Partai
Golkar (Golongan Karya) merupakan salah satu partai besar dan tertua sejak
Negara Republik Indonesia merdeka. Partai inilah yang telah lama berkipra
memberikan kontribusi pemikiran dan tenaga dalam upaya memajukan negara. Partai
yang mempunyai jati diri “Berkarya” untuk membangun bangsa dan negara, dengan slogan
“Suara Golkar, Suara Rakyat” sehingga selama setengah abad selalu berada dalam kekuasaan
politik pemerintahan.
Sepak
terjang dalam politik sebagai partai pendukung kebijakan pemerintah telah
menjadi budaya yang masih melekat dalam jati diri partai akibatnya menjadikan partai
ini susah membangun budaya baru yaitu berada di luar pemerintahan.
Sejak
rezim Soeharto, partai Golkar bukanlah termasuk golongan partai politik karena
pemerintah pada saat itu lebih suka menyebut Partai Pemerintah, yang berbeda
dengan PPP dan PDI sebagai lawan politiknya. Predikat yang disandangnya semakin
lama semakin mendarah daging pada kader-kader partainya yang kebanyakan dari
pegawai negeri sipil dan ABRI.
Setelah
tumbangnya Rezim Soeharto oleh gelombang tekanan dari berbagai macam elemen
rakyat mulai dari mahasiswa, para aktivis LSM, akademisi, sampai masyarakat
awampun bergerak melakukan perubahan dengan menuntut diturunkannya Soeharto
dari tampuk kekuasaan. Turunnya Bapak Ir.Soeharto dari Presiden RI merupakan
momentum ditandainya perubahan dari Orde Baru menjadi Orde Reformasi.
Seiring
berjalannya gelombang reformasi dalam negara, partai Golkar masih bertengger
dan tetap kuat menjadi partai pemerintah yang saat itu dipimpin oleh Bapak
Akbar Tanjung (1998-2004), yang siap mengusung dan membela kebijakan pemerintah
setiap periode kepemimpinan Presiden RI, meskipun Akbar Tanjung sempat didera
oleh dugaan pelanggaran hukum sebut saja “Kasus Bulog” yang hampir menyeretnya
ke dalam Bui.
Setelah
kepemimpinan Akbar Tanjung berakhir, maka tongkat estafet Ketua Umum
selanjutnya dipegang oleh Bapak Jusuf Kalla (2004-2009) yang kebetulan juga
menjabat sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Bapak Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
Presiden RI. Posisi Golkar kembali menguat dan kebijakan partai tetap menjadi
parter pemerintah dalam setiap kebijakannya sampai berakhirnya masa kekuasaan
Jusuf Kalla.
Situasi
yang sangat berbeda saat partai Golkar di bawah Kepemimpinan Bapak Ir.Aburizal
Bakrie, dengan berani menyatakan bahwa “PARTAI GOLKAR AKAN MENJADI PARTAI DI
LUAR KEKUASAAN PEMERINTAHAN SEBAGAI PENYEMBAING KEBIJAKAN PEMERINTAH. Mulailah
partai ini banting haluan keluar dari kebiasaan lama yang telah melekat selama
kurang lebih 50 tahun.
Gejolak
dalam internal partaipun kian memanas dan menggelinding bagaikan “Angin Puting
Beliung Yang Masuk Dalam Rumah” merusakan sendi-sendi yang cukup vital dalam
partai, mulai dari tidak solidnya kader-kader partai, sarana dan prasarana
kantor yang terbengkalai, sampai melahirkan “Mahahari Kembar” yaitu Bapak Ir.
Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum hasil Munas Bali dan Bapak Agung Laksono
sebagai Ketua Umum hasil Munas Ancol.
