KEPALA
DAERAH BERJIWA PANCASILA
Darmin
Hasirun
Dosen Pendidikan Pancasila
Universitas Muslim Buton (UMU Buton)
Pancasila merupakan dasar Negara
Republik Indonesia yang membedakan dengan ideologi negara lain yang terlahir
dari berbagai perbedaan di Nusantara untuk satu nation. Pancasila sebenarnya telah lama melekat dalam kebudayaan
masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, bahkan ribuan tahun sebelum
Indonesia merdeka.
Keragaman kebudayaan yang dimiliki
bukanlah hal yang perlu dipertentangkan bahkan menimbulkan konflik antar anak
bangsa, perbedaan merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada
umat seluruh alam, entitas ideologi setiap bangsa pastinya harus dapat melekat
dan menjadi dasar untuk melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita harus mengakui secara sadar bahwa
setiap daerah pasti dihuni oleh orang-orang yang berbeda etnis, ras, bahasa, warna
kulit, bahkan kepercayaan yang pastinya mereka membutuhkan kehidupan damai
dalam suatu bingkai penuh cinta dan kasih sayang, maka diperlukan figur pemimpin
yang mampu menyatuhkan semua perbedaan di atas, demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pemilihan kepala daerah di tingkat
propinsi, kabupaten dan kota adalah salah satu upaya untuk melahirkan pemimpin diantara
berbagai ragam manusia yang ada di daerah tersebut. Tentu kita tidak boleh
terlalu menonjolkan setiap perbedaan tersebut demi meraih kekuasaan semata karena
sikap yang terlalu menonjolkan perbedaan apalagi mempertentangkan perbedaan
tersebut, akan dapat menciptakan konflik secara horizontal dan pada akhirnya
masyarakat pula yang menjadi korban. Kekuasaan tidak mesti harus diraih dengan
menjatuhkan lawan, kekuasaan tidak mesti diraih dengan mengucilkan kelompok
lainnya, kekuasaan tidak mesti diraih dengan cara-cara yang tidak menghargai
perbedaan. Oleh karena perbedaan adalah rahmat..! maka dengan rahmat (kasih
sayang) itulah kita bergerak membangun negeri ini, dengan perbedaan itulah kita
saling mengisi satu dengan lain.
Perbedaan yang ada diantara kita, ibarat
mesin mobil yang tersusun dengan berbagai macam bahan mulai dari besi, tembaga,
kaca, bahkan plastik, bentuknya pun ada yang berukuran kecil, menengah, sampai
besar, segala bentuk yang ada didalamnya pasti berguna untuk saling bekerja
sama. Meskipun ada berbeda-beda ukuran komponen mesinnya tetapi pada hakikatnya
mempunyai tugas yang sama yaitu sama-sama menggerakan mobil agar berjalan mulus
tanpa ada hambatan. Begitupula dengan masyarakat di daerah, dengan beragamnya
perbedaan yang ada harusnya menjadi alat untuk menyatuhkan kekuatan tersebut
sehingga roda pemerintahan dan pembangunan daerah dapat berjalan dengan baik.
Jikalau kita kembali pada gambaran ilustrasi
mobil di atas, maka sopir/pengendara yang baik adalah pengendara yang pintar
bukan hanya bisa menyetir/mengendalikan mobilnya, tetapi paham dengan kondisi
mesin mobilnya, didalamnya ada berbagai komponen yang saling menunjang agar
mobil bekerja dengan maksimal. Begitupula dengan kepala daerah, sebagai
pemimpin masyarakat daerah yang baik bukan hanya pintar menjalankan
pemerintahan, tetapi harus memahami keberagaman masyarakatnya dan kebutuhan
masyarakat di daerahnya. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin berjiwa
Pancasila.
Kepala daerah (pemimpin) berjiwa
Pancasila pertama kali dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara, dikenal pula sebagai
tokoh pendidikan nasional. Kepala daerah berjiwa Pancasila adalah pemimpin yang
bertindak berdasarkan pada asas Pancasila yang berketuhanan yang maha esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tipe
pemimpin berjiwa Pancasila ada tiga: ing
ngarsa sung tulada (di depan memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah bersama-sama rakyatnya), tut wuri handayani (dibelakang memberi
motivasi kepada rakyatnya).
Tiga tipe di atas sangatlah mudah
diucapkan tetapi sangat susah diaplikasikan disaat pemimpin tersebut tidak
memahami esensi dari nilai-nilai Pancasila, kebanyak para kepala daerah
mengajak dan mendorong masyarakat (tut wuri
handayani) untuk melaksanakan kebijakannya dengan taat, tetapi perilaku
pemimpin belum menunjukan sikap teladan bagi masyarakatnya (ing ngarsa sung tulada) sehingga
mengakibatkan masyarakat tidak terlalu simpati dengan ajakan dari kepala
daerah. Begitupula dengan posisi kepala daerah yang selalu berada di
tengah-tengah masyarakat (ing madya
mangun karsa) lebih banyak dilakukan saat menjelang pemilihan kepala daerah
agar dirinya terkesan dekat dengan rakyat tetapi sikap tersebut hanyalah
fatamorgana dan penuh kepura-puraan agar mendapatkan simpati dari rakyat,
hingga pada saat menduduki jabatan mulailah ada gap (jurang pemisah) antara kepala daerah dan rakyatnya, seperti
ungkapan dari Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat Ke-16 bahwa “jika anda
menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan”.
Satu hal yang paling susah diterapkan di
era modern ini adalah jiwa ing ngarsa
sung tulada (di depan memberi contoh), jiwa ini terkesan hampir punah
ditelan oleh zaman, padahal jiwa inilah yang paling utama dan pertama
ditekankan untuk menjadi pemimpin. Banyak orang-orang hebat di negara ini yang
telah berhasil membangun infrastruktur mega, menjadi sarjana bahkan profesor di
bidangnya, pintar berpidato, tetapi kehebatan tersebut tidaklah dibarengi
dengan sikap teladannya, sehingga tidaklah heran jika ada kepala daerah yang
telah berprestasi di bidangnya dengan segala gelar yang didapatkannya tetapi
masih melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Masih sering berlangganan dengan
penegak hukum bukan karena prestasinya tetapi karena kejahatan yang
dilakukannya.
Ada pula kepala daerah yang hanya
menonjolkan kaumnya saja, jikalau kepala daerah yang lahir di suku A, maka
komposisi ketua DPRD, kepala dinas, kepala bagian, bahkan Sekda cenderung
dikuasai oleh suku A pula, dia berusaha mendorong orang-orang yang ada di
sukunya menjadi kepala-kepala bagian di daerahnya. Sungguh miris negeri yang
mempunyai pemimpin-pemimpin egois, hanya berpikiran bahwa “saudaranya pada
golongannya sendiri saja sedangkan golongan lainnya tidak”. Padahal golongan
lain seharusnya menjadi saudaranya. Rakyat Indonesia sejak kemerdekaan telah
terhimpun dalam satu nation dengan
ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, bhineka tunggal ika, kita semua adalah saudara.
Pemimpin Pancasila harus selalu memberi
teladan, bersama rakyatnya dan menjadi inspirasi buat rakyatnya. Pemimpin
Pancasila memang sangat susah didapatkan di saat negeri ini masih dikuasai oleh
orang-orang yang jiwa korup, tetapi SAYA YAKIN..! Bahwa Tuhan telah menciptakan
dan mendatangkan pemimpin setiap zamannya, hanya kita belum memilihnya dengan
hati nurani.
Komentar
Posting Komentar