Pernahkah
anda melihat dan menggunakan bola karet? Benda yang satu ini mempunyai ciri
khas “semakin dibanting ke bawah, maka semakin tinggi lentingannya”, inilah
ilustrasi yang penulis gambarkan dalam pemilihan kepala daerah, untuk
mengetahui lebih jauh mari kita baca dan renungkan bersama-sama tulisan di
bawah ini.
Kontes
pemilihan kepala daerah yang melahirkan calon-calon pemimpin daerah merupakan
hal yang sangat diperlukan guna menciptakan perubahan ke arah yang
dicita-citakan bersama sesuai dengan visi, misi dan program kerja calon kepala
daerah. Tentu untuk menyaring beberapa calon atau bakal calon yang ada,
dibutuhkan filter (alat penyaring) yang baik agar tercipta satu pasangan calon
yang keluar dari hasil pemilihan sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi. Selama proses penyaringan inilah banyak
ditemui berbagai dinamika sosial dan politik yang berkembang sesuai dengan
ekspektasi masyarakatnya. Mulai dari isu positif untuk mempromosikan kehebatan
calon sampai isu negatif untuk menjatuhkan calon lainnya, fenomena ini sering
dianggap normal oleh masyarakat, lebih-lebih para elit yang sudah terbiasa
diterpa berbagai gossip atau isu yang tidak sedap.
Berbagai
strategi pemenangan terus dilakukan oleh para calon maupun tim sukses dan
relawannya guna meraih simpati masyarakat, maka “kampanye hitam dan putih”
kadang dihalalkan pada masa-masa sosialisasi. Berdiri tegak menghadang segala
berita propaganda adalah salah satu tugas para tim dan relawan, menghalau dan
menepis berita-berita miring yang berpotensi menurunkan elektabilitas dan
popularitas calon tertentu.
Hinaan,
cemohan, sindiran, dan berbagai kata-kata negatif selalu menjadi “lagu wajib”
yang dinyanyikan dikala mendekati ajang pemilihan tersebut. Kebiasaan para tim
sukses menggunakan jalur black campaign terus dilontarkan, isu beda agama,
suku, golongan, bahkan ranah privat keluarganyapun tidak luput dari incaran
para pencari berita negatif. Rencana buruk dan baik bukanlah menjadi masalah
utama karena masalah utama yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah
menjatuhkan lawan dari berbagai macam penjuru agar dibenci oleh masyarakat.
Mereka
mencoba meyakinkan masyarakat bahwa calon tertentu mempunyai rekam jejak yang buruk
dan tidak pantas untuk dipilih dalam pemilihan nantinya, segala kehidupan calon
kepala daerah dikupas satu persatu, diposting, diberitakan, bahkan dijadikan
bahan tertawaan sebagai simbol tidak layaknya calon tersebut menjadi pemimpin
di daerahnya. Hampir setiap hari suguhkan berita pencemaran nama baik tentang
dirinya, apakah itu benar atau tidak? Tetapi isu tetaplah isu yang belum tentu
dipercayai kebenarannya.
Ternyata
bentuk-bentuk kampanye negatif tidaklah selamanya merugikan calon kepala daerah,
bahkan bisa jadi menjadi senjata ampuh untuk mendapatkan simpati dari
masyarakat. Kita tahu bersama kebanyakan masyarakat Indonesia mempunyai sifat
empati yang tinggi jikalau melihat atau mendengarkan ada orang-orang yang
merasa dizholimi, disitulah perasaan masyarakat tergugah untuk menolongnya.
Penulis
memberikan contoh terkini seperti bakal calon kepala daerah DKI Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok setiap harinya diberitakan tentang isu-isu yang
buruk tentang kinerja dia selama memimpin DKI Jakarta misalnya isu kasus sumber
waras, isu agama, isu pendatang, etnis/suku, reklamasi teluk Jakarta, dan
beragam isu yang ditujukan untuk dirinya, tetapi upaya ini ternyata berbanding
terbalik dengan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey,
hasilnya Ahok menempati urutan paling teratas sebagai figure calon kepala
daerah yang paling disukai masyarakat. Contoh lain lagi, Joko Widodo alias
Jokowi yang sempat mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta maupun
Presiden RI, muncul beragam hinaan dan ejekan terhadap beliau tetapi upaya
tersebut tidaklah membuahkan hasil yang memuaskan bahkan sebaliknya rakyat
semakin kuat mendukung beliau untuk maju menjadi Presiden.
Rasa
empati masyarakat terhadap pemberitaan yang buruk pada salah satu calon kepala
daerah dapat berpotensi menjadi spirit
baru untuk bangkit dari segala badai yang selalu dihadapinya. Rasa iba
masyarakat kadang menggugurkan aspek rasionalitas untuk memilih sehingga
masyarakat lebih memilih orang-orang yang disudutkan.
Bantingan
demi bantingan dengan menyerang kelemahan lawannya, alhasil bukan malah
menjatuhkan calon lawan tersebut, tetapi malah semakin melambungkan namanya, ibarat
bola karet “semakin keras jatuhnya semakin tinggi pula naiknya, semakin kuat dipukul
semakin kuat pula balasannya”. Menurut penulis, ini adalah hukum alam yang
dialami oleh masyarakat khususnya dalam pemilihan kepala daerah. Hukum alam ini
telah lama ditanamkan dalam memori alam bawah sadar manusia, melalui
cerita-cerita rakyat, film, atau kejadian-kejadian sosial lainnya selalu
menyuguhkan rasa simpati kepada orang yang dizholimi, dan membenci orang yang
selalu berkata-kata kasar, hina dan dosa.
Pembaca
yang budiman, terkhusus para tim sukses dan relawan, berhati-hatilah dalam
membicarakan keburukan calon kepala daerah karena bisa jadi orang-orang yang
diisukan atau digosipkan itu berbalik arah didukung oleh masyarakat karena pada
dasarnya manusia tidak suka dengan orang-orang yang berkata kasar meski benar,
dan cenderung simpati pada orang-orang yang terzholimi meskipun dia salah.
Memang
ini tidaklah semuanya benar tetapi alangkah bijaknya kita belajar berkata-kata
baik dengan orang yang buruk sifatnya, menghargai perbedaan yang ada sehingga
calon yang anda jagokan bisa menang secara terhormat, bukan malah calon anda
jatuh karena bola karet yang sudah terlanjur dibanting dapat memenangkan
lawannya. “Biarkanlah rakyat menilai isu-isu yang ada karena rakyat tidak buta,
tidak tuli dan tidak bisu”, rakyat punya hati nurani dan pikiran memutuskan
mana yang benar dan salah. Jadilah pemilih cerdas dalam menentukan pemimpin
daerah di masa depan. Trim’s.
Komentar
Posting Komentar