BLACK CAMPAIGN
MENCARI KAMBING HITAM
*Darmin Hasirun*
Pemilihan
kepala daerah serentak yang akan dilaksanakan tahun 2017 di seluruh Indonesia telah
memasuki babak baru khususnya bagi daerah-daerah yang telah memenuhi syarat
pelaksanaan pemilihan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Para calon kepala daerah dengan gegap gempita menyambutnya dan
berbondong-bondong mencari partai politik dan dukungan masyarakat untuk
dijadikan sebagai “perahu” atau “tiket” agar bisa masuk dalam arena pertandingan
pemilihan kepala daerah.
Berbagai
macam pasangan calon kepala daerah dengan latar belakang etnis, agama, warna
kulit, bahasa, bahkan cara pandang yang berbeda-beda disatukan dalam satu
daerah dan satu panggung pemilihan, kondisi ini telah menjadi warna demokrasi
pemilihan, tentu para calon tersebut akan mengajak masyarakat untuk memilihnya
saat hari pencoblosan nanti di Tempat Pemungutan Suara (TPS) lingkungan
masing-masing. Oleh karena itu berbagai cara mereka tempuh untuk meyakinkan
masyarakat tentang niatan, program kerja dan keseriusan dalam membenahi daerah
jikalau terpilih sebagai kepala daerah selama 5 tahun kedepan.
Salah
satu cara untuk mengajak masyarakat adalah melalui kampanye yang berisikan
ajakan, himbauan, bahkan propaganda untuk menjatuhkan lawannya baik dilakukan
melalui media massa, media eletronik, ataupun tatap muka langsung dengan
masyarakatnya. Dalam pandangan penulis, kampanye dalam Pilkada seperti halnya
pisau bermata dua, disatu sisi untuk mempromosikan visi, misi, program kerja,
kinerja, prestasi calon, sikap, cara pandangan, dan strategi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat daerah, disisi lain kampanye
sering berisi kata-kata fitnah, pencemaran nama baik, gunjing, gosip, dan
berbagai nada kebencian lainnya kepada sesama warga yang berbeda pilihan.
Pada
umumnya kampanye dalam Pilkada dilihat dari warna terbagi atas tiga jenis yaitu
kampanye putih (white campaign), kampanye hitam (black campaign) dan kampanye
abu-abu (gray campaign). Kampanye putih berisikan ajakan kebersamaan, perdamaian,
program kerja yang pro rakyat, sikap beretika dan bermoral sesuai dengan
peraturan perundang-undangan maupun norma-norma kebaikan lainnya yang telah
berkembang dan dianut oleh masyarakat setempat. Kampanye hitam merupakan antitesis
dari kampanye putih yang cenderung menyerang dan menyebarkan kebencian kepada
salah satu calon kepala daerah dengan melihat isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras
dan Antar golongan), menyebarkan berita-berita bohong (hoax) kepada masyarakat
sehingga mempengaruhi cara berpikir masyarakat dari memandang kebaikan pasangan
calon berubah menjadi rasa jengkel dan tidak suka terhadap pasangan tersebut,
bahkan masalah rumah tangga pasangan calonpun tidak luput dari gosip yang
disebarkan untuk tidak mendukung calon-calon yang dianggap buruk di mata
masyarakat. Kampanye abu-abu lebih cenderung pada isu-isu yang belum jelas
kebenarannya, dari mana asalnya, datanya yang kurang akurat, dan biasanya
dijadikan buah bibir masyarakat.
Dalam
tulisan ini, penulis hanya fokus pada kajian kampanye negatif (black campaign)
yang selalu identik mencari tumbal atau kambing hitam pada salah satu pasangan
calon kepala daerah sehingga nama baiknya jatuh di mata publik, inilah yang
disebut character assassination
(pembunuhan karakter). Bagi mereka yang tidak suka dengan calon kepala daerah
maka cara inilah yang sering kita gunakannya melalui forum-forum diskusi di
dunia nyata maupun dunia maya.
