Siang hari diliputi
awan nan kelabu, tepatnya hari Kamis pukul 14.00 Wita (30/12/21) kami memulai perjalanan
dari Kota Baubau ke Desa Lampanairi Kecamatan Batauga Kabupaten Buton Selatan, desa yang dikenal dengan produk lokal "tepung moccaf" ternyata menyimpan banyak potensi yang belum dikembangkan dengan baik salah satunya adalah Benteng Kota. Menurut informasi
yang kami dapatkan bahwa konon benteng ini menyimpan kisah penting dalam sejarah masa Kerajaan / Kesultanan Buton yang dijadikan sebagai tempat persinggahan
rombongan kerajaan untuk melanjutkan perjalanannya dari Istana Kerajaan Buton menuju Sampolawa atau sebaliknya.
Tim yang beranggotakan anak muda peduli desa yaitu Irfan, Ali Samakrudin, La Ode Aliyopu, Asmawati dan saya sebagai Ketua Tim yang menginisiasi kegiatan napak tilas pada situs Benteng Kota. Rombongan tiba di Desa Lampanairi sekitar pukul 15.00 Wita, kamipun langsung menemui Kepala Desa Lampanairi, La Ode Syarifuddin di Kantor Desa untuk berbincang-bincang seputar Benteng. Beliau sangat terbuka dengan kehadiran kami dan banyak menjelaskan tentang sejarah benteng masa lampau yang memberikan kontribusi besar dalam menghubungkan berbagai wilayah Kesultanan Buton di bagian selatan dan kondisinya dimasa sekarang yang sudah lama tidak terurus baik oleh pemerintah maupun masyarakat setempat. Hal inilah yang membuat Kepala Desa Lampanairi mengiinisiasikan diri untuk dijadikannya sebagai aset desa yang harus menjadi perhatian semua pihak termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten Buton Selatan untuk dilakukan perbaikan sesuai dengan konstruksi semula karena benteng inilah yang merupakan penghubung cerita-cerita masa lampau yang kini telah dilupakan oleh generasi muda bahkan generasi tuapun kadang melupakannya hanya karena telah lama ditinggalkan dan tidak diurus.
Rasa penasaran saya semakin kuat dengan berbagai kumpulan cerita rakyat yang hanya dijadikan sebagai ingatan kolektif masyarakat setempat, bahkan informasi yang didapatkan bahwa benteng ini tidak lagi dikunjungi oleh orang-orang luar, hanya warga setempat yang mempunyai kebun di area benteng tersebut yang kadang dikunjungi. Ada apa dengan Benteng Kota itu sehingga tidak lagi menjadi perhatian semua pihak? Kenapa situs bersejarah tersebut dibiarkan berserahkan tak terurus? Berbagai pertannyaan di dalam pikiran saya semakin mengundang rasa penasaran untuk melihat langsung kondisi benteng.
Selama melakukan perjalanan ke Benteng Kota, kami langsung dipandu oleh Hariono (Kaur Perencanaan Desa Lampanairi) dan Jaharudin warga setempat yang setia menemani, menunjukan jalan, dan memberikan menjelaskan kepada kami tentang letak benteng tersebut. Setelah berbincang-bicang dengan kepala desa, kamipun memulai perjalanan dari Kantor Desa Lampanairi ke Benteng Kota sekitar pukul 16.33 Wita dengan mengendarai kendaraan motor melewati berbagai rintangan, tebing tinggi, hutan rindang yang masih segar dan indah, serta jalanan yang cukup licin. Dibutuhkan kehatian-hatian dan kelincahan kami mengendarai kendaraan roda dua karena hampir disepanjang jalan menemui tebing-tebing curam dan tinggi. Tiba di dalam hutan pukul 16.43, kami harus menyimpan motor karena jalanan menuju benteng harus dilalui dengan menaiki gunung dan berjalan kaki.
Selangkah demi selangkah kami mengayunkan kaki menaiki bukit tinggi, melewati semak belukar di dalam hutan nan lebat. Sekitar 5 menit kemudian rasa capek sudah mulai terasa, keringat mulai bercucuran, dan betis terasa berat diangkat karena bukit yang kami lalui cukup sulit bagi pemula yang tidak terbiasa melakukan perjalanan menaiki bukit tinggi, sementara 2 orang pemandu yang ada di barisan depan terlihat masih biasa-biasa, sekitar 3 kali kami harus berhenti untuk istrahat sejenak karena kelelahan menaiki ketinggian dan melewati pagar-pagar kebun warga yang cukup tinggi.
Di tengah perjalanan kami menemui salah seorang warga yang berpakaian lusuh, celana pendek, memakai sandal jepit, dilengkapi topi koboy, parang dan botol yang diikat pada bagian pinggannya. Beliau berjalan kaki dari dalam hutan dengan santai menuju ke pemukiman warga, kami saling menyapa sebagai bentuk penghormatan atas warga setempat.
Jalanan basah dan becek mengharuskan kami berhati-hati melewati berbagai rintangan pagar kebun warga, hanya terdengar suara burung-burung yang berkicau, dengan keasrian dan dedaunan hijau di sekitar hutan belantara, suara saya dan teman-teman sudah mulai terengah-engah dalam perjalanan, sebagian ada yang menvideokan perjalanan ini. Ali Samakrudin terlihat berhenti sejenak dan saya pun menanyakan kondisinya. Bagaimana Ali ?” dia menjawab “ya lumayan, lama tidak olahraga. Saya pun menanyakan sama La Ode Aliyopu dan dia juga menjawab “lumayan lelahnya tetapi tetap semangat sampai tujuan”.
Posisi benteng yang berada di puncak bukit ternyata cukup melelahkan untuk sampai di lokasi tujuan. Di perjalanan kami sempat terhenti karena para pemandu sempat kebingungan dengan posisi benteng, mereka mengira bahwa sudah ada di dalam benteng ternyata harus melewati lagi pendakian untuk sampai di dalam kawasan benteng.
Para pemandu dilengkapi dengan sebilah parang sibuk menebas ranting dan dedaunan yang menghalangi perjalanan kami, sementara teman-teman di belakang sudah sangat lelah dengan keringat banyak bercucuran di badan dan muka membasahi baju-baju yang mereka kenakan.
Setelah sampai ke puncak sekitar pukul 17.00 Wita ternyata diluar dugaan kami, benteng yang dahulu adalah tempat pemukiman dan persinggahan rombongan raja / sultan, kini sudah tinggal puing-puing batu yang tidak tersusun dengan rapi, tanpa gerbang, tanpa bangunan, bahkan disekeliling benteng sudah tumbuh pohon – pohon dan rerumputan yang lebat, diperkirakan benteng ini sudah puluhan tahun ditinggalkan dan sudah tidak terurus lagi.
Bersambung…!
Komentar
Posting Komentar