Kota
Baubau merupakan salah satu kota yang berada di Propinsi Sulawesi Tenggara,
daerah yang cukup maju dalam pembangunan infrastrukturnya, sejak kepemimpinan
Walikota pertama M.Z.Amirul Tamim telah banyak menciptakan perubahan
pembangunan yang berguna bagi masyarakat sampai pada kepemimpinan AS.Thamrin
dan Wa Ode Maasra Manarfa.
Pembangunan
infrastruktur yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Baubau tidaklah berbanding
lurus dengan upaya pembangunan moral sosial kemasyarakatan yang sering menimbulkan
konflik antar warga, contoh terbaru adalah dua kelompok pemuda terlibat tawuran
di jalan Sultan Murhum Kelurahan Lanto Kecamatan Batupoaro Senin (05/09/16)
sekitar pukul 22.00 Wita. Puluhan pemuda dari dua kelompok memegang senjata
tajam, mulai parang, golok, hingga pedang. Kedua kelompok saling mengacungkan
senjata tajam yang mereka gengam. (Kabarbuton.com, 05/09/16). Sampai hari
selasa (6/09/16) belum diketahui penyebab terjadinya perkelahian dua kelompok pemuda
tersebut.
Kemudian
pada tanggal 29 Juli 2016 lalu, terjadi pengeroyokan yang dilakukan oleh
sejumlah pemuda kepada sopir angkot warga Kelurahan Lipu, di jalan Bataraguru
Jembatan Tengah. Kondisi korban mengalami cedera di kepala bagian belakang akibat
sebuah tikaman, begitupula dengan mobilnya mengalami kerusakan akibat lemparan
batu. Korbanpun dilarikan di RSU Murhum untuk mendapatkan perawatan medis (www.
tribunbuton.
com,
30 Juli 2016).
Konflik
warga yang melibatkan tiga wilayah yaitu Kelurahan Wameo, Kelurahan Tarafu dan Kelurahan
Bone-Bone yang terjadi beberapa tahun belakangan ini hingga berdampak negatif pada
warga setempat seperti belasan rumah rusak, dua warga Bone-Bone terkena anak
panah serta satu unit sepeda motor dibakar massa. (Kabarbuton.com, 04 Juni
2016). Tiga kelurahan ini hampir setiap tahun terjadi bentrok yang melibatkan
pemuda sehingga masyarakat menjadi was-was saat melintasi jalanan yang
menghubungkan tiga kelurahan ini.
Fenomena
bentrok yang terjadi di beberapa kelurahan di Kota Baubau, perlulah menjadi
perhatian pemerintah daerah dengan mengantisipasi, menyelesaikan dan menata
masyarakatnya agar tercipta suasana damai dan rukun, memang telah banyak upaya
pemerintah untuk meredam konflik tetapi kesan yang timbul dalam persepsi
masyarakat tidaklah sama dengan fakta di lapangan yang kerapkali menimbulkan
konflik antar warga.
Hakikat
adanya pemerintah agar kondisi sosial masyarakat dapat tertata dengan baik,
diatur, dikelola, dan dimanfaatkan demi kemaslahatan rakyat yang ada di daerah
tersebut. Jikalau tidak ada pemerintah maka yang terjadi seperti yang
diungkapkan oleh Thomas Hobbes dalam karya besarnya yang berjudul “Leviathan”.
Leviathan adalah nama binatang di dalam mitologi timur tengah yang amat buas
(Franz Magnis Suseno, “Filsafat Sebagai Ilmu Kritis”, 1992:71-72). Menurut
Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia hanya memiliki satu
kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan diri karena
kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia
lain, maka muncullah istilah homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi
manusia sesamanya). Keadaan ini mendorong terjadinya “perang semua melawan
semua” (bellum omnium contra omnes).
(Simon Petrus L.Tjahjadi dalam bukunya Petualangan Intelektual, 2004:227).
Pendapat
Hobbes di atas sama halnya dengan firman Allah SWT dalam Kitabnya yang suci (Al
Quran) artinya “terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa
hafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?
Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami.
Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih
sesat jalannya (QS. Al Fuqaan ayat 43-44).
Keadaan
saling menyerang dan bermusuhan merupakan gejala sosial yang tidak terkontrol
dan tertata dengan baik sehingga terjadilah turbulensi kepentingan satu dengan
yang lain, oleh karena itu diperlukan eksistensi pemerintah sebagai regulator
dan stabilisator kondisi kemasyarakatan yang ada di daerah sehingga tercipta
masyarakat yang sadar dan mengikuti regulasi (aturan) yang telah ditetapkan
oleh pemerintah guna mewujudkan ketertiban masyarakat.
Terjadinya
konflik bukan semata-mata pula lemahnya peran pemerintah dalam menangani
permasalahan yang ada di masyakarat, tetapi kadang juga disebabkan sikap
masyarakat telah jauh dari nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang telah lama berkembang sebut saja istilah
“POBHINCI-BHINCI KULI” maksudnya adalah saling mencubit kulit. Makna ini lebih
jelasnya dapat diartikan bahwa jikalau kita menyakiti orang lain, pasti rasanya
sama halnya orang menyakiti diri kita sendiri karena mencubit kulit diri
sendiri sama rasanya dengan mencubit kulit orang lain. Subtansi prinsip “Pobhinci-Bhinciki
Kuli” adalah persamaan manusia, sebagaimama juga hal ini diajarkan dalam agama
bahwa “pada dasarnya manusia adalah sama di hadapan Tuhan yang membedakan
hanyalah amal perbuatannya”.
Kejadian
konflik di beberapa kelurahan Kota Baubau merupakan keadaan yang telah jauh
dari nilai-nilai agama dan budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu perlunya
komitmen bersama, pemerintah dan semua elemen masyarakat khususnya pemuda
secara sadar menciptakan perdamaian bersama demi kejayaan daerah.
MARI
CIPTAKAN KEDAMAIAN KARENA DAMAI ITU INDAH.
Komentar
Posting Komentar