POLITIK IDENTITAS DALAM PILKADA (Menyeimbangkan Perjuangan Kaum Termarjinalkan dan Menjaga Persatuan Bangsa) *Darmin Hasirun*
Penulis
mencoba mendeskripsikan tentang politik identitas dalam Pilkada seiring makin
kuatnya potensi pelemahan pemahaman nation
building (pembangunan bangsa) yang memiliki keanekaragaman suku, agama, dan
kelompok organisasi kemasyarakatan lain yang dibentuk baik secara sukarela
maupun perintah agama dengan prinsip saling menghargai/toleransi satu dengan
yang lain.
Perhelatan Pilkada
langsung secara serentak di daerah merupakan ajang untuk menunjukan eksistensi
diri dan kelompok agar diakui dan dihormati oleh masyarakat yang ada di daerah.
Penonjolan diri/kelompok dengan mengatasnamakan etnis, agama, atau organisasi tertentu
sebagai strategi untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Inilah yang
dinamakan oleh penulis sebagai politik identitas.
Latif dalam buku
karangan Ibrahim (2013), berjudul “Dari
Politik Identitas ke Politik Kewarganegaraan” mengemukakan, politik
identitas adalah sebuah politik yang dibangun dari dalam sebagai sebuah
gambaran stereotype (anggapan
negatif) lingkungan. Politik identitas demikian memiliki dua hal penting,
pertama bahwa demokrasi dan reformasi akan menghasilkan perkembangan atas
nilai-nilai pluralisme hingga ke tingkat minoritas dan sebagai akibatnya
kalangan minoritas yang selama ini termarginalkan kemudian ingin mendapatkan
perlakuan yang sama. Kedua, adalah pengakuan atas berbagai identitas tidak lagi
dipandang sebagai alat dalam rangka nation
building, melainkan akan merusak identitas nasional.
Di
arena politik, identitas etnis dihembuskan sebagai isu putra daerah yang
kebanyakan dilakukan oleh elit lokal untuk merebut atau melanggengkan kekuasaan
politiknya. Tentang hal ini, Eindhoven dengan tegas menyatakan bahwa momentum
reformasi telah menghantarkan elit lokal mengonsolidasikan kekuatan identitas
(etnis) untuk menolak kepala daerah yang berasal dari non-etnisnya. Hal ini
tampak dengan jelas dalam fenomena pembentukan kabupaten baru, di sini, para
elit etnis berupaya memisahkan atau melepaskan diri dari kabupaten induknya
dengan alasan distingsi (perbedaan) sejarah kebudayaan, agama dan etnisnya, (Sofyan
Sjaf. 2014. Politik Etnik. Dinamika Politik Lokal di Kendari. Jakarta:
Yayasan Obob Indonesia).
Menurut Cressida
Heyes (dalam Stanford Encyclopedia of
Philosophy, 2007) menyatakan politik identitas lebih mengarah pada gerakan
dari ‘kaum yang terpinggirkan’ dalam kondisi sosial, politik, dan kurtural
tertentu dalam masyarakat. Upaya perjuangan politik dengan penggunaan identitas
memberi hasil positif yang berpengaruh secara signifikan. Politik identitas
sangat berkaitan erat dengan usaha memperjuangkan hak-hak dan pengakuan
terhadap keberadaan kelompok-kelompok terpinggirkan/termajinalkan dalam
kebijakan pemerintah.
Contoh
yang bisa kita pelajari adalah pemilihan Gubernur Maluku Utara pada tanggal 1
Juni 2013 lalu, isu etnisitas dipandang lebih mempunyai peluang. Untuk itu,
proses penggarapan dukungan massa menjadi target utama propaganda elit,
sehingga isu etnisitas dapat terus digalakan dan dimainkan dengan secara masif.
Salah satu persoalan yang muncul sebagai implikasi dari menguatnya isu
etnisitas adalah adanya perasaan sentimen etnis tertentu atas berkuasanya etnis
lain di suatu wilayah. Akibatnya, masyarakat merasa terpinggirkan dalam wilayah
ekonomi ataupun politik - keterbatasan akses tersebut mendorong masyarakat
untuk melakukan upaya pengkonsolidasian identitas dengan memilih etnis sebagai
kendaraan untuk mempertahankan eksistensinya.
Melihat
contoh di atas, penulis menghubungkan dengan kondisi menjelang PILKADA di
wilayah Sultra, isu tentang etnis semakin mencuat dengan latar belakang kondisi
sebagian penduduk merasa termajinalkan dan tidak adilnya dalam pembangunan di
beberapa wilayah, sehingga ada yang menganggap mereka jauh tertinggal dengan
daerah lain, isu ini kadang juga dimunculkan dalam strategi politik pemenangan
kandidat yang diusung, mereka yang sudah terlanjur kecewa dengan para pendatang
di daerah karena pengalaman selama ini kepala daerah yang dianggapnya “oknum pendatang”
memimpin daerah tersebut hanya bermotifkan kekuasaan, uang dan eksploitasi
sumber daya alam yang ada di daerah kekuasaannya.
Inilah
gambaran politik identitas yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia yang
dikhawatirkan oleh para ahli otonomi daerah akan menguatkan ego-ego kedaerahan
dan cenderung melemahkan kekuatan bhineka tunggal ika, disamping itu politik identitas
dalam otonomi daerah lebih memprioritaskan emosi sebagian kalangan masyarakat
untuk memilih calon kepala daerah pada etnis, agama atau kelompoknya sendiri,
dan menomorduakan masalah kualitas, program kerja, dan arah pembangunan daerah
karena mereka menganggap segala yang dijanjikan oleh calon kepala daerah hanya
pemanis kampanye untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah.
Para
kepala daerah lama yang tidak amanah memegang jabatannya menjadikan sebagian
penduduk setempat semakin trauma, curiga bahkan tidak dapat dipercaya lagi, dan
mereka lebih mempercayai bahwa lebih baik calon kepala daerah suku sendiri ketimbang
orang lain yang datang dari daerah lain, karena pengalaman penduduk setempat
membuktikan bahwa mereka “oknum pendatang” yang menjadi kepala daerah selalu
bermotifkan jabatan, uang dan eksploitasi sumber daya alam.
Tidaklah
salah kelompok masyarakat tertentu (termajinalkan) memperjuangkan nasib atau
masa depannya sendiri agar setara dengan yang lain tanpa menimbulkan kebencian
dan hinaan terhadap kelompok lain. Jikalau politik identitas terlalu dipertajam
bagi orang-orang yang kecewa dengan pemerintah daerah hingga terbawah dalam konteks
politik pemilihan kepala daerah, maka dapat berpotensi memicu dendam yang
berkepanjangan, dan pada akhirnya konflik antar masyarakatlah yang muncul.
Semoga dijauhkan di Tanah Air Indonesia, khususnya Tanah Buton tercinta.
Komentar
Posting Komentar