Pantai
Warumi merupakan pantai yang berada di Desa Liwu Kecamatan Batuatas Kabupaten
Buton Selatan, pantai ini jarang sekali dikunjungi oleh warga setempat, bahkan
generasi tua pun kadang belum pernah menginjakan kakinya di pantai ini, entah apa
gerangan sehingga masyarakat tidak menyempatkan diri melihat kekayaan alam yang
satu ini, apakah memang ada misteri di balik itu atau hal-hal lain yang masih
ganjil? Untuk lebih jelasnya silahkan baca tulisan ini.
Berawal
keberangkatan kami di Ujung, Desa Batuatas Timur pukul 16.00 Wita sore hari,
bersama Joko memakai kendaraan Motor Nex Suzuki. Disinilah perjalanan dimulai,
dengan kendaraan yang ada kami mendaki bukit yang cukup tinggi, butuh sekitar
10 menit untuk tiba di Baruga Buki. Baruga ini dahulu dijadikan sebagai balai
pertemuan warga untuk membicarakan tentang kemaslahatan seluruh masyarakat, dan
sekarang ini hanya dijadikan sebagai tempat pesta adat setiap tahunnya.
Setelah
tiba di baruga tersebut, maka kamipun memarkir kendaraan dan bersiap-siap
berjalan kaki menuju tempat MISTERIUS ITU? Sekitar pukul 16.10 Wita kami mulai
berjalan kaki mendaki perbukitan di Katobha Mambulu, tempat ini dianggap sakral
oleh masyarakat setempat, dan dipercayai bahwa disinilah Syekh Abdul Wahid
beristrahat dan melaksanakan sholat 5 waktu sebelum melanjutkan perjalanan
menuju Kerajaan Kesultanan Buton, tempat ini pula digunakan untuk mengawasi
aktivitas yang ada di lautan lepas pada masanya, terlihat disekitar benteng
konon ada desa pertama yang didiami oleh masyarakat setempat namanya Kampung
Pangilia.
Setibanya
disana kamipun mencoba melihat desa-desa dari puncak gunung Pulau Batuatas,
terlihat pula Desa Liwu tempat pantai misterius itu, beberapa menit kami
memandangi panorama alam disekitar, setelah itu meneruskan perjalanan turun
gunung mengikuti jalan pengerasan yang sudah lama dibuat oleh warga. Sekitar 15
menit kami berjalan kaki melintasi jalan bebatuan dan jalan lingkungan, naik
gunung dan turun gunung adalah hal yang biasa kita lihat karena hanya dengan
menaiki pendakian inilah warga bisa lebih cepat tembus ke desa lainnya, diperjalanan
kami menemui sekelompok anak muda yang mengarah berlawanan dengan arah kami
(mereka menuruni bukit dan kami mendaki bukit), sempat saling menyapa dan
menanyakan tujuan perjalanan mereka, ternyata mereka juga lagi jalan-jalan di
desa lain, saya pun dibisik oleh Joko kalau mereka itu sedang mencari
gadis-gadis, mungkin pacarnya atau baru mencari pacar, biasanya mereka tidur di
desa sebelah dan kadangkala kalau ada acara joget mereka dengan semangatnya
datang di desa tersebut..he he “senyumku mendengarkan ucapannya”. Dia pun
melanjutkan ceritanya “maklum di desa mereka kurang penduduknya, yang banyak
penduduk itu Desa Wacuala, Desa Batuatas Timur dan Desa Tolando Jaya”, sayapun
mengangguk-agukan kepala sebagai tanda mengerti dengan tujuan perjalanan
mereka.
Sambil
bercerita di perjalanan, kami langkahkan kaki menuju ke desa tersebut, Desa
Liwu yang kami datangi ini adalah desa yang bertahan paling lama pasca
diterapkannya program resettlement yang dilaksanakan sekitar tahun 1962-1964. Program
ini diadakan untuk pemukiman kembali atau memindahkan tempat tinggal warga dari
gunung atau tempat lainnya yang susah air dan akses jalan ke dataran rendah atau
tempat yang mudah diakses.
Sekilas
tentang gambaran masa lalu, menurut cerita-cerita dari warga setempat, dulu ada
dua desa besar di pulau ini yaitu Desa Buki dan Desa Liwu, masing-masing
mempunyai baruga dan pesta adat tersendiri, makanya warga setempat menyebutnya Pesta
Baruga Buki yang berada di Desa Buki dan Pesta Baruga Liwu yang berada di Desa Liwu.
Program resettlement masa Presiden Soeharto inilah semua warga di Desa Buki
turun menyebar di daerah pantai dan membentuk perkampungan baru yang sekarang
disebut Desa Batuatas Timur, Desa Wacuala, Desa Tolando Jaya dan Desa Wambongi,
sedangkan Desa Liwu sebagian bertahan di gunung dan sisanya turun ke daerah
pantai yang sekarang sudah menjadi Desa Batuatas Barat dan Desa Taduasa.
Subtansi
pesta adat yang diadakan di dua desa besar ini pada dasarnya sama yaitu sebagai
rasa syukur kepada Tuhan Sang Pencipta atas nikmat rezeki yang diberikan kepada
warga selama satu tahun sehingga diharapkan dengan adanya acara pesta itu hasil
panennya semakin melimpah. Menurut informasi dari warga setempat kegiatan pesta
adat di Baruga Buki sudah bergeser pemaknaannya, semakin hari semakin menjurus
pada hura-hura, bukan murni pada acara adat yang sakral dengan nilai-nilai adat
istiadat dan Ketuhanan, hal berbeda dengan Baruga Liwu yang masih kental dengan
nilai-nilai adat istiadat warisan nenek moyang mereka.
Bersambung…!
Komentar
Posting Komentar