Cerita
ini adalah pengalaman saya terhadap anak tercinta, namanya Fail Alfatih Darmin biasa
dipanggil Fail. Berawal saat memandikan Fail sore hari, biasanya dia bermain
air dulu lalu mandi, bagi dia bermain air sama halnya bermain dengan robotnya
yang paling disukai, jadi untuk mengajaknya mandi pastinya agak susah
diturutinya.
Setelah
beberapa menit membiarkannya bermain air dan pesawatnya, waktu terlihat menjelang
magrib, maka saya mengingatkannya agar lekas mandi, tetapi dia masih tetap
bermain, seakan ajakan tadi kurang dipedulikan. Saya mandikan dulu pesawatku
ayah “katanya”.
Melihatnya
sudah cukup lama bermain air, saya pun memaksanya mandi dengan menyiramkan air
di badannya, maka basah kuyuplah dia. Biasanya setiap dia mandi ingin mengikuti
caranya, karena terlalu banyak permintaannya (ingin mandi sendiri, ingin
main-main dulu, ingin pake shampo dan sabun sendiri) dan saking lamanya mandi akhirnya
saya tidak lagi mengikuti kemauannya itu.
Alhasil,
diapun menangis, saat itu saya mencoba berusaha mengikuti keinginannya, tetapi tidak
lama kemudian saya agak emosi karena lama mandi akhirnya kucubit tangannya, dan
teriakan tangisannya semakin keras. Bundanya pun datang meredahkan tangisnya,
dan saya masuk ke kamar menjaga adiknya yang berumur satu bulan lebih. Setelah
beberapa menit kemudian Fail mengikuti arahan bundanya sambil memakai handuk.
Di
dalam kamar, saya duduk sambil menggendong adiknya, tidak lama kemudian
terlihat fail masuk di dalam kamar sambil ditemani bundanya. Isak tangisnya
masih terasa meski harus ditahan karena melihat saya.
Saya
kembali berpikir tentang tindakan yang barusan tadi, lantaran tidak sabar
menunggu anak mengikuti kemauannya sehingga harus kucubit tangannya. Rasa
bersalah pun terbesik dalam hati, anak kecil tidak mungkin bersalah “kataku
dalam hati”. Saya orang tuanya salah merespon sikap dia yang agak manja.
Keluguannya menjadikanku tersadar bahwa tidak meski anak yang meminta maaf
dengan menjaga gengsi bahwa orang tua yang benar dan lebih tahu.
Fail
yang agak ketakutan dengan saya, memilih menjaga jarak sambil mengambil baju
dan mainannya. Saya pun mendekatinya, memeluknya, dan membisikan di telinganya
sambil mengucapkan “permintaan maaf berkali-kali sama dia”. Rasa bersalah dalam
hati membuatku terenyuh dan bersedih sambil memeluknya, diapun ikut memelukku
dengan hangat.
Tindakan
ini kulakukan bukan terkait undang-undang perlindungan anak, tetapi ini masalah
hati antara anak dan ayah, yang bersusah payah bersama bundanya membesarkannya dari
janin sampai usia 4 tahun dengan penuh cinta dan kasih sayang, dan baru kali
itu saya bertindak gegabah (tidak sabar), hingga salah bertindak terhadap
kelakuan anak.
Inilah
pelajaran berharga buat saya, bahwa tidak meski anak yang duluan meminta maaf, sikap
meminta maaf dari orang tua adalah contoh/teladan untuk anak-anak dalam hal
apapun. Bagi saya, orang tua memberikan pelajaran kepada anaknya bukan karena
anak mengikuti apa yang dikatakan oleh orang tua, tetapi apa yang dilakukan
oleh orang tua.
Terima
kasih anakku telah memberikan pelajaran hidup, dan permintaan maaf sudah
mencubit tanganmu. Semoga kelak engkau menjadi anak yang berguna bagi keluarga,
bangsa dan negara. Amin.
Komentar
Posting Komentar