SIMALAKAMA TENAGA HONORER
Darmin Hasirun
Dosen
Universitas Muslim Buton
Mendengarkan ungkapan “tenaga honorer” yang notabene bekerja di lingkup
instansi pemerintah sungguh menyisahkan berbagai macam perasaan, sedih dan pilu
yang tidak bisa diungkapkan dengan narasi kalimat. Kesejahteraan yang jauh dari
harapan, sedangkan beban kerja yang melebihi harapan, mungkin inilah yang
mewakili perasaan mereka setelah sekian lama mengabdikan diri kepada negara dan
daerahnya demi mengharapkan perhatian dari Pemerintah untuk diangkap menjadi
Aparatur Sipil Negeri (ASN) ataupun mendapatkan gaji yang setara dengan ASN,
tetapi harapan tinggallah harapan, yang sudah membeku di dalam hati dan
digantung oleh berbagai iming-iming yang tidak kunjung terealisasi. Jika kita
membayangkan kerja keras dan bakti mereka kepada negara dan rakyat, sepatutnya mereka
mendapatkan perhatian khusus agar permasalahan ini tidak berlarut-larut
berputar pada wacana dan janji-janji saja.
Pernah saya bertanya kepada teman-teman yang sudah menjadi tenaga
honorer di instansi pemerintah daerah, bagaimana menurut kalian perbandingan
antara kerja ASN dan tenaga honorer? Serentak mereka berkata “kerja kami melebihi
tugas dari ASN karena kebanyakan tugas-tugas di kantor dihandle (ditangani) oleh kami sebagai tenaga magang (istilah lain
dari tenaga honorer), sehingga pegawai ASN lebih diringankan oleh kerja kami”.
Kemudian saya bertanya lagi, lalu bagaimana dengan gaji kalian? Dengan muka
murung dan suara agak sedikit direndahkan mereka berkata “jauh dari harapan”,
apa boleh buat kita sebagai tenaga honorer harus bekerja paruh waktu tanpa
mendapatkan gaji yang sama dengan ASN. Itupun honor kami dapat setelah 3 bulan
bekerja (pertriwulan), memang betul-betul kering baru terima uang honor, bahkan
ada yang menerima honornya setiap 6 bulan sekali. Sambil mendengarkan cerita
itu, saya pun termenung sejenak tentang posisi negara dalam melihat kerja
mereka yang tidak kalah berat dengan pegawai ASN. Ini bukanlah honor tetapi horor
yang cukup menggelisahkan.
Ada teman saya yang sudah bekerja sebagai tenaga honorer guru sekolah
dasar lebih dari 10 tahun, sampai sekarang beliau masih bergelut dengan profesi
guru, pernah dia mengajukan diri untuk mendaftar pada peserta K2 tetapi semua
usahanya tidak membuahkan hasil karena ada pihak lain yang menggeser namanya,
akhirnya dia tidak lagi terdaftar sebagai peserta K2 sampai hari ini, dan sekarang
dia tidak bisa mengikuti tes CPNS karena umurnya sudah lebih dari 35 tahun tetapi
dibalik kebuntuan jalan tersebut, semangatnya mengajar itu tidak pernah surut /
padam dan lelah, mungkin bukan karena motivasi materi tetapi kepuasan batin
menjadi guru bagi anak-anak penerus masa depan bangsa. Inilah kondisi
SIMALAKAMA yang serba salah saat para tenaga honorer berhadapan dengan berbagai
aturan birokrasi pemerintah yang kian tidak jelas dan tegas.
Permasalahan di atas adalah setitik noda diantara tumpukan noda hitam
yang telah lama melekat tidak hilang sampai sekarang, laksana fenomena “gunung
es” dimana yang bisa kita lihat hanya dibagian puncak saja sedangkan bagian
bawahnya masih sederet problem yang menyimpan luka, duka dan sedih.
Sejak saya masih duduk di sekolah dasar sampai sekarang, sering mendengarkan
ungkapan “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”, artinya seorang guru akan
menjadi penyelamat kehidupan masa depan bangsa tanpa mengharapkan berbagai
tanda jasa yang dilekatkan pada dirinya karena menjadi guru adalah pekerjaan
mulia, ditangan merekalah generasi bangsa yang intelektual, berbudi pekerja
baik dan beradab dibentuk dengan hati yang penuh dengan dedikasi tinggi.
Ada pula rekan saya yang bekerja di instansi pemerintah daerah sebagai
tenaga honorer yang sudah lebih dari 5 tahun, dari sejak kuliah sarjana Strata
Satu (SI) sampai selesainya pendidikan tersebut masih sibuk dengan berbagai
pekerjaan tanpa mendapatkan perubahan statusnya menjadi ASN, memang lagi-lagi
hal yang sama dia dapatkan yaitu nasib Simalakama. Padahal dengan kehadiran
tenaga magang akan membantu mendongkrak kinerja organisasi mencapai target yang
direncanakan. Olehnya itu diperlukan manajemen kepegawaian yang rapi dan
teratur agar tenaga honorer mendapatkan perlakuan dan kesejahteraan yang setara
dengan beban kerja yang mereka dapatkan setiap bulannya.
Saran saya sebagai penulis adalah :
1. Menghentikan
pengangkatan tenaga honorer baru karena gaji dan beban yang diterima sangatkan
merugikan para honorer.
2. Pemerintah pusat
maupun daerah harus bekerjasama dalam hal pengalokasian dana bagi tenaga
honorer agar mendapatkan gaji sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR).
3. Apabila mereka
tidak sanggup membayarkannya, maka harus memangkas tenaga honorer yang malas
dengan sistem kinerja agar tenaga honorer yang berkinerja tinggi tetap bertahan
dan memecat honorer yang malas.
4. Mengangkat
tenaga honorer yang berkinerja tinggi menjadi pegawai kontrak / PPPK (Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
5. Memberikan sanksi
kepada pemerintah daerah yang berani mengangkat tenaga honorer tanpa
mendapatkan imbalan gaji yang tidak sesuai UMR.
Semoga artikel ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca dan
pemerintah agar masalah tenaga honorer tidak menjadi Simalakama, dan tentunya
harus selalu melakukan perbaikan sistem manajemen kepegawaian yang lebih baik
lagi kedepannya.
Komentar
Posting Komentar