POLITIK
BUNGLON
Darmin Hasirun
Dosen Universitas Muslim Buton
Pernah anda
melihat Bunglon?
Bunglon adalah
binatang melata yang mempunyai ciri khas dapat mengubah kulitnya sesuai dengan
lingkungan sekitarnya, misalnya binatang ini singgah di dahan berwarna hijau, maka secara otomatis akan berubah kulitnya berwarna hijau, jikalau singgah di
padi yang menguning maka kulitnya akan berubah menjadi kuning, begitupula pada tanah
merah akan berubah kulitnya menjadi merah, dan seterusnya..!
Jika ciri
khas binatang ini kita personifikasikan dalam dunia politik, maka akan muncul
banyak kesamaan antara "Perubahan Kulit Bunglon dan Perubahan Sikap Politikus". Misalnya Si A
dulunya eksis di partai X maka visi, misi, pandangan, bahkan idiologinya
menyesuaikan dengan kemauan partai X, dan jikalau pindah partai Y, maka akan berubah
pula visi, misi, cara pandangan sesuai kepentingan partai Y pula.
Fenomena berpindah-pindahnya politikus dari partai satu ke partai lain, dengan alasan mencari pintu agar lolos dalam pertarungan mendapatkan jabatan pemerintahan merupakan bagian dari bentuk penghambaan diri pada partai. Cara pandangan seperti ini tidak seluruhnya salah karena ini merupakan salah satu strategi dalam politik kekuasaan, tetapi menurut penulis ada yang ganjil dengan perilaku calon kepala daerah yang kerapkali berpindah-pindah partai, yaitu motivasi kekuasaan. Yang menjadi pertanyaan bagaimana jikalau didukung oleh banyak partai dengan berbagai macam cara pandang yang berbeda-beda..? pasti politikus akan tertawan, tersandera oleh kepentingan partai politik terhadap kesepakatan yang telah dibangun sebelumnya, yaitu deal jabatan, deal proyek, deal pengembalian modal, dan masih banyak deal-deal lain yang dimainkan oleh oknum-oknum dalam partai politik. Bagaimana tidak, untuk masuk ke partai politik X, harus membayar miliaran rupiah yang seharusnya bisa dialihkan untuk membantu fakir miskin dan anak terlantar di jalanan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi fakta berbicara lain bahwa uang miliaran tersebut hanya untuk Bos partai beserta kroni-kroninya.
Fenomena berpindah-pindahnya politikus dari partai satu ke partai lain, dengan alasan mencari pintu agar lolos dalam pertarungan mendapatkan jabatan pemerintahan merupakan bagian dari bentuk penghambaan diri pada partai. Cara pandangan seperti ini tidak seluruhnya salah karena ini merupakan salah satu strategi dalam politik kekuasaan, tetapi menurut penulis ada yang ganjil dengan perilaku calon kepala daerah yang kerapkali berpindah-pindah partai, yaitu motivasi kekuasaan. Yang menjadi pertanyaan bagaimana jikalau didukung oleh banyak partai dengan berbagai macam cara pandang yang berbeda-beda..? pasti politikus akan tertawan, tersandera oleh kepentingan partai politik terhadap kesepakatan yang telah dibangun sebelumnya, yaitu deal jabatan, deal proyek, deal pengembalian modal, dan masih banyak deal-deal lain yang dimainkan oleh oknum-oknum dalam partai politik. Bagaimana tidak, untuk masuk ke partai politik X, harus membayar miliaran rupiah yang seharusnya bisa dialihkan untuk membantu fakir miskin dan anak terlantar di jalanan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi fakta berbicara lain bahwa uang miliaran tersebut hanya untuk Bos partai beserta kroni-kroninya.
Politik Bunglon
akan menjadi kekhawatiran bagi masyarakat, jikalau sang politikus tidak mempunyai pendirian (jati diri) dalam menjalankan niatnya untuk mensejahterakan
masyarakat. Kepentingan partai selalu diagungkan dan diprioritaskan karena ada
politik Balas Budi, yang harus dibayar oleh Pemenang Politik saat menduduki
tampuk kekuasaan. Politik Bunglon bisa menjadi bagian dari “pelacuran politik”
yang bisa menodai amanah yang diberikan oleh rakyat untuk menjalankan pemerintahan
selama 5 tahun. Kesucian amanah yang diberikan oleh rakyat menjadi kotor oleh
politik Transaksional dengan menggadai masa depan daerah maupun negara.
Memilih jalur independen adalah salah satu pilihan yang cukup bijak untuk mengukur dukungan rakyat terhadap politikus, meski harus banyak lika-liku yang harus dipenuhi untuk dinyatakan sah sebagai Kandidat yang layak dipilih oleh masyarakat. Jalur independen tidak meski harus bekerja sendiri, bisa jadi ada partai yang suka (like) dengan calon tersebut tanpa syarat apapun dan mempunyai kesamaan visi misi dalam membangun masyarakat seluruhnya dan seutuhnya. Jauhi penghianatan amanah rakyat dan tumbuhkan kepercayaan rakyat karena rakyat butuh pemimpin amanah.
Memilih jalur independen adalah salah satu pilihan yang cukup bijak untuk mengukur dukungan rakyat terhadap politikus, meski harus banyak lika-liku yang harus dipenuhi untuk dinyatakan sah sebagai Kandidat yang layak dipilih oleh masyarakat. Jalur independen tidak meski harus bekerja sendiri, bisa jadi ada partai yang suka (like) dengan calon tersebut tanpa syarat apapun dan mempunyai kesamaan visi misi dalam membangun masyarakat seluruhnya dan seutuhnya. Jauhi penghianatan amanah rakyat dan tumbuhkan kepercayaan rakyat karena rakyat butuh pemimpin amanah.
Politik Bunglon
juga kerapkali dipakai oleh para politikus yang sering berpindah partai atau
memberikan dukungan kepada calon kepala daerah, calon anggota dewan, atau calon Presiden yang diusung oleh beberapa partai politik. Ketika
partainya belum memutuskan kejelasan tentang arah dukungan partai, maka dengan
seenaknya menyoroti kinerja calon yang bukan kader partai atau tidak didukung
oleh masyarakat, segala cara dilakukan demi menjatuhkan pamor sang kandidat, tetapi saat partai politik memutuskan untuk mendukung calon tersebut, maka dengan tanpa ada rasa malu terhadap perilakunya yang sering menyoroti kinerja
pemerintah berubah menjadi orang yang paling baik kinerjanya dan paling
merakyat. Aneh bin ajaib.. orang-orang yang tidak punya pendirian dan cara
pandang yang jelas tentang politik ketatanegaraan akan menjadi racun dalam
politik. Dikatakan racun karena perilaku sang politikus inilah yang menimbulkan
nuansa tidak baik dalam pandangan masyarakat akibatnya banyak rakyat yang tidak
simpati dan empati lagi dengan partai politik karena permainan di internal parpol ternyata
banyak menimbulkan luka dan kebohongan publik akibat proses kaderisasinya yang
tidak matang.
Komentar
Posting Komentar