Hidup di alam
kebebasan merupakan impian manusia, sama halnya dengan Teori Maslow tentang
tingkatan kebutuhan Manusia, menempatkan aktualisasi diri atau kebebasan akan kebutuhan
kreatif, dan realisasi diri pada tingkat yang paling tinggi.
Di
era demokrasi ini, kebutuhan hidup bebas merupakan salah satu prasyarat agar
rakyat dapat berdaulat dan berdaya dalam segala bidang, oleh karena itu, Negara
Indonesia harus melakukan filter terhadap kebudayaan yang mengatasnamakan
kebebasan tersebut.
Dalam
Pancasila terdapat Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan simbol keyakinan
kita akan keagungan, kebesaran, dan kasih sayang TUHAN terhadap semua mahluk.
Disinilah dasar-dasar sistem demokrasi negara indonesia disusun agar menjamin kebebasan
dalam menyelenggaran pemerintahan yang bertanggung jawab hingga lahirlah
istilah Demokrasi Pancasila.
Penerapan
Demokrasi Pancasila ini seakan hanya menjadi simbol negara tanpa aplikasi yang
nyata. Bagaimana tidak, pada saat musim politik pemilihan kepala daerah banyak
rakyat saling bertengkar, konflik dan permusuhan satu dengan yang lain hanya
karena beda pilihan, seakan pilihan mereka dikultuskan untuk menjadi yang
terbaik tanpa cacat, cela dan dosa. Begipula dengan perilaku para pejabat
(oknum) yang senang mempermainkan aturan negara, hingga bongkar pasang aturan demi
meraih kepentingan sesaat, hasrat kekuasaan untuk menjaga status qou menjadi
motivasi di balik perilaku mereka, para intelektual terlibat sebagai tim
pemenangan salah satu calon hingga idealisme tergadai ambisi kekuasaan, para
tokoh saling bertentangan karena keegoannya ingin dipuji, dan dipuja hingga
namanya melambung setinggi angkasa, akhirnya demokrasi Pancasila yang
diagungkan selama ini hanya menjadi simbol kenegaraan tanpa aplikasi.
Demokrasi
tak bertuan merupakan makna dari sistem demokrasi yang diterapkan dalam negara
seakan kehilangan aturan yang telah ditetapkan oleh negara bahkan Tuhannya. Dapat
pula diartikan dengan demokrasi kebablasan tanpa wasit. Wasit yang dimaksudkan
dalam tulisan ini adalah pemerintah dan tokoh panutan.
Penulis
berpendapat jikalau pemerintah sudah kebablasan dan tidak lagi mempersatukan
rakyat, maka seharusnya ada tokoh panutan yang bisa dijadikan sandaran untuk
menyatukan segala perbedaan. Tetapi fakta berbicara lain, pemerintah asyik
dengan kedudukannya hingga rakyat terlihat samar-samar bagai bayang-bayang,
para tokohnyapun asyik bermain kata-kata dan debat sana sini hanya untuk
menunjukan kehebatan dirinya.
Mereka
itulah yang seharusnya menjaga marwah sendi-sendi bernegara bahkan etika
bernegara. Fakta yang terjadi malah mereka sendiri yang melakukan pelanggaran
aturan (korupsi, kolusi, nepotisme, drama perkelahian antara pejabat dalam
sidang dan arogansi kekuasaan), memang tidak semua pejabat melakukan
pelanggaran aturan, tetapi tidak sedikit juga pejabat yang suka bermain mata
antara pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif (Perkoncoan) untuk
memuluskan kepentingan/ ambisi mereka dalam meraih tujuan yang inginkan.
Begitupula
dengan rakyat, terlihat rakyat belum siap berdemokrasi, indikasi ini tercermin
dari bebasnya rakyat bermain tanpa ada batasan etika dan moral layaknya pemain
bola dengan seenaknya mempermainkan bola tanpa mengindahkan rambu-rambu yang
ada, para wasit seakan ikut menjadi bagian dari supporter untuk memasukan bola
di gawang lawan, hasilnya bola masuk dalam gawang lawan (tujuan benar, tetapi
prosesnya yang salah).
Janganlah
Hawa Nafsu menjadi TUHAN untuk mendapatkan tujuan hingga dapat menghalalkan
segala cara demi meraihnya, karena orang-orang yang menjadikan hawa nafsu
sebagai TUHAN, mereka hanyalah seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat dari
binatang ternak (nauzubillah minzalik)
Komentar
Posting Komentar