DESA BLANK SPOT DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Darmin Hasirun, S.Sos., M.Si
Dosen
Universitas Muslim Buton
Setelah dicetuskannya pengembangan revolusi industri 4.0 di
negara-negara maju mengakibatkan percepatan pembangunan di segala bidang mulai
dari industri otomatif, teknologi digital, komputer, ekonomi digital, dan
sampai pada kebudayaan yang berbasis high
tech. Semuanya serba otomatisasi tanpa menunggu lama data dan informasi
yang dibutuhkan cepat tersajikan demi mendukung percepatan perubahan di setiap
bidang. Hampir seluruh komponen negara bergerak dengan sangat cepat karena
disupport oleh kecepatan internet yang sudah mencapai 75,02 megabyte per detik
(Mbps) dengan menggunakan jaringan Fifth
Generation (5G).
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan negara-negara berkembang,
khususnya desa-desa di wilayah Negara Indonesia yang masih jauh dari ungkapan “high tech” tersebut? Bahkan tidak
sedikit desa-desa belum tersentuh dengan internet seperti Desa Wambongi dan
Desa Liwu Kecamatan Batuatas Kabupaten Buton Selatan, Desa Wajahjaya Kecamatan
Lasalimu Kabupaten Buton, dan sederat nama-nama desa di seluruh pelosok tanah
air. Berdasarkan data dari situs Kementerian Komunikasi dan Informatika RI yang
dirilis pada tanggal 25 April 2019 ada sekitar 15.000 desa disebut memiliki
akses internet buruk, bahkan belum terjangkau internet sama sekali
sehingga menjadi daerah “BLANKSPOT”. Data ini menunjukan bahwa
masih banyak desa yang belum siap memasuki era revolusi industri di tengah
viralnya berita tentang industry 4.0 di negara-negara maju dan berkembang.
Belum lagi desa-desa harus berhadapan dengan segudang permasalahan yang
sulit terurai dan dituntaskan penanganannya seperti kemiskinan, buruknya sistem
infrastruktur desa, minimnya sumber daya manusia yang berkualitas, korupsi
keuangan desa, rendahnya produktivitas pertanian dan peternakan, banyaknya
lahan tidur tidak terpakai, konflik kepemilikan aset desa, akses jalanan menuju
desa jauh dan sering mengalami kerusakan serta eksploitasi alam yang sulit
dikontrol dan lain-lain. Hal inilah menyebabkan desa-desa di Indonesia susah move on dari kondisi tradisional menuju industri
4.0.
Ibarat pepatah bagai “bumi dan langit”, itulah ungkapan bagi desa-desa
yang masih sulit mendapatkan akses internet untuk mengubah wajahnya menjadi
desa industri 4.0. Jauh dari harapan yang dicita-citakan, padahal anggaran dana
desa dan beberapa alokasi anggaran lainnya yang masuk di desa-desa seluruh
Indonesia sangat banyak. Berdasarkan data dari situs Kementerian Keuangan RI
yang dirilis pada tanggal 24 Juli 2018 menyatakan bahwa kebijakan dana desa,
terus meningkat yakni Rp.20,67 triliun tahun 2015, Rp.46,98 triliun tahun 2016,
serta masing-masing Rp.60 triliun pada tahun 2017dan 2018, tetapi besarnya
anggaran bukanlah jaminan 100% terhadap keberhasilan desa memasuki revolusi industri
4.0 karena yang paling terpenting adalah ketersediaan sumber daya manusia yang
kreatif dan inovatif terhadap semua kondisi desa. Artinya dana besar yang tidak
ditunjang oleh manusia-manusia yang berkarakter unggul seperti halnya menaruh
garam di lautan, seberapa banyakpun garam tersebut ditabur akan hilang, dan
lenyap tidak berbekas.
Kita tahu bersama bahwa sebuah revolusi, apapun namanya entah revolusi
hijau, revolusi industri, dan lain-lain semuanya berawal dari gerakan manusia
atas kesadaran diri terhadap kondisi kemiskinan, penindasan, keterpurukan,
menerosotan pembangunan, dan lain-lain menjadi “lingkaran setan” yang
seakan-akan terus berputar-putar tanpa ada ujung penyelesaian masalah, maka diperlukan
semangat untuk bangkit lebih cepat melakukan perubahan agar rakyat segera
keluar dari tumpuk permasalahan tersebut, disitulah awal terjadinya revolusi.
Teknologi telah terbukti dalam sejarah peradaban manusia mempunyai
banyak dampak positif dalam melakukan revolusi di segala bidang, bahkan segala
potensi desa yang belum dimaksimalkan dapat dioptimalisasikan pemanfaatannya
dengan menggunakan teknologi canggih. Hal inilah yang menjadi tugas bersama
bahwa desa-desa bukan hanya sekedar menjual barang mentah di dalam negeri
maupun luar negeri tetapi harus bisa mengubahnya dari barang mentah menjadi
barang jadi yang nilai jualnya bisa 2 atau 4 kali lipat daripada menjual dalam
bentuk mentahnya. Contohnya Indonesia adalah salah satu negara pengekspor karet
paling besar di dunia ke negara-negara luar, dan pihak luar negeri memanfaatkan
karet tersebut untuk dijadikan sebagai barang jadi seperti ban kendaraan, perlengkapan
kapal dan pesawat sehingga harganya jauh lebih mahal daripada menjual bahan
mentah tersebut.
Setidaknya pihak pemerintah desa sudah memikirkan tentang pengembangan
pemanfaatan potensi desa dengan pendekatan industri 4.0, seperti Kepala Desa
Ponggok yang mengubah wajah desanya dari tertinggal menjadi desa pintar (smart village) berbasis internet, hampir
semua kegiatan dan pelaporan pemerintahan desa sudah menggunakan internet
dengan kecepatan tinggi. Upaya pemasaran obyek wisata sudah tidak susah lagi
karena sekarang telah banyak saluran promosi, bisa dilakukan melalui media
sosial, pembuatan website, blog, media cetak, maupun saluran televisi yang bisa
menjangkau lebih banyak masyarakat di daerah-daerah lain. Sistem pelaporan
keuangan transparan dan akuntabel dengan basis teknologi yang bisa diketahui
secara luas oleh publik sebagai proses pembelajaran mencerdaskan warga desa
agar melek teknologi sekaligus menghindari tindakan fraud (penyimpangan) terhadap kas desa yang seharusnya diperuntukan
sebesar-besarnya demi kepentingan warga desa.
Desa tanpa ditunjang oleh penyediaan teknologi yang memadai akan
berkembang dengan lamban karena sulitnya memasarkan berbagai produk desa yang
boleh jadi mempunyai pangsa pasar besar di luar negeri. Sedangkan desa yang
menyediakan teknologi canggih seperti internet, teknologi mutakhir di bidang
pertanian, peternakan dan perikanan akan membuka gerbang kejayaan desa dalam
memasarkan segala potensi yang dimiliki oleh desa tersebut. Globalisasi
teknologi telah menjadi pangsa pasar terbesar dan lebih terjangkau di semua
kalangan, dan revolusi industri menjadi keniscayaan yang tidak bisa dielakan
lagi sebagai salah satu syarat mengubah wajah desa blank spot menjadi desa hot
spot yang mandiri dan sejahtera.
Komentar
Posting Komentar