Selama
1,5 tahun lamanya Partai ini mengalami bencana berkepanjangan dalam sejarah
berdiri Partai Golkar. Perang urat saraf, konflik fisik, sampai pada konflik
dalam peradilan dilaluinya tetapi tidak ada perubahan yang sangat signifikan
dalam upaya mencari kejelasan status Ketua Umum yang Sah. Para elit partaipun
tidak tinggal diam dengan melakukan konsultasi, konsolidasi sampai kontemplasi,
akhirnya keputusan yang cukup bijaksana keluar dari pernyaaan kedua kubu yaitu melaksanakan
MUNASLUB. Momen inilah yang dirasakan paling tepat untuk menyatukan dua
kekuatan yang terbelah itu.
Pada
tanggal 23 Mei 2016, diadakanlah Munaslub sebagai alternatif menyelesaikan
kemelut dalam partai, Alhasil terpilihlah Setia Novanto sebagai Ketua Umum
Partai Golkar secara Aklamasi tanpa ada proses pemilihan, dan konflik dalam
partai perlahan-lahan mulai meredup.
Terpilihnya
Setnov sebagai Nahkoda Kapal Partai Beringin ini kembali memunculkan masalah
baru yaitu Kekurangpercayaan Publik terhadap Figur Setia Novanto setelah didera
kasus “PAPA MINTA SAHAM” yang belum terhapus dalam benak masyarakat, disamping
itu dengan terpilihnya beliau menunjukan bahwa proses kaderisasi dalam partai
tidak berjalan dengan baik sehingga harus memilih figur yang dipertanyakan
kredibilitas dan kemampuannya dalam memimpin partai.
Masalah
lainnya, berhubungan dengan pernyataan Setia Novanto dalam pidatonya yang
mengatakan “Dukungannya untuk mencalonkan Presiden Joko Widodo kembali pada
tahun 2019”, hal ini sangat kontradiksi dengan pernyataan Bapak Ir. Aburizal
Bakrie dalam pidatonya di Munas Bali yaitu keluarnya Partai Golkar dalam
Bingkai Kekuasaan dan menjadi pantai penyeimbang dalam pemerintahan dengan
dikuatkannya eksistensinya dalam Kelompak KMP (Koalisi Merah Putih)
bersama-sama dengan Partai Gerindra, PPP, PKS dan PAN. Koalisi inilah yang
digadang-gadang akan melanggengkaan posisi Golkar luar kekuasaan pemerintahan
dengan mengusung moto “Koalisi Permanen”, meskipun dalam perjalanannya ternyata
fakta berbicara lain.
Kondisi
di atas, menimbulkan reaksi penilaian publik terhadap Partai Berwarna Kuning
ini bahwa konsistensi mereka dalam menjaga komitmennya hanyalah Lip Service
(Omong Doang) dan retorika yang selama ini mereka suarakan di media massa
maupun elektronik hanya sandiwara yang diperankan untuk mendapatkan simpati
masyarakat sehingga partai Golkar dinilai partai tanpa pendirian.
Cobaan
yang dialaminya berada di luar rumah (kekuasaan) sungguh tidaklah mengasyikan
dan tidak menyenangkan karena selama ini para kadernya telah terlanjur nyaman
berada di dalam rumah (kekuasaan) yang aman dan banyak mendapatkan pundi-pundi
rezeki.
Sungguh
beginilah gambaran partai di Indonesia pada umumnya, yang belum dewasa dalam
menjalankan tugasnya sebagai Agen Pembaruan Negara telah tercederai oleh kepentingan-kepentingan
kekuasaan.
Semoga
dengan adanya kepemimpinan yang baru dalam tubuh Golkar tidak lagi menimbulkan
luka lama yang diungkit kembali ataupun luka baru yang coba diperparah lagi
oleh para elit-elit partai Golkar dan pihak-pihak di luar partai.
Pemimpin
baru haruslah menjadi harapan baru, semangat baru dan cita-cita terbarukan
menuju Indonesia Maju dan Mandiri.
TETAPLAH
JAYA INDONESIAKU DI BAWAH PANJI-PANJI PARA REVOLUSIONER MENTAL.
Komentar
Posting Komentar