Setelah
dilantiknya anggota Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada beberapa bulan yang lalu,
maka selanjutnya yang ditunggu masyarakat adalah perannya dalam melakukan
pengawasan persiapan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) baik tingkat Propinsi, Kabupaten atau Kota.
Sebagai
organisasi yang bersifat independen, diharapkan dapat berfungsi mengawasi
segala aktivitas calon kepala daerah, tim sukses, relawan, masyarakat dan ormas
lainnya yang dapat berpotensi terjadinya kecurangan baik menjelang, saat
pelaksanaan maupun berakhirnya Pilkada.
Belajar
dari pengalaman masa lalu, terlihat anggota Panwas diduga belum menunjukan
kinerja yang maksimal, misalnya masih maraknya terjadi politik uang saat
Pilkada baik di tingkat kecamatan, desa/kelurahan sampai dusun bahkan di lingkungan
masyarakatpun tidak lepas dari politik uang. Politik uang sering dibungkus
dengan berbagai kegiatan mulai dari sosialisasi, temu masyarakat, kampanye,
atau kegiatan sejenisnya. Setelah mereka mendatangi pertemuan tersebut yang
sering terlihat adalah bagi-bagi uang sebesar Rp.50.000 sampai ratusan ribu
rupiah dengan alasan untuk membayar uang transportasi dan lelah masyarakat
mendatangi pertemuan tersebut.
Bahkan
menjelang Hari Pencoblosan di TPS (Tempat Pemungutan Suara) sering terdengar
“Serangan Fajar” yaitu kegiatan bagi-bagi uang kepada pemilih yang dilakukan
saat tengah malam, subuh atau pagi hari sebelum pemilih mendatangi TPS. Untuk
membuktikan ada atau tidaknya ‘Serangan Fajar” sangatlah susah karena butuh
kesadaran masyarakat melaporkan tindakan melanggar hukum tersebut. Lagipula
“Serangan Fajar” selalu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, gelap,
remang-remang, dan samar-samar bagaikan “Aksi Hantu Mendatangi Rumah-Rumah
Warga Untuk Mengajak Berbuat Keburukan”.
Memang
saat kita berdiskusi tentang money politic
akan banyak perbedaan persepsi, pendapat dan perdebatan di kalangan masyarakat
maupun para elit politik. Batasan money
politic telah dimuat dalam UU KUHP Pasal 149 ayat (1) berbunyi “barangsiapa
pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi
atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya
atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu”. Begitupula dengan pendapat
penulis mengartikan money politic sebagai
tindakan seorang/beberapa orang dengan sengaja dan terencana memberikan uang
kepada para pemilih untuk mempengaruhi keputusannya memilih salah satu calon
kepala daerah.
Peran
pasif Panwas dengan menunggu laporan dari masyarakat terkait pelanggaran
Pilkada adalah salah satu tugasnya, tetapi akan jauh lebih baik jikalau mereka melakukan
peran aktif dengan melakukan pengawasan langsung di lapangan dan melaporkan
setiap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh calon kepala daerah, tim sukses
atau masyarakat umum. Keaktifan panitia pengawas dalam memberikan efek jera
kepada para pemberi uang dan penerima uang harusnya dilakukan dengan cepat,
sigap, dan peka terhadap pengaduan masyarakat. Masih kurangnya peran dalam
pengawasan politik uang mengakibatkan banyaknya masyarakat yang susah
membedakan antara politik uang atau pemberian tanpa balas jasa.
Sama
halnya dengan masalah yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan),
dengan menghina golongan tertentu, maka sepatutnya tidak bisa ditolerir sebagai
bagian dari strategi politik pemenangan salah satu calon kepala daerah karena
politik dalam Pilkada dibatasi oleh regulasi / aturan yang ada. Tentu tidak
boleh secara bebas mencaci maki, menghina dan memprovokasi masyarakat yang
berpotensi menimbulkan konflik. Pada permasalahan ini tentunya sangat
dibutuhkan Lembaga Panwas untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat
agar kebebasan berpendapat tidak menjurus pada konflik antar masyarakat.
Begitupula
dengan masalah penggelembungan suara, suara fiktif/siluman, penggunaan
fasilitas negara untuk kepentingan politik, pengrusakan fasilitas umum,
keterlibatan langsung PNS dalam politik dan berbagai dugaan pelanggaran
pemilihan kepala daerah merupakan bagian dari tugas pengawas untuk dilaporkan
kepada KPUD atau pihak berwajib agar diproses sesuai dengan mekanisme yang ada.
Kurang
terkontrolnya pelanggaran dalam pemilihan kepala daerah yang bersih, amanah dan
berwibawa, menjadikan lembaga ini seperti “Harimau Bertaring Tumpul”, artinya
tugas yang seharusnya membuat takut kepada para pelanggar aturan, ternyata
tidak memberi efek jera alias tidak berpengaruh terdapat pelanggaran aturan
pemilihan sehingga terkesan anggota Panwas hanya sekedar menyelesaikan tugas
administratif yaitu surat menyurat, penyusunan rencana program, rapat
koordinasi, kunjungan kerja, laporan monitoring, laporan evaluasi dan berbagai
laporan lainnya sehingga hasilnya belum menunjukan kemajuan yang baik dalam
menumbuhkan demokratisasi pemilihan kepala daerah.
Sekarang
ini para anggota Panwas sedang diperhadapkan dengan berbagai aturan baru yang
harus dipahami dan diterapkan maksimal, diantaranya UU No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No.10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota, UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan berbagai
aturan lain terkait Pilkada, hal ini dilakukan demi mengoptimalkan pengawasan
dalam menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut.
Anggota
Panwas tidak hanya menyelesaikan tugasnya dalam bentuk laporan
pertanggungjawaban saja tetapi harus bisa memutuskan mata rantai kejahatan dan
pelanggaran dalam Pilkada yang berakibat buruk kepada masyarakat dan masa depan
daerah.
Tulisan
ini merupakan tinjauan kritis dan motivasi bagi anggota Panwas untuk menguatkan
taringnya dalam menjalankan tugas kenegaraan karena lembaga ini diharapkan
dapat memberikan gebrakan positif demi menciptakan penyelenggaraan Pilkada yang
jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Yang menjadi pertanyaan, akankah
Panwas sekarang bisa melakukan gebrakan melawan para penjahat demokrasi atau
taringnya akan tumpul kembali dan tidak bisa menggigit dengan baik? Kita tunggu
terobosannya. Trim’s.
Komentar
Posting Komentar