Saat saya tiba di Batuatas dengan menggunakan kapal KM.Peropa pukul 16.00 Wita tanggal
17 Mei 2016 yang lalu, bertepatan dengan turunnya hujan rintik-rintik. Kondisi
kapal yang tidak bisa bersandar di pelabuhan mengharuskan para penumpang turun
melalui tanggul penahan ombak yang langsung terhubung dengan pelabuhan.
Setibanya
di rumah, sekitar 15 menit kemudian ada seorang anak perempuan usia sekolah
dasar datang membawa ikan bakar berukuran sedang di Loyang sebanyak 6 ekor,
setiap ekornya seharga Rp.1.500 dan kamipun membeli semuanya seharga Rp.9.000. Dengan
herannya saya bertanya kepada keluarga, kenapa murah sekali..? apa dia tidak
rugi..?, mereka menjawab sudah seperti itulah harga ikan disini, kebetulan
sekarang masih musim banyaknya ikan, bahkan kita bisa dapatkan ikan Napoleon,
ikan hiu, dan ikan besar lainnya hanya seharga Rp.10.000 setiap ekornya.
Saya
kembali melihat anak penjual ikan itu berpakaian lusu, kusam, kotor, bajunya
sudah banyak yang bolong, dan bernoda. Kondisi ini menunjukan bahwa anak ini
dalam keadaan miskin, meskipun miskin dia tidaklah meminta-minta untuk diberi
uang seperti perilaku peminta-minta yang marak ada di kota-kota besar.
Tak
bisa dibayangkan ikan yang harus bersusah payah ditangkapnya di lautan lepas,
setelah itu lalu dibakar yang tentu butuh kayu bakar dan minyak untuk
menyalahkan api, kemudian harus menunggu beberapa jam untuk mendapatkan hasil yang
matang/masak, artinya untuk mendapatkan uang Rp.9.000 harus butuh waktu
berjam-jam. Kata sabar dan ikhtiar tidaklah terlintas dalam pikiran anak ini
karena dia hanya mengamalkan perbuatan sabar dan ikhtiar itu tanpa mendalami ilmu
tentang kesabaran dan kebaikan.
Di
wajahnya yang kusam, menjadikan saya tertegung menunduk dan merenung sejenak,
betapa tegarnya dia menjalani kehidupan ini hingga harus merelakan diri
berjualan ikan dengan harga yang sangat murah.
Anak
seusianya seharusnya dapat menempuh pendidikan dengan baik tanpa dibebani oleh
pekerjaan, tetapi karena keberadaan ayahnya yang masih merantau di daerah lain
dan mereka menunggu kiriman ayahnya yang tidak menentu, kadang 3 bulan sekali
bahkan lebih dari itu. Situasi seperti inilah menjadikan anak ini harus banting
tulang membantu orang tua (ibunya) untuk berjualan dengan menguras tenaga yang
belum pantas dia dapatkan.
Setiap
harinya saya melihat kebiasaannya menjual ikan di sepanjang jalan, sambil
teriak “Jual Ikan” berkali-kali (memakai Bahasa daerahnya) sampai ikan itu laku
terjual.
Berjalan
sepanjang jalan tanpa beralas kaki, tidaklah membuatnya lelah dan mengurung
usahanya untuk tetap berjualan setiap hari. Rasa cengeng tidaklah nampah di
wajahnya, ketabahan dalam kemiskinan merupakan kekuatannya.
Badan
kurus dengan suara yang agak melenting sehingga saya dapat mendengarkannya dari
jauh, suara teriakan dengan penuh harapan agar ikan bakar dalam loyangnya dapat
dibeli oleh warga.
Pembaca
yang Budiman, pengalaman saya di atas merupakan pelajaran yang sangat bernilai
bahwa KEMISKINAN BUKANLAH SUMBER DARI KEPUTUSASAAN DALAM BERUSAHA, JUSTRU
MENJADI UJIAN KESABARAN DALAM IKHTIAR AGAR MENJADI MANUSIA YANG MANUSIAWI YANG
HIDUP PENUH MAKNA.
Komentar
Posting Komentar