Kebiasaan
yang sering kita temui pasca Pilkada adalah perombakan kabinet yang terdiri
atas Sekretaris Daerah, Kepala Dinas, Kepala Bagian dan seterusnya. Perombakan
komposisi jabatan menjadi momok (hantu kecil) bagi pejabat teras di daerah,
sehingga kadang mereka terjebak dengan pilihan politik “mau pilih
profesionalitas atau terlibat dalam politik membantu calon kepala daerah untuk
memenangkan Pilkada di daerah”.
Bagi
siapapun yang “tidak loyal terhadap atasan” akan dinilai buruk oleh atasan,
maka yang dilakukannya adalah mengganti bawahan yang berbeda pilihan tersebut.
Lebih-lebih jikalau ada pegawai yang sudah terjun mengkampanyekan salah satu
kandidat lain, maka sanksi mutasi jabatan semakin dekat di mata.
Fenomena
ini menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh kepala daerah pasca otonomi daerah
sehingga terciptalah raja-raja kecil yang ingin sewenang-wenang berbuat
semaunya sesuai dengan kepentingan politik yang dia inginkan.
Bagi
yang berseberangan pilihan politik maka mereka hanya sapu dada ketika “dibuang”
ditempat tertentu sesuai kemauan raja-raja di daerah, proses mutasi pegawai
terkesan hanya menjadi akal-akalan untuk mengganjal karir pegawai yang berbeda
haluan, sedangkan pegawai yang telah menunjukan dirinya sebagai pengikut setia
maka bersiap-siaplah di tempatkan pada jabatan yang empuk dan terhormat.
Inilah
yang dinamakan politik balas dendam yaitu politik yang dipakai oleh kepala
daerah atau pimpinan organisasi untuk menjatuhkan bawahan yang berbeda pilihan/pendapat
demi kelancaran tugas / misi organisasi.
Dalam
peta kekuatan politik pemerintahan, birokrasi merupakan mesin politik yang
efektif menggalang massa demi mengamankan dan mempertahankan status qou atau
merebut kekuasaan tersebut.
Dengan
kekuatan birokrasi, niatan para calon kepala daerah selalu mulus memenangkan
Pilkada di daerahnya, selain kekuatan uang, para elit politik daerah
menggunakan dua strategi kekuatan birokrasi ini untuk mendapatkan jabatan nomor
wahid di daerah dan setelah itu mulailah pelampiasan dendam kepada para lawan
politiknya.
Setelah
mereka duduk di singgasana, terjadi bongkar pasang kabinet, orang-orang yang
sedang duduk di kursi empuk, harus bersiap-siap digeser satu persatu untuk
digantikan oleh orang-orang yang setia terhadap penguasa.
Begitupula
dengan kelompok masyarakat di tingkat kecamatan/ kelurahan/ desa yang tidak
mendukung kepala daerah saat mencalonkan dirinya, kebijakan pembangunan lebih
cenderung pada kelompok masyarakat yang memberikan suara terbanyak, sedangkan
yang memberikan suara sedikit terabaikan, maka terciptalah pembangunan yang
tidak merata dan adil bagi masyarakat.
Banyaknya
kebijakan kepala daerah yang mengecewakan para pegawai dan kelompok masyarakat
berakibat terciptanya “kelompok barisan sakit hati” yaitu sekumpulan pegawai
/kelompok masyarakat yang kecewa dengan
kebijakan kepala daerah yang tidak sesuai dengan keinginan mereka atau mekanisme
yang benar. Barisan ini tentu tidaklah sehat dalam dunia birokrasi tetapi
penguasa itu sendirilah yang menaruh racun (patologi) birokrasi di dalam
tubuhnya. Orang-orang yang tergabung dalam barisan ini yang akan menaruh dendam
pula ketika pemilihan kepala daerah 5 tahun kedepannya.
Memang
sekarang sudah diberlakukan kebijakan sistem lelang jabatan khusus eselon I dan
II sejak disahkannya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN),
tetapi kebijakan ini akan kembali lagi kepada proses seleksi yang baik dan
benar oleh tim seleksi serta kualitas kepemimpinan kepala daerah dalam menunjuk
/ menempatkan eselon I dan II hasil seleksi dari lelang jabatan. Jikalau
pelaksanaan kebijakan ini tidak sesuai dengan mekanisme maka “kelompok barisan
sakit hati” akan tetap ada karena tidak puasnya dengan kebijakan tersebut.
Mereka
(barisan sakit) akan bersuara lantang, melawan kepala daerah demi membalaskan
dendam yang sudah sekian lama mengurung dan menyengsarakannya. Maka yang
terjadi adalah perang politik saudara, perang yang dilakukan oleh anak-anak
bangsa hanya ingin memenuhi keinginan hawa nafsunya dalam kekuasaan.
Setiap
selesai pemilihan kepala daerah, kebijakan rombak dan bongkar pasang kabinet
menjadi budaya dalam dunia birokrasi, dengan memasukan unsur kepentingan
pribadi/golongannya dalam kekuasaan untuk memberi sanksi kepada golongan lain
yang tidak sejalan dengan kepala daerah tersebut, dan kondisi ini terjadi terus
menerus, seakan politik balas dendam menjadi warna kebijakan publik
pemerintahan untuk pegawai atau masyarakatnya.
Seharusnya
politik balas dendam itu tidak dimiliki oleh manusia yang beradab karena sifat
dendam hanya dimiliki oleh setan/iblis yang dendam/iri dengan manusia dan
sampai sekarang dendam tersebut bersemayam dalam jiwa-jiwa manusia yang lemah.
Tentu
kita sebagai manusia yang beriman, tidak pantas mengikuti kebiasaan perilaku
saling dendam, karena kita terlahir dengan fitrah (suci) tanpa dendam, semoga
kita ditunjukan jalan yang lurus. Amin..!
Komentar
Posting Komentar