Pemilihan
kepala daerah langsung merupakan upaya memilih pemimpin daerah oleh rakyat, dari
rakyat dan untuk rakyat secara langsung yang dilaksanakaan setiap 5 tahun
sekali. Pemilihan kepala daerah ini biasa disebut pesta demokrasi. Kenapa
disebut pesta demokrasi? Karena disanalah geliat rakyat dalam memilih
pemimpinnya yang terbaik, dan kondisi ini pula yang memberikan suasana ramai masyarakat
dalam menyambut pemimpin daerahnya.
Kata
“pesta” pasti berhubungan dengan perayaan atau hiburan yang menyenangkan
masyarakat, dalam pesta demokrasi inilah masyarakat semakin bergairah karena
partisipasi dan dukungannya terhadap calon kepala daerah masing-masing terus
disosialisasikan, dikampanyekan, bahkan kadang diperselisihkan antara calon
kesukaannya dengan calon lain yang bukan pilihannya.
Disamping
itu gairah ekonomi masyarakat tumbuh dan berkembang dengan turunnya secara
langsung para calon kepala daerah menjumpai masyarakat atau pendukungnya maka
disitulah uang-uang dari para calon mulai dikeluarkan satu persatu mulai dari
kostum para pendukung, biaya transportasi, baleho, pamflet, stiker, spanduk, sampai
pada urusan perut alias makanan harus diurus oleh calon kepala daerah. Uang
yang harus disiapkan oleh para calon tidak boleh kurang dari miliaran untuk
menggerakan semua sumber daya pendukung agar lebih bersemangat dalam menyuarakan
yel-yel dukungannya. Dengan melihat banyaknya dukungan masyarakat hingga harus
rela mengeluarkan uang demi meraih hasratnya dalam mendapatkan jabatan kepala
daerah.
Dalam
dinamika kehidupan politik inilah menimbulkan fenomena posisi masyarakat
terbelah, tersekat-sekat, gap (berpisah), terkotak-kotak, dan napsi-napsi, yang
menjadi permasalahan politik harus melibatkan masyarakat yang tingkat pemahaman
politiknya belum memadai, pendidikannya yang relatif rendah, dan cara
berpikirnya terlalu pendek (ada uang saya pilih, tidak ada uang menyingkir).
Bukan hanya disitu saja, perbedaan pilihan sering dijadikan bahan untuk saling
menyerang satu dengan lainnya, saling menfitnah, saling mencaci maki, saling
merendahkan martabat masing-masing, saling mencurigai, dan masih banyak lagi
kata saling yang sifatnya negatif atau buruk dalam perkembangan demokrasi
sekarang ini.
Fanatik
buta kepada calon yang didukung akan berbahaya saat sang idolanya dikritik tentang
perannya dalam pembangunan daerah tidak nampak, kontribusi terhadap masyarakat
tidak kelihatan, atau baru menjadi pemain baru dalam kontestasi pemilihan
kepala daerah. Reaksi orang-orang yang fanatik buta pasti akan membela pilihannya
agar opini yang berkembang tidak menimbulkan fitnah di masyarakat. Yang menjadi
titik permasalahannya saat para pendukung membela calonnya malah menjatuhkan
calon yang lain sehingga terjadilah konflik opini satu dengan yang lain.
Politik
uang dalam pesta demokrasi ini menjadi hal yang biasa ketika masyarakat masih
kelaparan dan membutuhkan uluran tangan dari para calon, ketika susah membiayai
kebutuhan hidup sehari-hari, ketika tidak ada pekerjaan (pengangguran), ketika
masyarakat masih menganggap uang adalah segalanya. Disinilah harga diri
masyarakat tergadaikan dan masa depan daerah terjual karena secara tidak
langsung telah dibeli oleh calon tersebut.
Obral
janji seperti obral pakaian yang tidak laku lagi di pasaran dengan harga yang
murah, masyarakat pun dengan ria, senang, dan bahagianya mempercayai kata-kata
yang dikeluarkan oleh calon. Janji calon itu banyak, ada yang berjanji akan
“mensejahterakan, membangun daerah, memakmurkan, memberikan pelayanan yang
cepat, memberi bantuan kepada masyarakat, mendukung semua usulan masyarakat dan
lain-lain”. Memang janji yang diberikan oleh para calon itu sangat baik, sangat
manis, sangat menjanjikan, sangat-sangat…! Tetapi ketika calon tersebut
berhasil menduduki tampuk kekuasaan mulailah terlupakan janji manis yang
dilontarkan dulu, pengembalian modal, transaksi korupsi, kolusi, dan nepotisme
mulai digencarkannya. Timbulah kekecawaan masyarakat bahwa dulu saya dijanjikan
begini dan begini (penyesalan datang belakangan).
Marilah
kita kembali ke jalan kebenaran, jalan ketenangan, dan jalan yang diridhoi oleh
Allah SWT. Bahwasannya sifat saling memusuhi bukanlah perilaku yang terpuji,
mengambil uang untuk memilih bukan pula jalan yang baik, menfitnah orang dan
berburuk sangka kepada orang lain bukannya jalan yang diridhoi.
Pemilihan
kepala daerah harusnya dapat menjadikan diri kita semakin dewasa, dan arif
dalam menentukan pilihan berdasarkan norma agama, hukum, adat dan norma sosial
yang telah lama berkembang dalam mengatur tatanan kehidupan bersama dalam
bingkai kedamaian dan kerukunan masyarakat.
Jangan
engkau menjadi pemilih yang rapuh imannya, pemilih yang bengkok jalannya,
pemilih yang buta hatinya, pemilih yang pendendam, dan pemilih yang pemilih
berdasarkan hawa nafsunya.
Jadilah
engkau pemilih yang penyayang, pemilih yang cinta kedamaian, pemilih yang
memilih berdasarkan hati nurani, pemilih yang memberikan ketenangan buat orang
lain, dan pemilih yang melihat kemaslahatan umat manusia. Dengan jalan itu
pasti TUHAN akan memberikan jalan yang siratalmustaqim (jalan yang lurus dan
lebar).
Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya,
dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah membiarkannya
sesat dengan pengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya
dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran? (Qur’an Surat Al-Jatsiyah ayat 23).
Barangsiapa
yang mengangkat seseorang untuk memimpin suatu masyarakat, padahal di kalangan
mereka masih ada orang yang diridhoi oleh Allah SWT daripada orang yang
diangkat itu, maka sungguh dia sudah mengkhianati Allah, rasul-nya dan
orang-orang beriman. (HR. Ahmad dan Al-Hakim).
Pilihlah
pemimpin yang baik akhlaknya dan benar dalam menata masyarakat serta daerahnya.
(by Darmin).
DAMAI INDONESIAKU, DAMAI MASYARAKATNYA.
Komentar
Posting Komentar