Anda mungkin pernah mendengarkan atau membaca istilah Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, atau dalam istilah Wikipedia artinya suara rakyat harus dihargai sebagai penyampaian kehendak Ilahi. Istilah ini pertama kali dikutip dalam surat yang ditulis Alcuin of York (735-804), yang bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah yang absolut pada masanya. Vox Populi Vox Dei mengalami booming saat sistem demokrasi merajai sebuah negara yang lahir dari ketidakadilan penguasa sehingga rakyat tergerak hatinya untuk meruntuhkan kekuasaan yang otoriter tersebut.
Pada
mulanya slogan “Suara Rakyat, Suara Tuhan” merupakan motivasi bagi rakyat jelata
yang berada dalam suatu negeri zhalim dan penindasan yang tidak manusiawi
hingga mereka diharuskan melakukan perlawanan terhadap kondisi yang ada.
Jikalau rakyat telah bersuara maka disitulah bersemayam suara Tuhan, yang
mendorong untuk melakukan perubahan ke arah pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat, hal ini dilakukan karena panggilan dan seruan Illahi
demi menciptakan suasana yang humanis dan demokrasi. Disinilah kedaulatan
rakyat diposisikan seperti kalam Illahi..!
Bila
berpangkal tolak pada pendekatan sosiologis, rakyat adalah sekumpulan manusia,
maka tentu arah sorotan pun pada akhirnya tertuju kepada manusia. Dengan kata
lain, apakah jatidiri manusia sebagai khalifah yang bersifat memimpin
berdasarkan kebaikan atau sewaktu-waktu dapat berubah menjadi sosok
kebalikannya? Tentu pertanyaan ini akan mengundang banyak perdebatan dengan
pendekatan dan paradigma keilmuan masing-masing.
Menurut
pendapat penulis istilah Suara Rakyat, Suara Tuhan tidaklah relevan dengan
kondisi kekinian khususnya dalam pemilihan kepala daerah. Dimana masih banyak
rakyat yang tidak mengerti akan eksistensinya sebagai hamba dan representasi
cinta Tuhan yang selalu berbuat kebaikan dan terpanggil untuk menyuarakan
kebenaran berdasarkan hati nuraninya.
Ketika
suara rakyat sudah dapat dibeli dengan uang, kehormatannya digadai untuk
kepentingan syahwat politik kekuasaan, saling beradu argumentasi dengan saling
mencaci maki, merendahkan, saling penipu, dan idealismenya runtuh oleh
iming-iming mendapatkan pekerjaan, singgasana, dan uang yang melimpah.
Dewasa
ini sudah banyak kita mendengarkan kalimat yang terucap di bibir rakyat “kalau
tidak ada uangnya, kami tidak pilih”, “ada uang, ada suara, tidak ada uang,
jangan berharap” kondisi ini merupakan realita yang terjadi di daerah, hingga
kerongkongan rakyat mudah diisi oleh selembar atau dua lembar uang merah, dan
yang terpilih adalah pemimpin berhati kekuasaan, proyek, uang, manipulasi,
kebohongan, dan kejahatan lainnya.
Kekecewaan
demi kekecewaan yang dialami oleh rakyat menjadikan mereka trauma memilih
orang-orang yang tidak berduit, sehingga mereka berdalil bahwa “sekarang masih
kesempatan untuk mendapatkan uang, nanti kalau mereka duduk tidak akan melihat
dan mendatangi kita, daripada tidak dapat apa-apa lebih baik ambil uangnya,
karena 5 tahun sekali kita dapat rezeki nomplok”. Atau rakyat memberikan
suaranya ketika ada keluarganya, satu partai, satu organisasi, satu etnis
hingga mereka terikat oleh hukum primordial, cara berpikir seperti ini merupakan
pikiran sungsang (terbalik), picik, dangkal dan bodoh.
Inilah
yang menjadikan permasalahan kebenaran Suara Rakyat yang hatinya sudah tertutup
oleh uang, pikiran dangkal, mudah bodohi oleh calon kepala daerah, mudah
diiming-iming oleh proyek dan jabatan. Oleh karena itu, maka Vox Populi Vox Dei
hanya menjadi pepesan kosong, bagaikan tong yang tidak berisi, saat dipukul
nyaring bunyinya. Slogan yang jauh dari kualitas pesan yang mulia, lebih banyak
disuarakan oleh orang-orang mayoritas yang menginginkan agar pemimpin daerah
dipilih dan ditentukan oleh mereka yang rendah akhlak dan moralnya.
Ajaran
suara rakyat adalah suara Tuhan, berubah menjadi kurikulum yang ditancapkan
dalam-dalam dibenak (otak) anak bangsa, pendidikan para penyembah berhala dan
manusia, karena mereka menganggap apa yang dikatakan oleh rakyat adalah benar,
sehingga lahirlah suara mayoritas yang mengalahkan suara minoritas. Suara yang
diakui kebenarannya apabila banyak rakyat yang menginginkannya, sedangkan suara
minoritas tidaklah berguna apa-apa, hanya menjadi pemanis dan jauh dari
kebenaran.
Padahal
tidak ada satu ajaran agamapun yang memerintahkan mencari kebenaran pada suara
rakyat, yang ada mencari kebenaran pada Kitab yang diturunkannya melalui Nabi
atau Rasulnya..! karena Tuhan tahu betul bahwa rakyat yang diciptakannya masih
banyak yang belum lurus akidahnya, cara berpikir sangat terbatas, suka materi,
dan jabatan, sementara Tuhan adalah Maha Sempurna, jauh dari kesukaan materi,
tidak butuh jabatan karena dialah pencipta segalanya. Maka penulis tegaskan bahwa
“SUARA RAKYAT BUKANLAH SUARA TUHAN”, Karena suara Tuhan selalu pada orang-orang
pilihan seperti Nabi, Rasul dan orang-orang yang mulia yang jauh dari sifat
hedonisme, cinta jabatan, cinta uang, cinta nafsu, selalu berkata benar, mereka
memilih berdasarkan kebaikan umat, tidak takut dengan tekanan, intimidasi,
provokasi, jalannya selalu lurus, pandangannya terang hingga tahu akan
kebenaran sesungguhnya, dan mereka selalu menyuarakan penyembahan kepada Sang
Illahi bukan pada manusianya.
Oleh
karena itu, penulis merekomendasikan “PILIHLAH BERDASARKAN HATI NURANI ANDA
SESUAI DENGAN KEYAKINANNYA, JANGAN SAMPAI TUHAN MARAH HANYA KARENA KITA BUTA
DENGAN CARA MEMILIH PEMIMPIN YANG AMANAH DAN BAIK”.
Komentar
Posting Komentar