Dewasa ini
kita selalu diperhadapkan dengan berbagai masalah yang terus menerus melanda
tanah air, salah satu masalah yang masih menjadi tugas besar Negara Indonesia
adalah memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya. Sosok pemimpin yang
ideal merupakan harapan dari semua rakyat yaitu pemimpin yang bisa mengantar
dan mengeluarkan bangsa Indonesia dari berbagai jebakan dan belenggu dekadensi
moral generasi zaman now.
Telah banyak rakyat dikorbankan atas berbagai janji-janji kampanye politik, bahkan upaya pencitraan tanpa prestasi yang menyentuh pada kebutuhan masyarakat menjadi pemanis dalam menarik simpati masyarakat. Alhasil semakin lama rakyat semakin tidak percaya dengan segala janji para pemimpinnya, maka tidak jarang kita melihat banyak yang melakukan demonstrasi dengan merusak fasilitas umum untuk meluapkan emosi, dan aspirasi yang tidak direalisasikan oleh para pemimpin atau wakil-wakil rakyat yang duduk di kursi pemerintahan.
Melihat fenomena buruknya kepemimpinan dan tindakan brutal segolongan masyarakat dengan melakukan pengrusakan tempat-tempat umum yang sebenarnya anggaran pembangunannya dari uang rakyat juga. Jika pemimpin dan rakyatnya sudah masuk dalam zona merah dekadensi moral, lantas apa yang harus dilakukan untuk secepatnya mengeluarkan bangsa ini dari jebakan rusaknya moral generasi?
Di Pulau Buton ada nilai-nilai yang dianggap sangat penting dan mendesak untuk dibangkitkan kembali terutama bagi para pemimpin negeri ini agar mereka tidak lagi hidup dalam kepura-puraan yang dapat menyengsarakan rakyatnya. Nilai itu sudah ratusan tahun diajarkan oleh nenek moyang orang Buton yang diberi nama ajaran Sara Pataanguna. Di dalam ajaran ini terkandung nilai-nilai universal yang bisa digunakan oleh semua bangsa di dunia dengan menempatkan prinsip dasarnya yang disebut Pobhinci-bhinciki kuli artinya saling cubit kulit, kalimat ini mengandung makna yang sangat dalam karena siapapun manusia yang mempunyai perasaan pastinya akan merasakan hal yang sama terhadap perasaan orang lain. Ketika kita dicubit oleh orang lain, pasti akan merasakan sakit di kulit, begitu pula dengan orang lain yang apabila kita mencubit mereka akan merasakan hal yang sama.
Seorang pemimpin harus mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap kondisi bawahannya atau rakyatnya karena disinilah penentu kebijakan pemimpin dalam mengambil keputusan yang terbaik buat rakyatnya, pemimpin yang baik akan menempatkan dirinya sebagai rakyat pula bukan hanya sibuk dengan kepentingan dirinya yang ingin terus mendapatkan kenikmatan tetapi rakyatnya diabaikan, tentunya sikap menyelamatkan diri dan golongannya di atas kepentingan rakyat adalah tindakan yang ceroboh dan melanggar prinsip Pobhinci-bhinciki kuli. Jika para pemimpin di negeri ini konsisten dan bersungguh-sungguh menerapkan rasa saling cubit kulit, maka mereka akan takut ketika rakyatnya menderita, sengsara, kelaparan, pengangguran, dan berbagai hal yang diderita oleh rakyatnya.
Di zaman yang serba modern ini, jarang bahkan tidak lagi didapatkan sosok pemimpin yang berkata bahwa “saya bersumpah akan makan enak jika rakyatku sudah makan enak, dan sayalah yang terakhir kenyang setelah rakyatku kenyang”. Kebanyakan yang terlihat selama ini adalah sebaliknya, para pemimpinnya gendut dan buncit perutnya karena kenyang memakan uang rakyat, sedangkan rakyat sendiri yang kurus kerempeng karena hak-haknya dirampas dan dimakan oleh para pemimpinnya, maka jangan heran jika rakyatnya memberontak, melakukan pengrusakan, dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Pemimpin yang tidak memanusiakan rakyatnya, maka akan menjadi bomerang bagi dirinya.
Ajaran Sara Patanguna merupakan ajaran luhur yang memurnikan diri dari segala sikap egois dan rakus para pemimpin, di dalam ajaran ini menempatkan prinsip Pobhinci-bhinciki kuli sebagai dasar pertama dan utama, yang selanjutnya melahirkan empat prinsip lainnya yaitu: Pomaa-maasiaka artinya sikap saling menyayangi dan saling mencintai. Pomae-maeka artinya sikap saling merasa takut dan hormat terhadap sesama, saling takut melanggar rasa kemanusiaan antar sesama anggota masyarakat. Popia-piara artinya sikap saling memelihara, saling mencintai, dan saling mengabdi. Poangka-angkataka artinya sikap saling menghargai dan saling mengutamakan serta saling hormat-menghormati.
Para pembaca yang budiman, nenek moyang kita telah lama mengajarkan nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal, maka sebagai anak bangsa patutlah menjaga dan mengembangkannya karena negara besar bukanlah negara yang hidup dibawa bayang-bayang ajaran negara lain seperti K-Pop, Westernisasi, kapitalisme, komunisme dan lain-lain yang dapat merusak sendi-sendi harkat dan martabat bangsa. Negara besar adalah negara yang mempunyai potensi kekayaan melimpah sehingga dapat membangun kekuatan yang dimiliki oleh negera tersebut.
Komentar
Posting Komentar