BAHAYA
ROKOK DAN CORONA, KONSPIRASI ?
Darmin Hasirun
Saat kita bertanya kepada para dokter tentang bahaya rokok membunuhmu, maka mereka semua serentak akan menjawab "Ya", rokok berbahaya bagi tubuh si perokok (aktif) bahkan orang yang terkena asap rokok (pasif), tapi anehnya Pemerintah masih mengizinkan perusahaan-perusahaan rokok yang bebas memproduksi rokok dalam jumlah jutaan batang, dipasarkan dengan luas dan massif kepada masyarakat, dan dihisap oleh jutaan manusia. Oh katanya "Rokok Membunuhmu" tetapi kenapa tidak dilarang keras?
Melihat pandangan yang kontradiksi inilah, maka muncul asumsi
dari para pecinta rokok bahwa kalimat Rokok Membunuhmu adalah konspirasi
tingkat tinggi yang sengaja dibuat-buat oleh pihak tertentu untuk meniadakan
para pecinta rokok atau ada persaingan bisnis rokok dengan produk lainnya.
Buktinya sudah puluhan tahun mengisap rokok tapi tidak mati-mati tuh, berarti
bohong dong. Asumsi klasik inilah yang masih dipegang oleh orang-orang yang
berlangganan dengan benda berasap itu.
Pada bungkusan rokokpun tertulis pula Rokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin, bahkan ditambahkan pula dengan gambar paru-paru yang hitam dan rusak, tenggorokan bolong, bibir hitam, isi jantung hancur, dan lain-lain, intinya organ tubuh akan berantakan yang terkesan menimbulkan efek mengerikan jika menghisap asap rokok, tetapi lagi-lagi pesan ini seperti angin berlalu yang hanya lewat sebentar saja, setelah itu hilang dan menjadi iklan yang tidak punya makna apa-apa, pesan itu bohong dan penuh konspirasi. Hisap dan hisap terus.
Pada bungkusan rokokpun tertulis pula Rokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin, bahkan ditambahkan pula dengan gambar paru-paru yang hitam dan rusak, tenggorokan bolong, bibir hitam, isi jantung hancur, dan lain-lain, intinya organ tubuh akan berantakan yang terkesan menimbulkan efek mengerikan jika menghisap asap rokok, tetapi lagi-lagi pesan ini seperti angin berlalu yang hanya lewat sebentar saja, setelah itu hilang dan menjadi iklan yang tidak punya makna apa-apa, pesan itu bohong dan penuh konspirasi. Hisap dan hisap terus.
Sama halnya dengan kasus wabah virus corona 2019 / Covid-19
yang menyedot perhatian dunia beberapa bulan belakangan ini, tidak terkecuali
dengan Indonesia yang awalnya dibombardir dengan berita menakutkan wabah
Covid-19 tiap harinya, jumlah korban terpapar meningkat tajam dalam hitungan
hari bahkan jam, jumlah korban meninggal yang tidak sedikit serta gambaran
kerusakan tubuh akibat terpapar Covid-19, batuk, demam, sakit paru-paru, bahkan
organ tubuh lainnya mengalami kerusakan akibat efek infeksi terpapar virus ini
sehingga menimbulkan reaksi publik yang panik tidak karuan, menumpuk sembako,
membeli masker dalam jumlah banyak, pemakaian hand sanitizer tiap memegang
barang, tempat cuci tangan disiapkan hampir setiap tempat-tempat publik bahkan
rumah-rumah warga, lihat orang batuk curigai corona, dengar orang demam curigai
terinfeksi korona, orang sakit kepala dan mual-mual diindikasikan corona,
bahkan hanya sekedar bersin langsung divonis corona, orang pingsan dijauhi
karena takut corona, apapun penyakitnya pokoknya dicurigai corona, seakan hidup
ini mau kiamat mendengarkan orang-orang di kompleksnya terpapar Covid-19.
Takutnya minta ampun, mereka membayangkan orang yang terpapar Covid-19 sudah
tanda dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang merasakan stres dan depresi
mendengarkan berita Covid-19 bahkan mulai paranoid ditambah penghasilan tiap
bulannya semakin menurun akibat dampak kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial
Berskala Besar).
Lambat laun, para pakar kesehatan mulai angkat bicara seputar Covid-19, ternyata diantara mereka terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan, Covid-19 seperti halnya virus flu biasa, hanya demam, batuk, sakit tenggorokan setelah selesai masa inkubasi virus akan sembuh dengan sendirinya karena sistem imun sudah bekerja membunuh virus tersebut, dan ada pula yang mengatakan jangan dianggap sepele virus ini karena terbukti mematikan dan tingkat infeksinya sangat tinggi, besoknya lagi ada jawaban bahwa sedikit bahkan tidak ada kasus yang mati murni karena Covid-19 pasti ada penyakit penyerta orang yang meninggal itu.
