Pemilihan
kepala daerah merupakan ajang untuk menentukan/memilih kepala daerah
(gubernur/bupati/walikota) yang akan memimpin selama 5 (lima) tahun ke depan.
Perbicangan mengenai bakal calon (Balon) kepala daerah mulai memanas dengan
saling memojokan / menyindir satu dengan lain, baik dilihat pada latar
belakang, program kerja, tempat tinggal, asal kelahiran, bahkan kontribusinya
terhadap daerah.
Masing-masing
para pendukung saling membela jagoannya agar menepis isu-isu yang berpotensi
menjatuhkan elektabilitas dan popularitas di mata masyarakat daerah, disisi
lain mereka juga tidak mau kalah dengan melemparkan “kartu hitam“ (black campaign) untuk menjelekan lawannya.
Inilah yang dinamakan “suka menyindir tapi tidak suka disindir, suka mencubit
kulit lawan tetapi tidak suka dicubit kulitnya”.
Menurut
pengamatan penulis di lapangan, terlihat kegiatan masyarakat secara umum
beraktivitas seperti biasanya, berinteraksi, bekerjasama, berdagang, dan
berbagai aktivitas normal lainnya. Terasa mereka tidak terpengaruh dengan isu-isu
yang selama ini beredar di media, tetapi hal yang sangat berbeda saat penulis
masuk di dunia maya terutama group -group media sosial terlihat perang urat
saraf semakin memanas, dan perbicangan yang sering dipermasalahkan seputar
tempat kelahiran, tempat tinggal, nama slogan, money politic, bahkan agama pun ditonjolkan sebagai bentuk perlawanan
kepada bakal calon kepala daerah lainnya.
Perdebatan
antar pendukung BALON kepala daerah, mengingatkan penulis pada KTP (Kartu Tanda
Penduduk), Ya..KTP. Inilah yang melatar belakangi tulisan ini diberi judul
“BUKAN PEMIMPIN KTP”. Untuk mengetahui lebih jauh silahkan tuntaskan membaca
artikel ini.
Kartu
Tanda Penduduk (KTP) merupakan identitas penduduk yang berada di suatu
negara/daerah tertentu, didalamnya berisi nama, tempat lahir, tanggal lahir,
agama, pekerjaan dan lain-lain, dengan adanya kartu ini maka kita lebih mudah
mengenal identitas penduduk tersebut.
Melihat
fenomena PILKADA sekarang, penulis menganggap rasanya kita belum move on dengan kondisi masa lalu dan
masih terjebak dengan masalah identitas. Padahal yang kita pilih bukan hanya
sekedar yang tercantum di KTPnya, tetapi seharusnya lebih jauh lagi, yang tidak
dimuat dalam KTP tersebut. Misalnya visi misi, program kerja (upaya menyelesaikan
masalah kemiskinan, pembangunan, pengangguran, pengelolaan sumber daya alam, pertanian,
perikanan, promosi potensi alam, penataan ruang, teknologi tepat guna dan
berdaya guna), prestasi bakal calon dalam mencapai kesuksesan karirnya, kontribusi
/pengabdian bakal calon kepada daerah, dan masih banyak lagi.
Tidak
salah sih melihat KTPnya, tetapi janganlah terjebak pada diskusi-diskusi hanya
seputar identitas saja, ada baiknya gali lebih dalam mengenai kemampuan bakal
calonnya masing-masing, dan bagi pendukung yang tidak lolos calonnya agar lebih
bijaknya menjadi penengah yang baik atau menjadi relawan bakal calon lainnya,
sehingga dapat berpartisipasi dalam mensukseskan pelaksanaan Pilkada di
daerahnya.
Di
tengah kemajemukan masyarakat di daerah, kurang elok dan elegan jikalau terlalu
memperuncing perbedaan itu, karena dalam hal apapun upaya memperuncing
perbedaan adalah pemicu konflik sesama rakyat, yang senang kaum opportunis, borjuis
dan konglomerat yang enak duduk disinggasana melihat rakyat saling bertengkar.
Menurut penulis mencari persamaan dan kelebihan bakal calon dalam pembangunan
daerah adalah solusi damai (menghindari konflik sesama rakyat) demi menuju masyarakat
yang beradab, bermartabat dan dapat bersaing dengan daerah lain, bisa pula
melihat kelemahan rencana pemikiran (program kerja) bakal calon sebagai
tinjauan kritis terhadap dampak yang akan ditimbulkan jikalau beliau menjadi
kepala daerah.
Sekarang
ini, daerah butuh sentuhan sosok pemimpin bukan hanya KTP saja, tetapi lebih
jauh lagi mengenai rencana melakukan percepatan pembangunan, penataan
pemerintahan, menciptakan pelayanan prima, pemberdayaan masyarakat dan
kebijakan-kebijakan lain.
Perdebatan
tentang KTP bakal calon, seperti halnya diperdebatkan merk televisi mana yang
paling baik. Dikatakan televisi yang berkualitas itu bukan pada merknya tetapi
kualitas isi dalamnya yang memuaskan pelanggan.
Jikalau
ada yang mengatakan bahwa daerah tersebut hanya dapat dinahkodai oleh penduduk
pribumi atau pendatang saja maka inilah cara berpikir yang salah, otonomi
daerah diberikan / diserahkan untuk mengurus rumah tangganya sendiri bukan
dilepaskan dan dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu. Makanya daerah
otonom bukanlah seperti kapal pribadi atau milik turunan tetapi kapal Pelni
milik negara yang nahkodanya adalah orang ahli di bidangnya.
Hal
ini termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 berbunyi “bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Khusus
untuk pro kontra tentang money politik sama halnya mempermasalahkan pengurusan
KTP, yang seharusnya sudah gratis, tetapi ternyata ada juga oknum-oknum yang
masih suka dengan uang-uang pelicin tersebut, meski undang-undang telah
melarangnya tetapi kadang oknum manusia inginnya mengikuti nafsu dan kepentinnya
(bukan aturan negara).
Oleh
karena itu, penulis mengajak kepada pembaca yang budiman, mari bahu membahu
mensukseskan Pilkada dengan memilih pemimpin yang berkualitas dan ahli di
bidangnya, BUKAN PEMIMPIN KTP.
Renungan:
“Jika
amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi, Ada seorang sahabat
bertanya: bagaimana maksud amanat disia-siakan? Nabi menjawab: Jikalau urusan
diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran itu” (HR.
Bukhari No.6015). Nauzubillah min zalik. Jauhkanlah kami dari marabahaya dan
kehancuran itu.
Komentar
Posting Komentar