Dilema Distrupsi
Pendidikan Di Indonesia
Darmin Hasirun
Tahun 2020
merupakan momentum paling bersejarah dalam dunia pendidikan, dimana semua
lembaga pendidikan dipaksa mengubah paradigma konvensional menjadi modern yang
mengedepankan efektivitas penggunaan teknologi internet dalam proses
pembelajaran. Memang pembelajaran melalui internet bukanlah hal baru bagi dunia
pendidikan tetapi kebijakan pemberlakuan belajar during secara Terstruktur,
Sistematis dan Massif (TSM) kepada semua lembaga pendidikan berakibat pada
kacaunya sistem pendidikan. Kita tahu bersama bahwa pembelajaran during ini
dilaksanakan secara nasional tidak mengenal desa atau kota, dewasa atau
anak-anak, memadai atau tidak memadai. Semuanya mau tidak mau harus berhadapan
dengan kenyataan yang cukup pahit hanya karena alasan wabah Covid-19.
Melihat realita
ini tentunya semua pihak akan merasakan ketidaknyamanan karena memaksakan
penerapan belajar online sementara
disisi lain sumber daya manusia masih susah beradaptasi dengan penggunaan
teknologi, fasilitas internet belum memadai, kuota yang terbatas, rendahnya pendapatan
rumah tangga, tidak adanya signal internet, biaya pendidikan yang meroket, dan
berbagai deretan permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan.
Distrupsi pendidikan
merupakan upaya mengubah tatanan pendidikan dari proses pembelajaran secara
realita/nyata menjadi virtual/maya. Hal inilah yang mengakibatkan gelombang
protes publik terkait tidak efektifnya pemberlakukan pembelajaran during dengan
berbagai problem tersebut di atas.
Banyak orang tua
yang mengeluh dengan kebijakan pembelajaran daring karena anak-anaknya tidak
fokus menerima pelajaran, bahkan tugas-tugas anaknya kadang dikerjakan oleh orang tuanya
sehingga muncul kalimat dari masyarakat bahwa “sekolah during bukan anak yang
belajar tetapi orang tuanya”. Perdebatan mengenai pembelajaran during tentunya
menuai kontroversi di tengah-tengah publik, berdebatan orang tua menyalahkan guru,
guru yang menyalahkan orang tua siswa karena pengalaman banyaknya guru yang
diperlakukan tidak baik oleh anak didiknya bahkan orang tua anak didiknya, kritikan
masyarakat kepada Pemerintah yang tetap bersikeras membelakukan pembelajaran di
rumah saja dan melarang pertemuan atau tatap muka langsung, semuanya seakan
kacau oleh seperti keadaan ini.
Nasib simalakama
dunia pendidikan di Indonesia menemui kebutuannya di saat orang tua siswa
memprotes kebijakan pembelajaran during dan larangnya tatap muka langsung,
sementara Pemerintah beralibi bahwa wabah Covid-19 belum selesai bahkan semakin
hari semakin banyak korban terinfeksi dan meninggal dunia.
Para orang tua
siswa maupun mahasiswa di perguruan tinggi harus menerima kemelut yang tidak
jelas akhir cerita ini, begitupula dengan guru dan dosen yang tetap sabar
menghadapi berbagai pengaduan publik, serta Pemerintah berusaha maksimal
mencari jalan keluar dalam menghadapi tekanan publik agar kembali bersekolah
secara tatap muka.
Budaya mencabut pembelajaran
secara tatap muka langsung tidaklah mudah karena belajar bukan hanya sekedar
melihat, mendengar dan berpikir tetapi ada sentuhan langsung dari manusia yang
tidak bisa digantikan oleh teknologi, rasa kasih sayang, kepedulian, perhatian,
dan cinta hanyalah dimiliki oleh mahluk hidup, sedangkan benda mati sama sekali
tidak mempunyai jiwa yang sama dengan manusia.
Permasalahan
pembelajaran during ternyata dialami oleh masyarakat perkotaan, dimana para
siswa lebih banyak diwakili oleh orang tuanya dalam proses pembelajaran
sehingga orang tua harus repot tiap hari mengurus belajar anaknya, mulai dari
mengambil gambar dan video saat anak belajar kemudian dikirim ke group media
sosial kelasnya, mengerjakan tugas yang sering diselesaikan oleh orang tuanya,
sementara lain sisi orang tuanya sibuk menyelesaikan tugas kantor yang harus
mengejar dealine laporan, membereskan
rumah, banting tulang mencari nafkah, ditambah pula sudah “buntuhnya pikiran
orang tua” terhadap mata pelajaran sekolah yang sudah lama ditinggalkannya.
Pembelajaran during memang bikin pusing semua pihak, bukan hanya orang tua,
mahasiswa, tetapi guru, dosen dan Pemerintah ikut-ikutan pusing secara
berjamaah.
Di wilayah
perkotaan saja sudah pusing menghadapi pembelajaran during, apalagi masyarakat pedesaan,
yang notabene infrastrukturnya masih banyak yang jauh dari kata “memadai”, berdasarkan
data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI tahun 2020, sekitar 15 ribu
desa disebut memiliki akses internet buruk, bahkan belum terjangkau sama sekali
sehingga menjadi daerah blankspot1. Daerah blankspot merupakan daerah yang belum sama
sekali dimasuki signal telepon bahkan internet. Pastinya kalau desa-desa ini dipaksakan
menerapkan pembelajaran secara during, maka yang terjadi malah rusaknya (destruction) pendidikan.
Setidaknya ada dua
jalan yang bisa dipilih oleh Pemerintah terkait fenomena permasalahan
pembelajaran during selama Covid-19 ini yaitu:
1. Tetap
memberlakukan pembelajaran during dengan mengupayakan pemberian pemahaman
secara berkelanjutan dan massif terkait pembelajaran during dan kemudahan biaya
kuota dan pendidikan bagi seluruh pelaku pendidikan (guru, siswa, dosen, dan
mahasiswa). Kelemahannya pada anggaran dan butuh waktu yang cukup lama menyesuaikan
kebijakan pembelajaran during.
2.
Diterapkannya
kembali pembelajaran tatap muka langsung dengan memberlakukan protokol
kesehatan yaitu memakai masker, jaga jarak, memakai handsanitizer, dan cuci
tangan dengan sabun sebelum masuk sekolah/kampus. Kelemahannya kapasitas ruangan belajar
tidak memadai dan berpotensi terpapar Covid-19.
Pilihan pertama
boleh dilakukan tetapi lagi-lagi Negara masih lemah dalam hal anggaran, dan
pilihan kedua bisa pula dilakukan apabila Covid-19 tidak terlalu berbahaya
seperti halnya gejala flu biasa, gejala ringan, bahkan tanpa gejala.
Sumber:
1. https://kominfo.go.id/content/detail/18262/berkolaborasi-atasi-blankspot-internet-di-desa-desa/0/sorotan_media.
Diakses pada tanggal 28 Juli 2020, pukul 15.15 Wita.
Komentar
Posting Komentar