Kampanye
hitam yang dipakai oleh relawan dan tim suksesnya, sering menganggapnya sebagai
senjata yang bisa merobohkan sistem pertahanan calon lain, tidak
tanggung-tanggung bahkan keluarganyapun ikut terseret dalam pusaran kampanye
dosa ini. Kampanye yang sangat tidak sehat dalam proses pertumbuhan demokrasi
di negara tercinta, cara-cara ini seharusnya hanya dipakai oleh golongan
syeitan untuk menjerumuskan manusia ke lembah kesesatan yang hitam pekat
sehitam kampanye yang mereka lakukan.
Sebenarnya
upaya mencegah kampanye hitam ini sudah lama dilakukan oleh negara diantaranya
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), baru-baru ini dikeluarkan surat edaran
Kapolri Nomor: SE/ 06 / X /2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate
Speech), bahkan norma-norma agama melarang perbuatan gosip, menggunjing,
atau ghibah kepada orang lain.
Black campaign merupakan sikap
yang tidak bermartabat dan tidak manusia disebabkan mereka yang menginginkan
kedudukan dan kekuasaan diperoleh dengan cara-cara merendahkan harga diri orang
lain. Lagipula pada dasarnya manusia mampunyai dua sisi sifat yaitu sifat buruk
dan baik yang tidak lepas dari kepribadian manusia, tentu jikalau kita ingin
menyerang seseorang pada kekurangan calon lain dengan cara menghina maka dapat
dipastikan orang lain yang menghina calonnya sendiri pada kekurangannya pula,
maka terjadilah perang urat saraf. Perang yang hanya membicarakan keburukan
masing-masing calon dengan cara dibuka satu persatu di depan publik baik dengan
bukti maupun tanpa bukti-bukti yang mendukung kata-kata tersebut, tentu bagi
orang-orang yang mudah terpengaruh dengan isi provokasi itu, maka akan
berpotensi mereka ikut-ikutan membenci dan mengeluarkan kata-kata hinaan kepada
calon kepala daerah lainnya.
Sikap
sekelompok masyarakat yang sering mengeluarkan kata-kata hinaan kepada pasangan
calon lain dapat berakibat pada terciptanya konflik secara horizontal, olehnya
itu sikap buruk ini bukanlah merupakan cerminan orang-orang yang beragama
karena agama jelas-jelas menganjurkan untuk menghindari atau menjauhkan diri
dari perkataan sia-sia, omong kosong, dan suka memfitnah.
Permasalahan
yang sering muncul di tengah-tengah masyarakat menjelang Pilkada adalah
menyorot kinerja petahana yang belum memuaskan publik secara umum dan
menimbulkan kekecawaan sebagian masyarakat. Jikalau terjadi hal seperti ini,
maka warga harus memilih calon lain yang bisa membawah harapan baru untuk
pembangunan tentu tanpa harus menghina atau membenci kelompok lain yang dapat
memicu perpecahan sesama masyarakat di tanah air.
Black campaign tidaklah banyak
mendatangkan kebaikan untuk pembangunan daerah, kesejahteraan dan perbaikan
kondisi pemerintahan, bahkan justru hanya menciptakan rasa dendam kusumat, iri,
dengki, dan penyakit hati lainnya yang merugikan masyarakat, penulis yakin
jikalau kita sering mengkampanyekan prestasi para calon kepala daerah maka akan
menjadi virus motivasi bagi generasi calon-calon kepala daerah selanjutnya
untuk mengukir prestasi sebanyak-banyaknya, bukan sibuk memperbanyak masalah
yang bikin masyarakat tambah pusing dan bingung menentukan pilihannya.
Pembaca
yang budiman, marilah kita jadikan Pilkada sebagai event memilih pemimpin yang
berkualitas baik pribadinya maupun program kerjanya secara bermartabat dan
beretika sesuai dengan aturan main yang berlaku, serta mempertimbangan pula
nilai-nilai agama, adat dan sosial yang telah melekat lama dalam diri
masyarakat di daerah. Trim’s.
Komentar
Posting Komentar