Darmin Hasirun
Pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2020 Tentang
Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan / Atau Stabilitas Sistem
Keuangan Menjadi
Undang-Undang berdampak pada penghapusan pengalokasian dana desa dari Pemerintah
Pusat kepada desa-desa seluruh Indonesia sehingga banyak program kerja di tingkat
desa mau tidak mau, suka tidak suka harus diubah menyesuaikan dengan tuntutan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang menghapus pasal 72 Undang-Undang nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa. Sebagaimana tercantum dalam bunyi Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2020 pasal 28 point delapan (8) bahwa “Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5a95); dinyatakan tidak
berlaku sepanjang berkaitan
dengan kebijakan keuangan
negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19)
dan atau dalam rangka menghadapi
ancaman yang membahayakan perekonomian
nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini”.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 di atas pastinya membuat
pusing para kepala desa beserta perangkat desa lainnya yang sudah bersemangat
membangun desanya dengan berbagai macam program kerja prioritas yang diharapkan
dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat desa, pemberdayaan
masyarakat, pembangunan infrastruktur, penguatan kelembagaan desa dan BUMDes,
pengembangan pariwisata desa berbasis potensi lokal dan lain-lain, ternyata semua
ide-ide cemerlang membangun desa harus ditahan dulu karena ada wabah Pandemi
Covid-19 yang harus ditangani oleh pemerintah desa dan masyarakatnya, olehnya
itu realokasi dan redistribusi anggaran desa menjadi jalan yang harus ditempuh
dengan mengorbankan program kerja desa yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Adapun bunyi pasal 72 yang dihapus dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa yaitu :
(1)
Pendapatan
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari:
a. Pendapatan asli
Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong
royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
b.
Alokasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
c.
Bagian dari hasil
pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d. Alokasi dana Desa
yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
e. Bantuan keuangan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f.
Hibah dan
sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g.
Lain-lain
pendapatan Desa yang sah.
(2)
Alokasi
anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber dari Belanja
Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan
berkeadilan.
(3)
Bagian
hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan
retribusi daerah.
(4)
Alokasi
dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10%
(sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
(5)
Dalam
rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan
kepada perangkat Desa yang ditunjuk.
(6)
Bagi
Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar
alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya
disalurkan ke Desa.
Ternyata bukan hanya Dana Desa (DD) yang dihapus
tetapi Alokasi Dana Desa pun ikut terhapus dalam rangka penanganan wabah
Covid-19, tentunya ini akan menjadi kebijakan yang membuat shock (terkejut) para kepala desa karena mereka harus membuat
formulasi kembali program kerja desa. Berdasarkan pantauan di beberapa media online terlihat para kepala desa
merunjuk rasa menolak penghapusan program dana desa bahkan sampai ada pula yang
menggugat isi dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 ke Mahkamah Agung RI tetapi
usaha tersebut tidak membuahkan hasil.
Sebenarnya program dana desa telah meningkatkan gairah
pemerintah desa dan masyarakat untuk membangun desanya, tentunya kita tahu bersama bahwa ada
pemerintah desa yang tersandung kasus karena penyalagunaan dana desa sehingga
banyak merugikan masyarakatnya, tetapi banyak juga pemerintah desa yang lebih
berpikir untuk memanfaatkan dana desa demi percepatan pembangunan infrastruktur
dan pemberdayaan masyarakatnya.
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 bukan
karena banyaknya kasus korupsi dana desa tetapi lebih pada upaya penanganan
wabah Covid-19 dan stabilitas perekonomian negara, artinya keuangan Negara
Indonesia sudah tidak stabil lagi sehingga beberapa program kerja terpaksa
harus dihapus agar negara tidak kolaps akibat manajemen keuangan yang
amburadur. Seperti halnya penyataan dari Menteri Keuangan RI, Sry Mulyani bahwa
"APBN
berubah luar biasa, bayangkan 2020 tadinya kita ini berharap APBN itu primary balance mendekati 0, sudah mulai
sangat sehat dimana penerimaan dan belanja sudah mulai mendekat dan memiliki
defisit hanya 1,76% dengan keseimbangan primer mendekati 0," katanya dalam
Channel Youtube Resmi Kemenkeu, Jumat (19/6/2020). "Kemudian
ada Covid-19 menyebabkan pengeluaran belanja, hampir Rp 700 triliun
sendiri," tambahnya. Dengan adanya Covid-19 maka defisit APBN 2020 bakal
bengkak menjadi 6% lebih. Ini merupakan sebuah pertanda yang menurut Sri
Mulyani cukup berat. "Artinya keuangan negara mengalami tekanan
sangat berat," tegas Menkeu. (sumber https://www.cnbcindonesia.com/news/20200619085139-4-166470/sri-mulyani-keuangan-negara-berat).
Beratnya beban anggaran yang harus diselesaikan oleh
Pemerintah Pusat ternyata membuat banyak sektor negara babak belur akibat
terjangan “Tsunami” Wabah Covid-19 yang melumpuhkan perekonomian negara, salah
satunya sektor anggaran pembangunan desa yang merupakan salah satu tiang
penyangga pertahanan negara. Kondisi perekonimian yang terpuruk bukan hanya
dialami oleh Negara Indonesia tetapi semua negara-negara yang terkena dampak
wabah Covid-19 terpaksa harus berpikir keras untuk menambal kebocoran anggaran
yang semakin parah.
Kondisi yang sulit seperti inilah tentunya diharapkan tidak
berkepanjangan karena derita rakyat berpotensi menciptakan kekacauan sosial,
dan apabila tidak stabilnya kehidupan sosial akan berdampak buruk terhadap
eksistensi negara. Olehnya itu rakyat Indonesia sangat berharap wabah Covid-19
segera hilang dengan mengambil langkah-langkah yang tepat tanpa menghilangkan
gairah perekonomian rakyat. Kita boleh jadi berada dalam situasi “Simalakama”
maju kena dan mundur kena, tetapi menurut pandangan saya, daripada kita berhenti
di tengah jalan, mandek, dan buntu pada akhirnya menjadikan frustasi sosial dan
konflik sosial yang lebih luas, lebih baik maju terus pantang mundur melakukan
gerakan menggenjot pertumbuhan ekonomi rakyat, tentunya dengan membuat strategi
yang brilian dan jernih melihat masalah wabah Covid-19.
Saya kira Covid-19 lebih mudah menyerang orang yang
mempunyai imun rendah, sementara kalau pendapatan rakyat menurun pastinya akan
berakibat turunnya imun rakyat, dan akan banyak yang sakit-sakitan, lebih banyak
ciptakan berikan energi yang besar kepada rakyat, bukan dengan menghabiskan
anggaran negara dengan program bantuan sosial tetapi menggenjot ekonomi
produktif rakyat, dan kalau semakin tinggi semangat rakyat, pendapatannya
akan tinggi dan imunnya akan tinggi pula, pada akhirnya Covid-19 hanya menjadi “singa
ompong” saja.
Sekian dan terima kasih.
Sekian dan terima kasih.
Komentar
Posting Komentar