Zaman
sekarang, mencari pemimpin daerah untuk rakyat sangatlah susah karena slogan “mengabdi
untuk rakyat” ternyata kebanyakan digunakan hanya sebagai topeng agar dirinya
disebut merakyat dan dipilih saat pemilihan kepala daerah.
Coba
para pembaca budiman lihat di daerahnya, apakah kepala daerahnya betul-betul
menggunakan jabatannya hanya untuk mengabdi kepada rakyat atau ada misi
terselubung lainnya yang tidak bisa diungkapkan di depan publik sebagai abdi
harta?
Hasil
pengamatan penulis di beberapa daerah Indonesia masih banyak kepala daerah yang
menjadikan jabatan untuk misi mencari untung sebanyak-banyaknya alias
memperkaya diri sendiri sedangkan rakyatnya kadang tidak makan satu atau dua
hari, itupun makan hanya nasi aking campur indomie, atau nasi basi sisa
kemarin. Ini bukan masalah pengembalian modalnya yang sudah puluhan miliar
dikeluarkan saat mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah, tetapi ini masalah MORAL.
Ya..! Moral pemimpin daerah yang rapuh dan rakus dengan harta.
Yel-yel
“dekat dengan rakyat”, “pelayan rakyat” atau “mengabdi rakyat” yang disurakan
saat kampanye atau dipasang di baleho hanyalah pemanis kata-kata agar rakyat
yakin bahwa dirinya maju menjadi kepala daerah karena dorongan hati dan
dorongan rakyat untuk melakukan perubahan di daerahnya.
Para
kepala daerah yang mempunyai misi harta sudah dari awal mempunyai niatan kuat
untuk menjadikan jabatannya sebagai bisnis mencari keuntungan pribadinya dengan
mengumpulkan pundi-pundi uang dari berbagai macam jalan.
Tidaklah
salah kepala daerah kaya, mempunyai rumah layaknya istana, uang puluhan bahkan
ratusan miliar, fasilitas mewah, dan berbagai harta kekayaan yang dimilikinya
disaat rakyatnya telah kaya dan sejahtera pula, sebaliknya akan kurang elok
dipandang mata jikalau menjadikan dirinya kaya sementara rakyatnya menderita. Ini
bukan zaman monarki masa lalu dimana raja disimbolkan sebagai orang yang kaya
dan mempunyai kedudukan ingin dihormati, tetapi sekarang zaman demokrasi dimana
pemimpin harus bisa memberikan contoh kepada rakyatnya dengan menjadikan diri
dan keluarganya hidup sederhana saat rakyatnya hidup sederhana atau miskin pula.
Penulis
teringat dengan sosok Mahmoud Ahmadinejad, saat memegang jabatan Walikota di
Teheran (Iran) pada tahun 2003-2005, selama menjabat walikota, ia tidak pernah
tinggal di rumah dinasnya yang mewah. Beliau bersama istri dan anaknya lebih
memilih tinggal di gang buntu di ibukota Iran berdampingan dengan penduduk
miskin kota itu. Sering rakyat melihatnya berjalan dengan sepatu yang sudah
bolong. Hidup sederhana bukan menjadikannya terpuruk bahkan malah terangkat
menjadi Presiden Iran periode 2005-2013. Jabatan inilah menjadikan hatinya
semakin mantap mengabdikan dirinya untuk rakyatnya, hingga kini namanya bukan
hanya dikenal rakyat di daerahnya bahkan rakyat dunia pun mengenal sosok
pemimpin sederhana, kharismatik, dan relijius ini.
Perbandingan
antara figur Mahmoud Ahmadinejad dan para kepala daerah pengabdi harta seperti
“langit dan bumi”. Beliau yang hidup sederhana jauh dengan kemewahan duniawi
sedangkan kepala daerah pengabdi harta selalu hidup bergelimangan harta,
jabatan, pangkat, dan kesenangan duniawi. Antara manusia berhati malaikat dan
manusia berhati binatang bahkan lebih rendah lagi.
Kepala
daerah yang hidup sederhana ditengah keterpurukan rakyatnya menjadikan
kepemimpinnya semakin kuat dan dipercaya, sebaliknya kepala daerah yang hidup
bergelimangan harta layaknya lintah darat menghisap darah rakyatnya ditengah
rakyatnya menderita kelapangan, maka sangatlah tidak baik.
Inilah
yang penulis ungkapkan pada judul tulisan sebelumnya “Kepala Daerah Berjiwa
Pancasila” bahwa menjadi pemimpin teladan sangatlah susah didapatkan di zaman
sekarang. Jiwa teladan ini terkesan hampir punah ditelan oleh zaman, padahal
jiwa inilah yang paling utama dan pertama ditekankan untuk menjadi pemimpin.
Pembaca
yang budiman, mengenal sosok calon kepala daerahnya adalah tugas utama pemilih
agar tidak terjebak dan tertipu oleh calon-calon kepala daerah penjual slogan
“pengabdi rakyat” tetapi dibalik itu dia hanya menjadi “pengabdi harta”. Tidak
perlu pula menghina calon kepala daerah lainnya karena kita hanya memastikan
bahwa orang yang kita akan pilih/coblos di TPS (Tempat Pemungutan Suara) tidak menjadi
abdi harta tetapi hatinya tulus hanya untuk rakyat. Trim’s.
By. Darmin Hasirun
Komentar
Posting Komentar