
daerah artinya jikalau sudah ada visi misi daerah maka tidak perlu lagi visi
misi calon kepala daerah karena visi misi daerah adalah visi misi calon
tersebut. Daerah yang dimaksud oleh penulis bukanlah wilayah geografis tetapi
rakyat, pemerintah dan swasta yang ada di wilayah tersebut atau dalam lembaga
biasa disebut visi misi organisasi seperti yang ada dalam UU tentang SPPN
(Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) bahwa RPJP (Rencana Pembangunan
Jangka Panjang) Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang
mengacu pada RPJP Nasional yang berlaku untuk periode 20 (dua puluh) tahun,
inilah yang akan diupayakan oleh setiap kepala daerah selama masa jabatannya 5
(lima) tahun. Oleh karena itu para calon kepala daerah hanya bisa menyusun
program kerja yang disesuaikan dengan visi misi daerah yang telah ditetapkan
dan akan dicapai saat menjabat sebagai kepala daerah.
Konsep
di atas memang kontradiksi dengan isi UU No 10 Thn 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati,
Walikota dan Wakil Walikota, pada pasal 45 ayat (2.g) berbunyi:“Dokumen
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: naskah visi, misi, dan
program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Bunyi pasal di atas
disesuaikan dengan Permendagri No 54
Tahun 2010 Tahapan, Tata cara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah pasal 9 berbunyi “Pendekatan politis bahwa
program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah terpilih pada saat kampanye, disusun ke dalam rancangan
RPJMD”. RPJMD ini berlaku untuk periode 5 tahun.
Inilah
yang menyebabkan arah pembangunan daerah tidak jelas dan tidak konsisten, pada
saat visi misi para calon disesuaikan dengan RPJP Daerah akan mengandung kerancuan
makna jikalau tujuan daerah disandingkan dengan tujuan calon kepala daerah.
Visi misi daerah disusun secara komprehensif dan holistik dengan menjaring suara
rakyat melalui proses musrenbang yang cukup lama dan berbelit-belit serta
disinkronkan dengan visi misi nasional, sedangkan visi misi calon kepala daerah
tidak jelas proses, prosedur, dan sumber datanya hingga melahirkan visi misi
calon Kada. Menurut penulis ini aneh..?
Dalam pandangan penulis, konteks Pilkada
seharusnya para calon kepala daerah hanya membuat program kerja dan proyeksi rencana
kerja setiap tahunnya selama jangka waktu lima tahun artinya para kandidat harus
merincikan secara jelas dan fokus pada program kerja yang akan dilakukannya
selama menjabat menjadi kepala daerah, sedangkan visi misi daerah menjadi
tujuan dari program kerja dan proyeksi rencana kerja yang ditawarkan oleh para
calon kepala daerah.
Penulis mengibaratkan para calon kepala
daerah adalah calon nahkoda kapal, yang nantinya jikalau mereka menjadi nahkoda
kapal maka rute yang sudah ditetapkan harus diikuti oleh sang nahkoda kapal.
Pada saat kapal Pelni melakukan perjalanan dari Kota Baubau menuju ke Kota
Jakarta sebagai tempat tujuan, maka siapapun yang menjadi nahkoda kapal harus
sama pula tujuannya. Apabila nahkoda si A berbeda tujuan dengan nahkoda si B,
maka kapal tidak akan sampai ke tempat tujuan bahkan terombang ambing di tengah
lautan nan luas karena tidak jelas arahnya kemana. Para nahkoda kapal hanya
menguras tenaga dan egoismenya yang berdampak pada terlunta-luntanya para
penumpang kapal akibat lamanya perjalanan, kehabisan tenaga dan bahan bakar.
Tetapi jikalau nahkodanya mengikuti arah tujuan kapal yang sudah ditetapkan
maka siapapun yang memimpin, maka para penumpang tidak perlu lagi
bertanya-tanya kemana tujuan kapal tersebut karena antara kapal dan nahkoda
kapal menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah. Kapal sudah mempunyai mesin,
bahan bakar, anak buah kapal, tinggal sang nahkoda kapal saja yang mengelola
atau memenej sumber daya yang ada di kapal tersebut, apabila nahkoda kapal
pintar mengatur potensi di kapal, penulis yakin dijamin kapal akan tiba ke tempat
tujuan sesuai dengan yang direncanakan.
Ilustrasi di atas adalah gambaran untuk
calon kepala daerah sebagai calon nahkoda, daerah sebagai kapalnya, pegawai /
aparaturnya sebagai anak buah kapalnya dan masyarakat sebagai penumpangnya.
Tugas seorang nahkoda bukan lagi membuat tujuan baru dengan mengeluarkan visi
dan misinya karena sudah ada visi misi daerah yang tertuang dalam RPJP (Rencana
Pembangunan Jangka Panjang) Daerah dan disahkan melalui Peraturan Daerah agar dijalankan
sebagaimana mestinya.