Pernyataan dari Pemerintah pun lebih membingungkan lagi, dengan terapkan kebijakan pengetatan di tempat-tempat ibadah tetapi terlihat ada pelonggaran di pasar-pasar, peniadaan kegiatan belajar mengajar langsung sekolah-sekolah dan perguruan tinggi tetapi tempat-tempat perbelanjaan, terminal, bandara dan pelabuhan seakan tidak berlaku SPBB.
Teori konspirasi di berbagai media sosial bertebaran dengan mencocok-cocokan data dan fakta yang rasional sehingga informasi yang disebarkan yang awalnya hanya dianggap angin berlalu saja, bullshit dan hoaks, semakin hari semakin dipercaya publik. Logika publik berjalan normal ketika diberlakukan New Normal bahwa Covid-19 hanya permainan tingkat elit yang sengaja dibuat untuk membodohi dan membunuh manusia perlahan-lahan. Berita jumlah korban semakin banyak tetapi logika publik berlawanan arus dengan kebijakan pemerintah, apalagi publik sudah merasakan dikekang dan sengsara dengan pemberlakuan SPBB yang sudah lebih dari 14 hari, publik merasa bosan dengan segala pemberitaan yang ada dan lebih banyak yang mempercayai teori konspirasi oleh orang-orang yang tidak jelas latar belakang keilmuan dan data yang dipaparkannya. Semakin lama publik mendapatkan informasi yang aneh-aneh mulai dari alat rapit test yang rusak, hasil swab test yang tidak akurat bahkan sebagian publik mengira hasil swabnya mengada-ngada alias bohong.
Rasa cape berpikir publik tidak bisa ditahan lagi dengan mengabaikan kebijakan PSBB dan menyepelekan pesan tim gugus Covid-19 serta tenaga medis. Publik berusaha mencari jalan sendiri dengan membenarkan teori konspirasi dan menggugurkan pernyataan World Health Organization (WHO) yang diduga bekerjasama dengan pihak tertentu untuk kepentingan bisnis vaksin, jualan obat-obatan dan Alat Pelindung Diri (APD).
Gempuran berita Covid-19 dengan memunculkan isu baru setelah diberlakukannya New Normal bahwa akan ada gelombang ke-2 Covid-19 yang diduga lebih mengerikan dibanding gelombang ke-1 karena virusnya sudah bermutasi dengan lingkungan masing-masing, dan bisa berubah diri menjadi lebih kuat daya infeksinya, seakan hati publik dibuat bimbang dan diobok-obok oleh informasi yang bergerak seperti roller coster, maka disinilah terjadi perang logika publik dan logika elit. Publik berusaha mencari jalannya sendiri dengan pendekatan apologi yang digunakan untuk mempertahankan gagasan, kepercayaan, pembelaan dan meruntuhkan logika elit yang tidak konsisten dan tidak bisa dipercaya lagi dengan mengatakan semua itu adalah konspirasi yang dibuat oleh kalangan elit sedangkan logika elit terus menenangkan logika publik dengan mengeluarkan kebijakan yang membatasi gerak sosial agar dapat menekan jumlah korban akibat Covid-19.
Silahkan anda berpikir dengan membandingkan bahaya rokok dan corona, dimana hampir semua kalangan sepakat bahwa rokok berbahaya bagi tubuh manusia, sedangkan corona masih terjadi perbedaan pendapat di berbagai kalangan. Rokok saja sudah puluhan tahun dikampanyekan akan bahayanya masih banyak yang abaikan, apalagi Covid-19 yang masih seumur jagung dan butuh riset yang mendalam sehingga mencapai kesepakatan bersama.
Ilustrasi bahaya rokok dan corona seakan hanya jadi candaan publik yang dianggap bualan para penjual obat, semua berita itu terkesan tong kosong nyaring bunyinya, mengada-ngada dan bualan yang dibuat-buat. Mungkin logika publik benar adanya karena ada ungkapan "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan", dimana suara publik merupakan perkataan Tuhan yang ingin menghancurkan segala konspirasi dan otoritarian kekuasaan yang menekan rakyat, atau boleh jadi tanpa kita sadari semua manusia sekarang sedang berada dalam dunia genjutsu kaum komunisme dan kapitalisme sehingga kita butuh seorang tokoh super, sang pembaharu dunia ini.
Komentar
Posting Komentar