Tulisan
ini dilatar belakangi oleh pengamatan penulis baik di dunia nyata maupun maya,
perdebatan tentang pasangan calon kepala daerah terus mengalir bagaikan aliran
air di sungai yang deras, meski saat bulan puasa pun isu-isu miring, negatif,
berdebatan yang tidak memberikan kemajuan daerah, black campaign masih selalu
ada.
Masing-masing
mencoba mempertahankan idolanya, siapa lagi kalau bukan pasangan bakal calon
kepala daerahnya. Membela orang-orang yang terzhalimi memang sangatlah
diajurkan dalam agama bahkan itulah yang disebut amal sholeh, tetapi membela
orang-orang yang bersalah itulah jelas-jelas melanggar aturan agama dan negara.
Penulis
menyebut idola atau dalam bahasa inggris adalah idol artinya boneka, patung
atau berhala (Abu Fitri dalam bukunya Kamus Lengkap Bahasa Indonesia-Inggris), makna
idol ini kemudian dipersonifikasikan menjadi manusia yang menjadi pujaan.
Pemberian nama idola kepala daerah ini disebabkan ada kecenderungan orang-orang
yang mengkultuskan figur tertentu, mereka bangga-banggakan, memuja dan memuji
perilakunya, kebaikannya dibesar-besarkan, dipromosikan, dikampanyekan, bahkan
diteriakan sampai orang lain mendengarkan dan mengetahui bahwa dialah yang
terbaik dibanding orang lain sebaliknya keburukannya ditutup rapat-rapat hingga
tidak tercium oleh siapapun.
Kalau
keburukan itu adalah hanya perilaku mencuri pulpen, membohongi anak kecil agar
mengikuti perintahnya, kurang peduli dengan kondisi daerah sifat seperti ini masih
bisa dimaklumi, tetapi kalau keburukan itu sudah mencuri uang rakyat, melanggar
aturan negara, membohongi rakyat, mengkhianati kepercayaan rakyat, tidak peduli
atas penderitaan rakyat yang meminta bantuan kepadanya, berpura-pura baik di
hadapan rakyat saat Pilkada maka itulah yang menjadi permasalahan besarnya.
Orang-orang
yang mengidolakan figur tertentu atas keburukannya terhadap rakyat itulah,
seakan menyamakan perilakunya dengan orang-orang zaman jahiliah yang suka
menyembah patung (idol) karena mereka menyakini patung itulah yang akan
menyelamatkan mereka, membantu mereka, mensejahterakan mereka, memberikan
pekerjaan kepada mereka dan segala asumsi yang seolah-olah menyamakan idolanya
itu dengan Tuhan yang mereka sembah.
Ada
juga orang-orang yang berpikir sangat masuk akal, apabila melihat keburukan
figur tersebut secepatnya mengingatkannya agar menempuh jalan kebenaran dan
kebaikan, cenderung melihat perilaku, watak, dan pandangannya tentang masa
depan masyarakat dan daerahnya. Akhirnya mereka menempatkan hatinya pada figur
tersebut.
Oleh
karena itu, tulisan ini mencoba memberikan pandangan tentang psikologi pemilih sehingga
rekan-rekan pembaca dapat membedakan sesuai kriteria yang ada. Penulis
membedakan psikologi pemilih dalam pemilihan kepada daerah ini terbagi atas dua
(2) kategori besar yaitu PEMILIH RASIONAL DAN EMOSIONAL. Karakter pemilih ini
kadang menimbulkan kontradiktif/ pertentangan pandangan dan pendapat satu
dengan yang lain hingga menimbulkan perdebatan, pertengkaran dan konflik fisik.
PEMILIH
RASIONAL dalam memilih KEPALA DAERAHNYA mempunyai ciri-ciri memilih
berdasarkan:
a.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan
b.
Visi
misi yang ditawarkan kepada masyarakat
c.
Program
kerja
d.
Strategi mengentaskan permasalahan daerah.
e.
Pemberian pencerahan dan ide-ide kreatif dan inovatif.
Sedangkan
PEMILIH EMOSIONAL cenderung memilih berdasarkan:
a. Kedekatan
ikatan solidaritas lokal
b. Tempat
tinggal
c.
Kelompok etnis/suku,
d.
Figur ketokohan,
e.
Keturunan pasangan calon/kekeluargaan,
f.
Latar belakang organisasi Partai, LSM, dan organisasi lainnya.
Orang-orang
yang memilih berdasarkan rasionalitasnya, mereka tidaklah mendewa-dewakan
figur, lantang berbicara yang salah tetap salah dan benar tetap benar, selalu
menimbang kemampuan calon kepala daerah terhadap upaya menyelesaikan masalah
daerah, memandang kemaslahatan umat, lebih mementingkan kepentingan rakyat
ketimbang kepentingan diri atau golongannya.
Orang-orang
yang memilih berdasarkan emosionalitasnya, mereka cenderung suka
membangga-banggakan figur yang disukai secara berlebih-lebihan hingga tercipta
jiwa-jiwa fanatik buta, tidak mengenal apakah dia salah atau benar tetaplah
teguh pendiriannya bahwa hanya dialah yang terbaik, selalu memandang
kepentingan pribadinya maupun golongannya.
Sifat
emosional inilah yang berpotensi membahayakan dalam proses pemilihan kepala
daerah, karena akan menciptakan kegaduhan, keributan dan konflik satu dengan
yang lain, demi mempertahankan figur idolanya agar menang dalam PILKADA, mereka
akan menjadi provokator baik disadari maupun tidak hanya karena fanatik buta,
cenderung menjatuhkan, menghina, fitnah kepada figur lain yang menjadi lawan
politiknya.
Pembaca
yang budiman, dalam suasana menjelang pemilihan kepala daerah sangatlah
diperlukan cara berpikir yang rasional pada kebenaran. Hal ini telah
dipraktekan oleh Nabi Muhammad SAW yang bersabda ”Demi Allah SWT, sekiranya
Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong
tangannya”. (HR. Muslim. No.3196)”.
Pesan
di atas merupakan bukti cara berpikir tentang kebenaran pada jalan agama yang
luhur, jikalau pertimbangannya lebih berdasarkan emosionalitasnya maka nabi
lebih memilih membela anaknya, tetapi karena beliau berpikir rasional dan
meresapi kebenaran tersebut, maka beliau berani berkata dengan benar dan adil,
tindakan ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang berpikir dan berbudi pekerti
yang luhur.
Jadilah
anda sebagai orang-orang yang cenderung lebih berat pada aspek rasionalitasnya,
tanpa menghilangkan rasa emosionalitasnya, janganlah engkau menutupi pikiran
hanya karena emosi yang menggebu-gebu. Bisa jadi anda tergolong ”orang-orang
TERLA...LU....!” (kata Bang Rhoma Irama).
Wassalam..!
Komentar
Posting Komentar