Setelah
diceritakan penelusuran kami pada episode pertama, selanjutnya kita kembali ke
perjalanan. Sesampainya kami di Desa Liwu nampak kesan penduduknya agak sepi, banyak
kambing berjejer sedang memakan dedaunan, keindahan alamnya masih sangat
natural, tidak ada polusi suara, udara, serasa berada di tempat keteduhan.
Sempat
menanyakan keberadaan warganya, kenapa agak sepi? Ternyata kebanyakan warganya
merantau di daerah lain untuk mencari nafkah bahkan ada yang sudah
berpuluh-puluh tahun menetap di daerah kerjanya, mereka akan pulang pada
momen-momen tertentu seperti hari raya idul fitri atau pesta kampung yang
diadakan sekali setahun. Desa ini belum terlihat banyak pembangunan
infrastruktur perkantoran, perumahan, air bersih, listrik sehingga saat malam
tiba masyarakatnya hanya mengandalkan mesin genset atau lampu tradisional/lampu
pelita.
Suasana
alamnya sejuk, bersih, dan nampak indah sepanjang perjalanan, disana kami
melihat banyak rumput ilalang, pohon pisang, dan berbagai tanaman liar yang
tumbuh sejauh mata memandang. Letaknya di pegunungan menjadikan desa ini
berbeda dengan desa lainnya yang terletak di tepian pantai, suasana pegunungan
yang rindang, tidak terlalu panas, dan kadang tertiup angin sepoi-sepoi
sehingga perjalanan kami tidak terasa melelahkan meski harus berjalan kaki dari
bukit Kathoba Mambulu dan menuruni jalan pengerasan.
Di
tengah kampung kami bertemu dengan penduduk setempat dan teman akrab Joko
namanya “La Mudi”, kebetulan dia berasal dari Desa Batuatas Timur yang menikah
dengan warga Desa Liwu dan menetap disana. Dialah yang secara suka rela dan
senang mengantar kami keliling kampung sekaligus menelusuri jejak misteri
Pantai Warumi, kami mengawali perjalanan menuju Baruga Liwu yang sudah lama
membuatku penasaran. Sekilas perasaan saya tentang desa ini merupakan
pengalaman pertama kali melihatnya, rasa penasaranku tentang desa mulai
terobati setelah ditemani berlama-lama oleh La Mudi. Dia menunjukan beberapa
tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat salah satunya Baruga Liwu
yang nantinya kami singgahi.
Setelah
beberapa menit kemudian kami tiba di Baruga tersebut, nampak baruga ini
dibangun dari kayu yang kokoh, cukup terawat, tidak ada seorang pun terlihat di
dalamnya, bangunan yang didirikan di tanah seluas kurang lebih 20 x 20 meter yang
dapat menampung puluhan orang, dengan kontruksi bangunan seperti panggung,
tidak ada dinding yang menutupinya sehingga dari jauh kamipun bisa melihat
suasana di dalam Baruga. Beberapa menit kami melihat bangunan itu, lalu
melanjutkan perjalanan menuju pantai tersebut.
Selama
dalam perjalanan terlihat tebing-tebing menjulang tinggi dan kuat, di dinding
tebing kami diperlihatkan batu berbentuk seperti “Binatang Kadal” yang
dipercayai oleh masyarakat mempunyai cerita tersendiri dibalik bentuk itu,
dibawah tebing ada jejeran bambu-bambu yang berbaris indah, serasa berada di
Negeri Tirai Bambu, udaranya yang sejuk dan rindang, di tempat ini pula kami
harus berhadapan dan menaklukan jurang tinggi sambil berpegangan pada bebatuan,
maklum belum ada jalan yang dibuat permanen, tangga yang kami turuni dibentuk
oleh warga secara alami ukurannya cukup untuk telapak kaki. Beberapa kali menuruni
tangga dengan hati yang was-was, kamipun harus berpegangan pada batu atau pohon
yang tumbuh disekitar jurang itu.
Di
tengah tebing itu, La Mudi menunjukan lagi goa yang dianggap cukup sakral oleh
masyarakat setempat, tempatnya persis di bagian jurang, jikalau salah
menginjakan kaki bisa berakibat fatal jatuh ke bawah. Goa ini tidak begitu
dalam, bisa dilihat ujungnya dari luar, ada pula tetesan air jernih yang
terbentuk secara alami, melihat tetesan air ditambah rasa capek akhirnya Joko
dan La Mudi meminum air itu dengan menggunakan pipet plastik kecil sedangkan
saya hanya sibuk melihat pemandangan disekitar tebing, konon tetesan air ini
dahulu dipakai oleh warga setempat sebagai air minum sehari-harinya, dan ada
pula yang mempercayai mempunyai kekuatan ghaib bisa menyembuhkan
penyakit-penyakit tertentu, disela-sela istrahat kami menyempatkan mengambil
gambar gua itu dan berfoto bersama.
Setelah
meminum air gua dan beristrahat sejenak, Joko agak berubah pikiran tidak
melanjutkan perjalanan karena waktu semakin mendekati malam pukul 17.00 Wita,
maka saya bilang sama mereka “kita sudah dipertengahan jalan” nanti menyesal
dan terbayang-bayang juga kalau pulang di rumah. Oleh karena itu kita lanjutkan
saja perjalanan menuruni tebing. Akhirnya kamipun melanjutkan perjalanan,
memang rasa lelah dan haus mulai terasa tetapi rasa penasaran dan motivasi
selalu mengalahkan keadaan yang dihadapi.
Saya
berpikir sejenak “mungkin ini yang menyebabkan banyak masyarakat tidak tertarik
mendatangi pantai ini”, karena harus menuruni tebing yang tingginya ratusan
meter dari dasar, melewatinya harus butuh banyak tenaga bahkan menurut
informasi dari La Mudi pernah ada korban jatuh di tempat ini tetapi itu jarang
terjadi. Akses untuk menuju pantai itu memang terbilang sulit untuk pemula
lebih-lebih bagi wanita.
Tebing
yang tinggi tidaklah menyurutkan semangat kami menembus batas kemampuan demi
mencapai pantai tujuan, teman-teman pembaca bisa bayangkan untuk menuruni
tebing ini harus butuh waktu lebih dari 30 menit, waktu yang tidak singkat untuk
daerah bebatuan dan terjal. Setelah 30 menit kemudian kami sudah melihat
panorama keindahan pantainya yang teduh dan membiru. Ternyata tidak jauh dengan
pantai, ada beberapa batu berbentuk unik seperti sedang menopang tebing tinggi,
maka kami menyempatkan mengambil gambar karena selama berkeliling di Pulau
Batuatas nan cantik tidak ada satupun batu yang mirip dengan bentuk batu ini
(beautiful).
Bersambung…!
Komentar
Posting Komentar