Ketika calon kepala daerah dipaksa oleh
sebuah sistem atau aturan maka disinilah letak kesalahannya karena seharusnya
para kepala daerah hanya mengelola potensi kekayaan atau sumber daya yang ada
di daerah dengan maksimal agar arah pembangunan sesuai dengan visi misi yang
ada dalam RPJPD tersebut. Hal inilah yang menyebabkan para calon kepala daerah
harus menguras tenaga mencari atau membuat visi misi baru tanpa memperhitungkan
resiko bongkar pasangnya pembangunan. Seperti perintah UU Nmr 10 Thn 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur,
Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota pada pasal 68 ayat (4) yang berbunyi “Materi
debat adalah visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota dalam rangka: (a)Meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (b)Memajukan
daerah; (c)Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; (d)Menyelesaikan persoalan
daerah; (e)Menyerasikan pelaksanaan pembangunan daerah kabupaten/kota dan
provinsi dengan Nasional; dan (f)Memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan kebangsaan”.
Seyogyanya
perlulah kita pahami bahwa UU tentang SPPN dan UU tentang PILKADA tidak perlu
tumpang tindih, boleh mensinkronkan antara isi undang-undang satu dengan yang
lain dengan syarat tidak tumpang tindih. Contoh kekeliruan atau tumpang tindih
tersebut yaitu dalam UU tentang SPPN hanya mengatur tugas kepala daerah dalam
membuat perencanaan pembangunan, mulai dari syarat, prosedur maupun tujuannya,
sedangkan UU tentang PILKADA memuat pula visi misi calon kepala daerah artinya ada
tumpang tindih perintah UU karena tidak bisa membedakan antara tujuan daerah
dan kegiatan kepala daerah. Sepengetahuan penulis UU Pilkada harusnya fokus kegiatan/program
kerja dan proyeksi perencanaan pembangunan setiap tahun dengan pemanfaatan
sumber daya yang tersedia di daerah, tidak perlu lagi sampai jauh-jauh merancang
visi misinya karena visi misi sudah menjadi tujuan daerah tersebut. Visi misi
inilah yang seharusnya menjadi tujuan bersama sedangkan para calon kepala
daerah hanya mencari solusi agar bisa menggapai visi misi (tujuan) tersebut.
Dalam
UU tentang SPPN dikatakan bahwa “Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang
diinginkan pada akhir periode perencanaan. Misi adalah rumusan umum mengenai
upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi”. Jikalau kita kembali
pada ilustrasi gambaran pada rute kapal sebelumnya, Visi adalah Kota Jakarta,
sedangkan Misi adalah Kota Makassar dan Kota Surabaya. Untuk mencapai visi
harus melewati dulu misi karena dengan misi inilah kapal tersebut setahap demi
setahap akan sampai pada tujuan akhir yaitu VISI DAERAH.
Visi
dan Misi adalah tujuan, sedangkan untuk mencapai tujuan tersebut perlulah
program kerja. Menurut UU tentang SPPN menyatakan program kerja adalah
instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh
alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
Inilah tugas nahkoda bagaimana memegang kemudi dan mengatur atau membuat
strategi dalam kapal sehingga bisa sampai pada kota-kota tujuan.
Menyusun
tujuan secara serampangan akan menjadi blunder bagi masing-masing kandidat
karena tujuan calon kepala daerah adalah tujuan rakyat, begitupula visi misi
daerah adalah tujuan rakyat. Yang menjadi pertanyaan rakyat yang mana sehingga
calon kepala daerah bisa mengatakan bahwa visi misi yang dirancangnya adalah
suara rakyat, jadi apa gunanya diadakan kegiatan musrembang oleh daerah,
jikalau calon kepala daerah mempunyai visi misi sendiri yang konon hasil dari
penjaringan aspirasi masyarakat? Apa betul? Menurut menulis inilah yang
dinamakan mempolitisasi visi misi calon kepala daerah.
PILKADA
semestinya adalah lomba SAYEMBARA MENGGAPAI VISI MISI DAERAH, bukan lomba
membuat visi misi baru yang tidak jelas proses penyusunannya. Penulis
menggunakan kata “Sayembara” karena jawara-jawara daerah akan diseleksi
berdasarkan kemampuannya dan strategi untuk mencapai tujuan daerah. Dahulu
kegiatan sayembara sering dicontohkan dengan pencarian atau penyelamatan Tuan
Putri, maka demi mendapatkan tuan putri dalam kondisi selamat diadakanlah
sayembara dengan mengumpulkan jagoan-jagoan di daerah atau diluar daerah. Siapa
yang punya kemampuan dan strategi yang baik, dialah yang menjadi sang juara
dalam pertandingan tersebut. Begitupula dengan pemilihan kepala daerah yang menghendaki
lahirnya pemimpin yang amanah, bertanggung jawab dan peduli terhadap nasib
rakyat, maka perlulah dibuatkan aturan yang jelas karena pemimpin akan mempunyai
langkah yang jelas jikalau didukung oleh aturan perundang-undangan, tetapi
jikalau UU-nya masih rancu maka lahirlah pemimpin-pemimpin rancu hanya mengejar
kekuasaan yang kurang paham cara menata masyarakatnya dengan baik dan arah
tujuan kapal akan berlabuh. Trims.
Komentar
Posting Komentar