Niatan pemerintah meningkatkan investasi dalam Negara
dengan diterbitkannya Perpres Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha
Penanaman Modal, memang mengundang banyak penolakan publik, oleh karena
itu Presiden secepatnya mengambil sikap atas masukan dari Ormas Islam seperti Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah, Ormas lainnya dan tokoh-tokoh negara, maka diputuskan untuk mencabut
lampiran dalam Perpres tersebut demi kemaslahatan umat.
Satu sisi pemerintah berusaha menggenjot pendapatan
negara dari para investor, tetapi disisi lain ternyata Perpres yang mengatur
investasi mengakibatkan gejolak dari rakyat. Bagai buah simalakama, maju kena
mundur kena, maka prinsip kehati-hatian dan ketelitian pemerintah terhadap
kebijakan publik sangatlah diperlukan agar kedepannya tidak ada lagi aturan
yang bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah tumbuh dan berkembang di
masyarakat Indonesia.
Prinsip kehatian-hatian Pemerintah dalam membuat
kebijakan publik agar menjaga ambisius para investor hitam (buruk) melampaui tujuan
luhur negara yaitu mensejahterakan rakyat. Kelihaian para kaum kapitalis memasukan
pasal-pasal yang merugikan rakyat dan menguntungkan isi kantong pemilik modal telah
terbukti dari terbitnya Perpres Nomor 10 Tahun 2021 ini.
Tindakan pemerintah secepatnya menerbitkan
aturan baru dalam menata investasi sangatlah diperlukan agar tidak terjadi
kekosongan hukum (vacuum of norm)
artinya Pemerintah dipacu oleh para investor agar secepatnya memastikan aturan
investasi meskipun disisi lain kepentingan rakyat jauh lebih tinggi daripada
kepentingan para investor.
Menurut pernyataan Profesor Yusri Ihza Mahendra dalam
salah satu wawancara di Channel resmi TVOne (4/3/2021), menyatakan bahwa “Apa yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi
itu baru merupakan suatu statemen pada publik bahwa Pemerintah juga akan mencabut
ketentuan-ketentuan seperti itu, jadi itu merupakan suatu niat yang dikemukakan
kepada masyarakat supaya diketahui, tetapi tidak cukup berhenti sampai disitu,
oleh karena yang harus diubah itu adalah norma peraturan perundang-undangan yang
bersifat tertulis dalam hal ini adalah Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021,
dan kalau memang Perpres harus dibatalkan lampirannya, maka Presiden harus
menerbitkan Perpres baru, judulnya itu misalnya Perpres Nomor 11 Tahun 2021
Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 dan itu sebenarnya
cukup diubah Presiden sendiri, tidak memerlukan keterlibatan pihak lain”.
Menelaah pernyataan dari Profesor Yusril Ihza Mahendra
di atas, telah jelas bahwa secara hukum, aturan tertulis hanya bisa diubah
dengan aturan tertulis pula, pernyataan secara lisan tidaklah menguatkan secara
hukum, olehnya itu Presiden harus bisa mengeluarkan kebijakan baru yang
membatalkan dan merevisi kebijakan lama, begitu pula dengan Perpres baru tidak
perlu melibatkan pihak lain seperti DPR untuk memutuskan secepatnya tentang
investasi dalam negara.
Publik menunggu tindakan Pemerintah atas perubahan
aturan baru agar mendapatkan kepastian hukum dan keadilan publik yang
memberikan jaminan terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia.
Penulis, Darmin Hasirun
Komentar
Posting Komentar