Setelah
berfoto ria di Batu Unik sebelumnya, kami melanjutkan perjalanan turun ke Pantai
Warumi yang tidak jauh dengan batu tersebut. Kebetulan saat itu air laut lagi
pasang sehingga hanya separuh saja pasir di pantai kami nikmati, menurut
informasi dari La Mudi sebenarnya jikalau airnya surut akan kelihatan panjang kira-kira
sampai 100 meter dari bibir pantai.
Keindahan
lautnya yang masih terjaga dan belum tercemari oleh limbah sedikitpun sehingga
kita bisa melihat dasar laut yang putih kebiru-biruan, serta pasirnya yang
masih putih menandakan pantai ini belum dieksploitasi oleh kegiatan penambangan
liar dan kerusakan alam akibat ulah manusia.
Kebetulan
pada sore hari itu suasana udara tidak panas sehingga kami bisa melihat
panorama alam yang natural dan menawan. Waktu sudah menunjukan pukul 17.30 Wita
dan sang surya pun mulai tenggelam, melihat langit berselimut mega cahaya putih
kemerah-merahan menambah indahnya Pantai Warumi maka kami tidak ingin menyia-nyiakan
golden opportunity (kesempatan emas)
ini, mengambil gambar di pasir putih dan bersih. Berfoto bersama Sang Mahatari
yang sangat indah, inilah momen yang paling ditunggu-tunggu setelah kurang
lebih 1 jam menuruni gunung, berpayah-payah dan melelahkan akhirnya terobati
pula rasa capek dalam diri saat melihat wajah alam yang sangat mempesona, maka
izinkanlah saya mengungkapkan perasaan ini pada alam itu “WONDERFULL AND BEAUTIFUL”.
Saya
rasa keindahan alam yang menyimpan potensi luar biasa ini tidaklah boleh
terlupakan oleh sentuhan dan perhatian dari segala pihak baik pemerintah, masyarakat
ataupun pihak swasta agar segala sumber daya alam yang begitu indah harus
menjadi nilai jual promosi di mata negara maupun dunia. Tuhan Maha Kuasa telah
menciptakan Pulau Batuatas yang indah mestinya kita bisa manfaatkan untuk
membuktikan kepada masyarakat dunia bahwa Batuatas dekat di hati dan sangat
dicintai oleh masyarakat, keindahan alam yang jarang kita dapatkan di kota-kota
besar maupun di pinggiran kota tidak akan menyamai keindahan alam yang ada di
pulau ini, hanya saja manajemen pariwisata kita belum tertata dengan rapi sehingga
potensi obyek wisata alam dan budaya belum menjadi daya tarik tersendiri untuk
para pelancong baik domestik maupun mancanegara.
Melihat
waktu semakin larut malam dan Matahari setengah tenggelam, maka kami harus
bergegas pulang melewati tebing yang curam dan tinggi tadi, butuh tenaga ekstra
dan nyali kuat untuk mendaki tebing itu, saya mulai berpikir “jikalau dibayangkan
saat menuruni tebing sudah begitu melelahkan, maka akan lebih melelahkan pula
saat mendaki tebing tersebut”. Mendaki tebing membuatku menguras banyak
keringat, napas mulai keluar dari mulut sebagai tanda kelelahan, meski lelah
tetapi tangan dan kaki harus mencengkram kuat tangga alam itu. Sekitar jam 6
lewat kami baru sampai di Gua Keramat menunjukan pendakian baru setelah jalan. Kondisi
badan sudah sangat lelah akhirnya saya harus meminum tetesan air di gua
tersebut agar terhindar dari dehidrasi akibat keringat yang semakin bercucuran,
saat mencari pipet plastik kecil yang digunakan sebelumnya ternyata sudah
hilang, akhirnya saya mengambil ranting daun pepaya dan dipatahkan supaya bisa
minum lewat pipet alam, rasa getah ranting daun pepaya bercampur dinginnya air
gua melekat di tenggorokanku.
Setelah
minum dan beristrahat sejenak, maka kami melanjutkan pendakian yang sudah
setengah jalan dilewati, disinilah keringat mulai mengalir kencang, napas
semakin terengah-engah, otot tangan dan paha mulai capek, dan kaki terasa pegal.
Inilah tantangan alam dan kami harus berusaha beradaptasi dengan kondisi alam
agar bisa bertahan sampai ke puncak gunung. Terasa kondisi saya semakin kurang
prima lagi, awalnya berjalan berdiri kini berjalan merangkak persis seperti “Cecak”
yang berjalan menaiki tebing. Sedikit demi sedikit langkah kaki diayunkan,
tangga demi tangga begitu bermakna saya rasakan karena semakin dekatnya desa
tujuan, rasa lelah sering terhibur dengan saling menyemangati satu sama lain,
tertawa, tersenyum dan rasa bahagia keluar dari dalam hati sebagai penawar rasa
capek.
Akhirnya
setelah lebih dari 30 menit melewati tebing itu, sampailah di puncak gunung desa
tujuan, maka kami mulai berjalan kaki seperti biasanya. Tidak lama berselang tenggorokan
mulai terasa kering dan kami putuskan mencari air kemasan (aqua) di
warung-warung terdekat, Alhamdulillah ditemukan dan langsung diminum, terbayang
pendakian yang menguras tenaga dan keindahan alam yang sangat menawan tidaklah
menjadikan diri kapok untuk menelusuri pantai yang masih jarang didatangi oleh
warga.
Setelah
beberapa menit istrahat kami melanjutkan perjalanan mendaki kembali Kathoba
Mambulu sambil membawa senter yang bisa menyalah/bersinar jikalau dilekatkan
besi berani karena tombol On Off-Nya tidak lagi berfungsi. Mendaki dan mendaki adalah
pekerjaan yang harus dilakukan, sekitar 15 menit kemudian sampailah kami di
Baruga Buki tempat sepeda motor diparkir.
Inilah
kisah perjalanan “MENELUSURI JEJAK MISTERI PANTAI WARUMI DI PULAU BATUATAS”. Semoga
dapat bermanfaat untuk menggali potensi obyek wisata alam di pulau ini dan yang
berguna sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Terima Kasih. Wassalam..!
Komentar
Posting Komentar